Ribuan Kupu-Kupu Berterbangan dari
Desahmu
Andrian Eksa
/1/
Malam
tiba.
Kehidupan
mulai menyala di setiap mata
orang-orang
malang di Tugu Persatuan.
Di
tugu itu, kita bertemu.
Menjadi
dingin dengan ribuan ingin.
Menjadi
satu, menggenapi jumlah batu
yang
mulai remuk diguyur waktu.
“Lihatlah!
Bulan
adalah satu-satunya yang kupintakan
dalam
doa menjelang malam.
Sebab
remang, cahaya yang menjanjikan
dalam
ritual pertemuan.” katamu.
Nyatanya,
kecemasanmu tak pandai sembunyi
dalam
debar di dada
dan
mata yang berkaca-kaca.
Lalu
kau telusuri tugu dengan tangis,
Kumasuki
kolam yang amis.
Dan
kita pun bersama-sama
Merapal
mantra yang tertulis di bola mata:
Ada
luka yang kau simpan
dalam
kedip dan pejam.
/2/
“Di
tanah ini, ibuku adalah darah yang tumpah
kering
di atas batu
dan
tumbuh menjadi tugu.
“Di
tanah ini, bapakku adalah angin yang asal
datang
entah dari mana
dan
pergi entah ke mana.
“Di
tanah ini, aku adalah perempuan sepi
yang
terus mencari
pada
batu yang mana ibuku abadi
pada
gua yang mana bapakku menepi.”
katamu
begitu lirih dan perih.
Akhirnya
kau pun menunggu orang-orang datang
Dan
kau bacakan riwayat Tugu Persatuan di setiap petang
sebelum
malam membuatnya menghilang.
/3/
Pada
mulanya, tugu ini adalah batu dan pasir
Tumbuh
dari hitungan angka lahir,
Doa
untuk sebuah takdir.
Tugu
ini adalah puja
yang
tumbuh bersama doa, sembilan puluh sembilan nama
dilantunkan
lima suara: Tolaki, Bugis, Buton, Moronene, dan Muna.
Ujung
tugu adalah tuju
yang
bulat dan satu.
Lantai
tugu adalah doa suci
melingkar
serupa kalosara1 suku
Tolaki.
Dan
di bawah tugu adalah rindu
Tempat
menyimpan kenangan masa lalu.
Kini
segalanya mengering
dan
tertiup angin.
/4/
Maka
segala kenanganmu bangkit
dari
keropos kayu, pecahan batu, dan pecahan kaca
tugu
yang malang nasibnya.
Kerinduanmu
ngalir dari mata
Meresap
ke dada
dan
perih, menggarami luka.
/5/
Akhirnya
malam semakin mengada
Bulan
perlahan lindap dari mata.
Wajahku
tenggelam dalam dadamu
dan
ribuan kupu-kupu berterbangan dari desahmu.
Kendari,
14 Oktober 2016
1kalosara : lambang persatuan dalam kepercayaan
suku Taloki.
(puisi ini dimuat dalam buku kumpulan puisi Andrian Eksa dan Shodiq Sudarti "Dongeng Suatu Zaman dan Riwayat yang Terlupa" yang diterbitkan oleh Quark Books (2018) dan pernah memenangi lomba penulisan puisi dalam Peksiminas XII di Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara sebagai juara pertama)
Posting Komentar