Hari ini adalah hari pertama puasa. Ibu memasak
sambal tumpang dan menggoreng dada ayam. Nenek membuat bakwan. Saya sempat
membuat es jeruk nipis. Semua itu untuk berbuka bersama.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, hari
pertama adalah hari untuk berkumpul. Saya yang biasa di Yogyakarta harus
pulang. Nenek selalu bilang, yang pertama itu untuk keluarga. Sehari sebelumnya,
biasanya kami sudah berkumpul. Bahkan sempat membicarakan menu sahur dan buka.
Seperti sore ini, semua masakan sudah
siap di meja. Rumah kami kecil, ruang tamu adalah ruang makan juga. Saya sudah
duduk di pojok. Ibu di tengah, merapikan letak piring dan nasi. Sedang nenek
masih gelisah sendiri. Adik saya yang pertama belum pulang.
Nenek tidak menggelisahkan adik saya
yang kecil, karena dia pamit pergi ke masjid. Nenek maklum karena memang masih
kecil dan teman-temannya di masjid semua. Sementara adik saya yang besar, tidak
pamit ke mana-mana.
Nenek kemudian berdiri dan keluar rumah.
Saya bisa melihatnya dari jendela, nenek menuju rumah tetangga. Tempat nongkrong
adik saya. Dia dan teman-temannya menyebut rumah tetangga itu sebagai markas.
Di markas tersebutlah nenek menemukan
adik saya, kemudian mengajaknya pulang. Sayangnya, ketika sampai di rumah,
nenek tidak lagi tersenyum. Wajahnya murung. Keriputnya semakin menjadi. Saya mengerti,
pasti telah terjadi sesuatu.
Saya menanyakannya kepada nenek. Beliau kemudian
menoleh ke arah saya dan berkata, “Aku gur pengen kabeh ning omah, iki wis meh
bedug. Ora apik nak ning omahe tanggane.” Wajahnya serius. Ada kemarahan yang
tertahan.
Adik saya datang dari arah kamar. Ia ingin
mengambil handuk untuk mandi. Saya kemudian mengatakannya kepada nenek, kalau
adik sudah di rumah dan mau mandi. Dasarnya saya itu temperamen. Ketika nenek
mengulangi kata-katanya di awal tadi, adik menyahut dengan emosi. Ia mengatakan
kalau sudah menurut untuk pulang.
Masalahnya di sini, sebenarnya hanya
kegagalan komunikasi yang baik. Adik saya ingin, hal-hal yang seperti itu tidak
dikatakan secara berulang-ulang. Tidak diungkit-ungkit. Apalagi ketika ada
tetangga yang datang ke rumah. Itu tidak baik. Sedangkan nenek tidak begitu. Tabiatnya
sebagai orangtua begitu lekat. Beliau tidak ingin kejadian serupa terulang. Oleh
karenanya, nenek mengulang terus kata-katanya.
Saya mulai mengerti. Begitupun dengan
ibu. Kami mengerti. Adik dan nenek mulai bertengkar dan saling ngotot dengan
kebenarannya masing-masing. Saling membentak. Puncaknya ketika seorang tetangga
datang untuk membeli sesuatu di warung ibu. Nenek kembali mengulangi
perkataannya dengan nada yang lebih tinggi. Adik pun mulai naik pitam dan kabur
keluar rumah. Nenek menangis. Tetangga bingung.
Kepada tetangga, saya dan ibu mengatakan
kalau nenek baik-baik saja. Kemudian tetangga itu pamit pulang. Nenek masih
nangis dan makin menjadi. Kami mencoba membujuknya, tapi selalu gagal.
Tiba-tiba adik pulang sendiri. Ia
langsung masuk kamar dan mengunci diri. Saya paham, seperti biasanya, adik
pasti sedang menangis. Ibu kemudian menyusulnya. Mencoba membujuknya. Sementara
nenek pun juga pindah ke kamar. Saya yang menyusulnya.
Saya dan ibu seperti sedang mencoba
memperbaiki atap yang bocor. Hujan hari ini terlalu deras. Air memenuhi rumah. Masakan
ibu dan gorengan nenek tidak termakan. Kami tenggelam dalam kesedihan dan
keegoan masing-masing. Hari pertama yang benar-benar di luar rencana.
Saya dan ibu butuh waktu lama untuk membujuk
keduanya. Diam-diam, dari kamarnya masing-masing, ternyata keduanya saling
mengkhawatirkan. Keduanya merasa bersalah dan ingin meminta maaf. Tangisan keduanya,
bukan tangisan kekecewaan pada yang lain, tapi pada dirinya masing-masing.
Hingga pada akhirnya, saya dan ibu
berhasil membawa adik ke kamar nenek. Keduanya kemudian saling berpelukan. Keduanya
saling menyampaikan maaf dan memaafkan. Suasana menjadi lebih menyenangkan. Atap
yang bocor telah selesai diperbaiki. Kami tidak kehujanan lagi. Sayangnya,
masakan ibu sudah terlanjur terendam air. Puasa hari pertama ini, kami cukup
membatalkannya dengan air hujan. Hanya dengan air mata.
Posting Komentar