Oasis, Cinta yang Sehat di Dunia yang Sakit


dokumen pinterest
Oasis, Cinta yang Sehat di Dunia yang Sakit

Meskipun sudah rilis cukup lama, nyatanya saya baru selesai menonton film Oasis, garapan Lee Chang-dong hari ini. Ternyata ada film yang tak kalah menarik dengan garapan Dong lainnya, seperti Burning dan Secret Sunshine, misalnya.
Burning, yang berangkat dari cerpen Murakami, lebih berbicara mengenai hasrat yang membara. Sebagaimana pembakaran, kecemburuan digambarkan begitu berapi-api di dalamnya. Secret Sunshine, membincangkan tentang tragedi seorang ibu dan istri. Selain itu, Secret Sunshine pun mengajak penonton untuk merenungkan tentang keadilan Tuhan. Sedangkan Oasis, saya kira lebih berbicara mengenai kesalahtempatan.
Oasis tidak lain adalah sebuah genangan air di padang pasir. Sesuatu yang tidak seharusnya ada. Bisa dikatakan, kehadiran air di dalam dunia pasir yang begitu luas, akan terasa janggal.
Barangkali seperti itulah gambaran Dong dalam Oasis. Dong menempatkan Jung-do (Sol Kyung-gu) sebagai seorang laki-laki yang sedikit terbelakang. Laki-laki yang baru saja keluar dari jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya. Suatu malam, dalam keadaan mabuk, dirinya menabrak seorang laki-laki tua.
Jung-do kemudian benar-benar bertanggungjawab. Sekeluarnya dari penjara, dirinya menemui anak dari orang yang ditabraknya. Ia datang ke apartemen dan menyampaikan permintaan maaf kepada mereka. Akan tetapi, dirinya ditolak. Rasa sakit anak-anaknya belum juga tersembuhkan.
Meskipun begitu, kedatangan Jung-do ke apartemen mereka, membawanya menemui salah seorang perempuan disabilitas (Gong-ju yang diperankan oleh Moon So-ri). Melihatnya sebagai perempuan yang berbeda dan cantik, kemudian membuatnya tertarik.
Sejak menit-menit awal, Jung-do dan Gong-ju sudah ditampilkan sebagai individu yang ditolak oleh lingkungannya. Tidak hanya itu, bahkan oleh keluarga mereka sendiri.
Gong-ju ditinggalkan oleh kakak dan iparnya. Mereka berpindah ke apartemen lain untuk menghindari mengurus adiknya yang berkebutuhan khusus. Mereka menitipkannya pada tetangga. Pada akhirnya, Gong-ju hanya menjalani rutinitas hidup di dalam apartemen sendirian. Hidup sebagai seorang narapidana yang tidak kuasa keluar dari penjara.
Sementara Jung-do, sebenarnya tidak diharapkan kehadirannya dalam keluarga. Adiknya, sekali waktu pernah menyampaikan hal tersebut, bahwa keluarga mereka jauh lebih baik ketika Jung-do dipenjara. Keluarga Jung-do tidak berterima dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan dan sembarangan.
Hidup dalam keterbatasan, tidak lantas membuat hidup Gong-ju benar-benar terkurung. Dengan imajinasi yang dimiliki, ia dengan mudah menghidupkan sesuatu. Beberapa kali, di dalam kamarnya, Gong-ju menghidupkan burung dan kupu-kupu putih dari cahaya yang membias di jendela. Di lain waktu, Gong-ju bisa tiba-tiba dengan gesitnya, berdiri dari kursi roda. Yang terakhir ini, terjadi ketika Gong-ju bersama Jung-do.
Pada awalnya, Jung-do melihat Gong-ju sebagai objek pelampiasan. Akan tetapi, ketika mengenalnya lebih jauh dan mulai memahami dunianya, Jung-do jatuh hati kepadanya. Begitupun dengan ketakutan Gong-ju yang kemudian berubah menjadi rasa cinta.
Keduanya kemudian saling menghidupkan. Jung-do semakin sering mengajak Gong-ju keluar dari kamarnya. Ia ingin memperlihatkan dunia kepada Gong-ju. Awalnya, niat Jung-do adalah membebaskan Gong-ju pada keterkurungan di kamarnya. Sayangnya, dunia yang mereka tempati masih sakit.
Dong memberikan kepercayaan dalam diri Jung-do bahwa semua orang berhak untuk diperlakukan sama. Jung-do terus-menerus dan dengan keras kepala mengajak Gong-ju hadir dalam dunia-dunia itu. Pertama, ketika hendak makan di sebuah restoran, mereka ditolak dengan cara yang bodoh. Pemilik restoran, mengatakan bahwa restorannya sudah tutup, padahal di dalamnya orang-orang lain sedang makan siang.
Jung-do ingin melawan itu. Ia tidak langsung pergi ketika diusir. Ia malah kemudian mempermainkan televisi yang sedang dinikmati pelanggan lain. Setelah cukup puas, Jung-do mematikan televisi, kemudian pergi dan mengatakan, silakan nikmati makanan kalian!
Menariknya, ketika dunia luar tidak menerima mereka, Jung-do mengajak Gong-ju ke kantor kakaknya. Di sana kemudian mereka memesan makanan dan menikmatinya sambil menonton televisi. Mereka begitu hidup dengan dunia dan cinta mereka sendiri.
Cinta kedua individu yang dianggap sakit oleh masyarakat ini, tidak menampilkan kesakitan sama sekali. Mereka begitu menikmati kisahnya. Dalam satu kemacetan yang panjang, Jung-do membopong Gong-ju dengan penuh keceriaan. Dong menawarkan satu alternatif lain dalam menikmati kemacetan.
Setelahnya, satu adegan yang begitu manis dihadirkan Dong. Jung-do mengantarkan Gong-ju ke apartemennya. Di dalamnya, mereka tiba-tiba menari diiringi oleh seorang bocah, anak gajah, dan perempuan india, yang ada dalam gambar oasis di dinding kamar. Aneka imaji yang hidup tersebut adalah gambaran kebahagiaan keduanya.
Gambar oasis di kamar Gong-ju awalnya adalah sesuatu yang menakutkan. Hal itu terjadi sebelum pertemuannya dengan Jung-do. Laki-laki inilah yang kemudian membuatnya tidak lagi menakutkan dengan sebuah sihir rahasia, sihir tersebut tidak lain adalah cinta.
Ketakutan Gong-ju seperti ingin memperlihatkan bagaimana perempuan ini melihat dirinya sebagai oasis. Sesuatu yang hadir di lingkungan asing. Berkat Jung-do, yang hadir sebagai oasis lain, kemudian keduanya menjalani hidup bersama sebagai oasis yang baru. Oasis yang lebih kuat. Sesuatu yang menyenangkan dalam dunia yang kalut.
Dunia masih begitu sakit ketika mereka sedang dalam fase cinta-cintanya. Ketika Jung-do mengajak Gong-ju makan bersama keluarganya, ternyata keluarganya tidak berterima. Keluarganya melihat Jung-do gila karena membawa anak orang yang telah ditabraknya. Menariknya, lagi-lagi Jung-do melawan ketidaksehatan dunia tersebut.
Jung-do tetap bersikukuh untuk membawa Gong-ju dalam makan keluarga tersebut. Seusai makan, mereka berfoto bersama. Jung-do memilih untuk tidak ikut serta karena mereka menolak Gong-ju.
Puncak dari ketidaksehatan dunia dalam gambaran Dong adalah ketika Jung-do dan Gong-ju bersetubuh atas kehendak mereka sendiri, dunia melihatnya sebagai kejahatan. Jung-do sempat dipenjara dan kemudian melarikan diri untuk menemui cintanya. Adegan akhir dalam film ini digambarkan begitu manis, meskipun begitu menyedihkan.
Gong-ju berusaha sekuat tenaga untuk bisa menempel di jendela kamar dan menyalakan radio sekeras mungkin. Sedangkan Jung-do dari luar menaiki sebuah pohon untuk sampai di depan jendela Gong-ju. Menariknya, Dong masih bermain metafora sampai akhir cerita ini. jung-do digambarkan sedang menggergaji ranting pohon kering. Ia berupaya untuk memotong ranting-ranting yang menghalanginya sampai puncak untuk bisa menyapa kekasihnya. Jung-do seperti sedang berupaya menghilangi kesakitan dunia.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama