Meskipun sudah rilis cukup lama,
nyatanya saya baru selesai menonton film Oasis,
garapan Lee Chang-dong hari ini. Ternyata ada film yang tak kalah menarik
dengan garapan Dong lainnya, seperti Burning
dan Secret Sunshine, misalnya.
Burning,
yang berangkat dari cerpen Murakami, lebih berbicara mengenai hasrat yang
membara. Sebagaimana pembakaran, kecemburuan digambarkan begitu berapi-api di
dalamnya. Secret Sunshine, membincangkan tentang tragedi seorang
ibu dan istri. Selain itu, Secret Sunshine
pun mengajak penonton untuk merenungkan tentang keadilan Tuhan. Sedangkan Oasis, saya kira lebih berbicara
mengenai kesalahtempatan.
Oasis tidak lain adalah sebuah genangan
air di padang pasir. Sesuatu yang tidak seharusnya ada. Bisa dikatakan,
kehadiran air di dalam dunia pasir yang begitu luas, akan terasa janggal.
Barangkali seperti itulah gambaran Dong
dalam Oasis. Dong menempatkan Jung-do
(Sol Kyung-gu) sebagai seorang laki-laki yang sedikit terbelakang. Laki-laki
yang baru saja keluar dari jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan
kesalahannya. Suatu malam, dalam keadaan mabuk, dirinya menabrak seorang
laki-laki tua.
Jung-do kemudian benar-benar
bertanggungjawab. Sekeluarnya dari penjara, dirinya menemui anak dari orang
yang ditabraknya. Ia datang ke apartemen dan menyampaikan permintaan maaf
kepada mereka. Akan tetapi, dirinya ditolak. Rasa sakit anak-anaknya belum juga
tersembuhkan.
Meskipun begitu, kedatangan Jung-do ke
apartemen mereka, membawanya menemui salah seorang perempuan disabilitas (Gong-ju
yang diperankan oleh Moon So-ri). Melihatnya sebagai perempuan yang berbeda dan
cantik, kemudian membuatnya tertarik.
Sejak menit-menit awal, Jung-do dan Gong-ju
sudah ditampilkan sebagai individu yang ditolak oleh lingkungannya. Tidak hanya
itu, bahkan oleh keluarga mereka sendiri.
Gong-ju ditinggalkan oleh kakak dan
iparnya. Mereka berpindah ke apartemen lain untuk menghindari mengurus adiknya
yang berkebutuhan khusus. Mereka menitipkannya pada tetangga. Pada akhirnya, Gong-ju
hanya menjalani rutinitas hidup di dalam apartemen sendirian. Hidup sebagai
seorang narapidana yang tidak kuasa keluar dari penjara.
Sementara Jung-do, sebenarnya tidak
diharapkan kehadirannya dalam keluarga. Adiknya, sekali waktu pernah menyampaikan
hal tersebut, bahwa keluarga mereka jauh lebih baik ketika Jung-do dipenjara.
Keluarga Jung-do tidak berterima dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan
dan sembarangan.
Hidup dalam keterbatasan, tidak lantas
membuat hidup Gong-ju benar-benar terkurung. Dengan imajinasi yang dimiliki, ia
dengan mudah menghidupkan sesuatu. Beberapa kali, di dalam kamarnya, Gong-ju
menghidupkan burung dan kupu-kupu putih dari cahaya yang membias di jendela. Di
lain waktu, Gong-ju bisa tiba-tiba dengan gesitnya, berdiri dari kursi roda.
Yang terakhir ini, terjadi ketika Gong-ju bersama Jung-do.
Pada awalnya, Jung-do melihat Gong-ju
sebagai objek pelampiasan. Akan tetapi, ketika mengenalnya lebih jauh dan mulai
memahami dunianya, Jung-do jatuh hati kepadanya. Begitupun dengan ketakutan
Gong-ju yang kemudian berubah menjadi rasa cinta.
Keduanya kemudian saling menghidupkan.
Jung-do semakin sering mengajak Gong-ju keluar dari kamarnya. Ia ingin
memperlihatkan dunia kepada Gong-ju. Awalnya, niat Jung-do adalah membebaskan
Gong-ju pada keterkurungan di kamarnya. Sayangnya, dunia yang mereka tempati
masih sakit.
Dong memberikan kepercayaan dalam diri
Jung-do bahwa semua orang berhak untuk diperlakukan sama. Jung-do terus-menerus
dan dengan keras kepala mengajak Gong-ju hadir dalam dunia-dunia itu. Pertama,
ketika hendak makan di sebuah restoran, mereka ditolak dengan cara yang bodoh.
Pemilik restoran, mengatakan bahwa restorannya sudah tutup, padahal di dalamnya
orang-orang lain sedang makan siang.
Jung-do ingin melawan itu. Ia tidak
langsung pergi ketika diusir. Ia malah kemudian mempermainkan televisi yang
sedang dinikmati pelanggan lain. Setelah cukup puas, Jung-do mematikan
televisi, kemudian pergi dan mengatakan, silakan
nikmati makanan kalian!
Menariknya, ketika dunia luar tidak
menerima mereka, Jung-do mengajak Gong-ju ke kantor kakaknya. Di sana kemudian
mereka memesan makanan dan menikmatinya sambil menonton televisi. Mereka begitu
hidup dengan dunia dan cinta mereka sendiri.
Cinta kedua individu yang dianggap sakit
oleh masyarakat ini, tidak menampilkan kesakitan sama sekali. Mereka begitu
menikmati kisahnya. Dalam satu kemacetan yang panjang, Jung-do membopong
Gong-ju dengan penuh keceriaan. Dong menawarkan satu alternatif lain dalam
menikmati kemacetan.
Setelahnya, satu adegan yang begitu
manis dihadirkan Dong. Jung-do mengantarkan Gong-ju ke apartemennya. Di
dalamnya, mereka tiba-tiba menari diiringi oleh seorang bocah, anak gajah, dan
perempuan india, yang ada dalam gambar oasis di dinding kamar. Aneka imaji yang
hidup tersebut adalah gambaran kebahagiaan keduanya.
Gambar oasis di kamar Gong-ju awalnya
adalah sesuatu yang menakutkan. Hal itu terjadi sebelum pertemuannya dengan
Jung-do. Laki-laki inilah yang kemudian membuatnya tidak lagi menakutkan dengan
sebuah sihir rahasia, sihir tersebut tidak lain adalah cinta.
Ketakutan Gong-ju seperti ingin
memperlihatkan bagaimana perempuan ini melihat dirinya sebagai oasis. Sesuatu
yang hadir di lingkungan asing. Berkat Jung-do, yang hadir sebagai oasis lain,
kemudian keduanya menjalani hidup bersama sebagai oasis yang baru. Oasis yang
lebih kuat. Sesuatu yang menyenangkan dalam dunia yang kalut.
Dunia masih begitu sakit ketika mereka
sedang dalam fase cinta-cintanya. Ketika Jung-do mengajak Gong-ju makan bersama
keluarganya, ternyata keluarganya tidak berterima. Keluarganya melihat Jung-do
gila karena membawa anak orang yang telah ditabraknya. Menariknya, lagi-lagi
Jung-do melawan ketidaksehatan dunia tersebut.
Jung-do tetap bersikukuh untuk membawa
Gong-ju dalam makan keluarga tersebut. Seusai makan, mereka berfoto bersama.
Jung-do memilih untuk tidak ikut serta karena mereka menolak Gong-ju.
Puncak dari ketidaksehatan dunia dalam
gambaran Dong adalah ketika Jung-do dan Gong-ju bersetubuh atas kehendak mereka
sendiri, dunia melihatnya sebagai kejahatan. Jung-do sempat dipenjara dan
kemudian melarikan diri untuk menemui cintanya. Adegan akhir dalam film ini
digambarkan begitu manis, meskipun begitu menyedihkan.
Gong-ju berusaha sekuat tenaga untuk
bisa menempel di jendela kamar dan menyalakan radio sekeras mungkin. Sedangkan
Jung-do dari luar menaiki sebuah pohon untuk sampai di depan jendela Gong-ju.
Menariknya, Dong masih bermain metafora sampai akhir cerita ini. jung-do
digambarkan sedang menggergaji ranting pohon kering. Ia berupaya untuk memotong
ranting-ranting yang menghalanginya sampai puncak untuk bisa menyapa
kekasihnya. Jung-do seperti sedang berupaya menghilangi kesakitan dunia.
Posting Komentar