Riwayat yang Terlupa
Andrian Eksa
/1/
Hari
hampir hening
Laut
tembaga disorot cahaya lampu.
Kita
masih pada pertanyaan yang sama,
Mengapa
laut masih ada
dan
suka menyimpan rahasia?
Orang-orang
datang dari mana mereka suka,
Membawa
keluhnya masing-masing
Lalu
menitipkannya kepada laut yang asing.
“Barangkali
laut adalah diri kita,
tak
pernah selesai dengan rahasia.
Mungkin pula adalah kesunyian kita,
yang
terlalu mengada.” katamu.
Atau
karena laut itu ibu
Di
mana kita bermula
Di
mana rahasia bermuara.
Kita
masih bertanya,
Masih
menerka.
/2/
Hari
hampir hening
Ombak
bergulung menepi, perlahan
Angin
kepada pasir, menjadikannya desir
Sedang
orang-orang menyiapkan kecemasannya
Seperti
nelayan melarung sesaji dalam dongeng.
“Ceritakan lagi padaku,
Dongeng
nelayan yang purba itu.”
Pintamu
dengan mata yang tak lepas,
dari
garis di ujung batas.
Pada
mulanya setiap nelayan mencintai laut.
Mereka
menghormatinya dengan sesaji dan doa.
Dengan upacara, membakar kemenyan, lalu melarung
kecemasan.
“Sama
seperti orang-orang yang datang.
Sama
seperti kita.”
Bisikmu
tiba-tiba,
seperti
menggarami luka.
/3/
Hari
pun hening
Kecemasan
tergulung ombak,
menjadi
buih.
Pandang
kita beringsut ke langit
Menghitung
bintang dan menukarnya dengan nasib.
“Lihatlah!
Pada
mulanya itu adalah peta
Nasib
yang membawa kita
Mengarungi
laut, rahasia hidup.”
Seperti
nasib yang tertulis pada garis tangan
Alam
menjaga kita dari sesat dan kecemasan.
/4/
Hari
semakin hening
Orang-orang
pulang.
Angin
semakin dingin
Ke
laut, nelayan menyambang.
Sedang
kita masih di luka yang sama
Mengapa
laut masih ada
dan
orang-orang datang menitipkan rahasia?
Sedang
laut masih di tempat yang sama
Mengapa
kita masih ada
dan
tak lagi menghormatinya?
/5/
“Semoga
Sebelum
jadi mimpi
Dongeng-dongeng
diperdengarkan kembali.” doamu.
Dalam
matamu, ribuan harap menjadi layar
Membentang
dan tertiup angin.
Membawa
kecemasan kita
Mengarungi lautan
dengan peta moyang.
Yogyakarta,
Agustus 2016
Posting Komentar