Hujan Deras dan Atap Bocor


dokumen pribadi

Hari ini adalah hari pertama puasa. Ibu memasak sambal tumpang dan menggoreng dada ayam. Nenek membuat bakwan. Saya sempat membuat es jeruk nipis. Semua itu untuk berbuka bersama.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, hari pertama adalah hari untuk berkumpul. Saya yang biasa di Yogyakarta harus pulang. Nenek selalu bilang, yang pertama itu untuk keluarga. Sehari sebelumnya, biasanya kami sudah berkumpul. Bahkan sempat membicarakan menu sahur dan buka.
Seperti sore ini, semua masakan sudah siap di meja. Rumah kami kecil, ruang tamu adalah ruang makan juga. Saya sudah duduk di pojok. Ibu di tengah, merapikan letak piring dan nasi. Sedang nenek masih gelisah sendiri. Adik saya yang pertama belum pulang.
Nenek tidak menggelisahkan adik saya yang kecil, karena dia pamit pergi ke masjid. Nenek maklum karena memang masih kecil dan teman-temannya di masjid semua. Sementara adik saya yang besar, tidak pamit ke mana-mana.
Nenek kemudian berdiri dan keluar rumah. Saya bisa melihatnya dari jendela, nenek menuju rumah tetangga. Tempat nongkrong adik saya. Dia dan teman-temannya menyebut rumah tetangga itu sebagai markas.
Di markas tersebutlah nenek menemukan adik saya, kemudian mengajaknya pulang. Sayangnya, ketika sampai di rumah, nenek tidak lagi tersenyum. Wajahnya murung. Keriputnya semakin menjadi. Saya mengerti, pasti telah terjadi sesuatu.
Saya menanyakannya kepada nenek. Beliau kemudian menoleh ke arah saya dan berkata, “Aku gur pengen kabeh ning omah, iki wis meh bedug. Ora apik nak ning omahe tanggane.” Wajahnya serius. Ada kemarahan yang tertahan.
Adik saya datang dari arah kamar. Ia ingin mengambil handuk untuk mandi. Saya kemudian mengatakannya kepada nenek, kalau adik sudah di rumah dan mau mandi. Dasarnya saya itu temperamen. Ketika nenek mengulangi kata-katanya di awal tadi, adik menyahut dengan emosi. Ia mengatakan kalau sudah menurut untuk pulang.
Masalahnya di sini, sebenarnya hanya kegagalan komunikasi yang baik. Adik saya ingin, hal-hal yang seperti itu tidak dikatakan secara berulang-ulang. Tidak diungkit-ungkit. Apalagi ketika ada tetangga yang datang ke rumah. Itu tidak baik. Sedangkan nenek tidak begitu. Tabiatnya sebagai orangtua begitu lekat. Beliau tidak ingin kejadian serupa terulang. Oleh karenanya, nenek mengulang terus kata-katanya.
Saya mulai mengerti. Begitupun dengan ibu. Kami mengerti. Adik dan nenek mulai bertengkar dan saling ngotot dengan kebenarannya masing-masing. Saling membentak. Puncaknya ketika seorang tetangga datang untuk membeli sesuatu di warung ibu. Nenek kembali mengulangi perkataannya dengan nada yang lebih tinggi. Adik pun mulai naik pitam dan kabur keluar rumah. Nenek menangis. Tetangga bingung.
Kepada tetangga, saya dan ibu mengatakan kalau nenek baik-baik saja. Kemudian tetangga itu pamit pulang. Nenek masih nangis dan makin menjadi. Kami mencoba membujuknya, tapi selalu gagal.
Tiba-tiba adik pulang sendiri. Ia langsung masuk kamar dan mengunci diri. Saya paham, seperti biasanya, adik pasti sedang menangis. Ibu kemudian menyusulnya. Mencoba membujuknya. Sementara nenek pun juga pindah ke kamar. Saya yang menyusulnya.
Saya dan ibu seperti sedang mencoba memperbaiki atap yang bocor. Hujan hari ini terlalu deras. Air memenuhi rumah. Masakan ibu dan gorengan nenek tidak termakan. Kami tenggelam dalam kesedihan dan keegoan masing-masing. Hari pertama yang benar-benar di luar rencana.
Saya dan ibu butuh waktu lama untuk membujuk keduanya. Diam-diam, dari kamarnya masing-masing, ternyata keduanya saling mengkhawatirkan. Keduanya merasa bersalah dan ingin meminta maaf. Tangisan keduanya, bukan tangisan kekecewaan pada yang lain, tapi pada dirinya masing-masing.
Hingga pada akhirnya, saya dan ibu berhasil membawa adik ke kamar nenek. Keduanya kemudian saling berpelukan. Keduanya saling menyampaikan maaf dan memaafkan. Suasana menjadi lebih menyenangkan. Atap yang bocor telah selesai diperbaiki. Kami tidak kehujanan lagi. Sayangnya, masakan ibu sudah terlanjur terendam air. Puasa hari pertama ini, kami cukup membatalkannya dengan air hujan. Hanya dengan air mata.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama