Tiga Lagu yang Mengiringi Perjalanan Seorang CPNS ke PNS


Sumber gambar: AyoSemarang.com

Judul ini diilhami oleh Bapak Kemenag. Katanya, ada lagu-lagu yang dipercaya sebagai pengiring perjalanan CPNS ke PNS seperti saya. Berikut ini yang dimaksud Bapak Kemenag. Cusss~


Pertama, pas masih jadi CPNS, lagunya itu Maju Tak Gentar. Harus berjuang sedemikian rupa agar bisa menunjukkan profesionalitas kerja. Kalau mulai kendor semangatnya, tinggal diingat-ingat lagunya, majulah majulah menang!

Saya sendiri, setelah dinyatakan lulus CPNS sebagai Guru Bahasa Indonesia di Kemenag Kanwil D.I. Yogyakarta, selalu diberondong pertanyaan tetangga. Ada yang menanyakan tempat kerja, rasanya bekerja, dan gaji pertama. Tidak hanya sekali dua kali, pertanyaan itu disampaikan setiap saya pulang. Terkadang, saya sengaja lebih lama di Yogyakarta hanya untuk menghindari pertanyaan yang masih sama.

Ketika saya menjawab belum bekerja, dikiranya bercanda. Masak bisa selama itu? Si A sudah bekerja lo! Kemarin bayar berapa sih kok bisa lolos? Mungkin kurang bayarnya, makanya lama. Mending kamu nyari kerja yang lain. Kasus seperti ini sering kok terjadi, jangan ngarep lagi! Hassshhheeemmmbuuhhh!

Saya cuma bisa menebalkan telinga untuk bertahan sampai sekarang. Selama ini, ayem-ayem paling manjur hanyalah, mungkin saya dipanggil setelah lebaran atau pas ajaran baru. Wah… enak itu. Kalau TMTnya bulan Maret, bisa terima gaji tanpa bekerja dong? Ndiasmu! Kalau belum bekerja, ya belum digaji. Lah bukannya PNS kayak gitu? Kerja ataupun nggak kerja, gaji tetap diterima? Kata siapa, woy?!

Kedua, kalau sudah jadi PNS awal-awal, lagunya Halo-Halo Bandung. Saya tidak bisa mencocok-cocokkan lagu tersebut dengan kondisi PNS awal-awal. Akan tetapi, mungkin yang dibayangkan Bapak Kemenag, seseorang yang sudah menjadi PNS, sudah bisa ber­halo-halo dengan yang lain.

Akhirnya, setelah menunggumu sekian lama, saya dipanggil juga. Kami—saya dan teman-teman—dikumpulkan di Asrama Haji Yogyakarta untuk simulasi ibadah haji menerima kenyataan SK penempatan. Sebelum menduga-duga, dan menggelar aksi protes karena tidak sesuai harapan kami diingatkan dengan sebuah surat yang telah tertandatangani di atas materai enamribu rupiah. Kami siap ditempatkan DI MANA PUN, di seluruh wilayah kerja Kemenag RI.

“Jadi harus ikhlas. Pakai shad, ya. Ikhlas!
“Karena ditempatkan yang dekat akan terasa jauh juga. Kenapa? Karena kadang hatinya tidak cocok.” Yaelah… Bapak Kemenag bisa bercanda juga~

Kami semua tertawa. Saya tidak menyangka, pengumuman sepenting ini, bisa dikemas dengan begitu menyenangkan. Awalnya saya membayangkan raut wajah yang penuh kekecewaan karena tidak sesuai harapan. Ternyata pas sudah dibagikan, saya melihat memang demikian semua senang.

Ketiga, kalau PNS yang sudah merasakan tunjangan profesi dan lain-lain, lagunya Di Sini Senang Di Sana Senang. Kata Bapak Kemenag, dalam kondisi tersebut, mau ditempatkan di sana pun, kerja seperti apa pun, pokoknya sudah pasti senang. Yaiyalah, Pak, wong gajinya udah gede aja kok.

Mendengar kata gaji, mata saya yang sedikit ngantuk, langsung automelek. Apalagi pas tahu kalau penggajian dihitung dari bulan Juni. Itu berarti kan tinggal menunggu beberapa hari lagi. Akhirnya bisa beli baju baru untuk lebaran tanpamu.

“Setiap pengajuan gaji itu maksimal tanggal 10 setiap bulannya. Artinya, ketika akan mengajukan gaji di bulan Juni, seharusnya diurus maksimal tanggal 10 Mei kemarin. Karena panjenengan hadirnya saat ini, otomatis gaji Juni belum bisa diberikan.
“Untuk itu akan diurus bersama dengan gaji bulan Juli. Itupun harus diurus di tanggal 1—10 Juni. Sementara untuk cuti dan libur sampai tanggal 9 Juni. Oleh karena itu, kalau ada perpanjangan waktu pengurusan, gaji bisa diberikan di bulan Juli. Akan tetapi, kalau tidak ada, kemungkinan besar gaji baru dibayarkan di bulan Agustus.”

Begitulah gambaran dari Bapak Kemenag. Beliau menghimbau kepada kami, dengan kondisi yang seperti itu, diharapkan untuk berbaik hati dan mendekati mertua—menggantungkan hidup padanya. Itu kan untuk yang sudah berkeluarga. La untuk dedek gemes semacam saya? Mau bergantung pada pohon yang mana siapa? Sesungguhnya, tiada tempat bergantung, melainkan Tuhan yang Mahakuasa. Oh, iya sih.

Catatan:
Penyebutan “Bapak Kemenag” tidak merujuk pada penggede di Kemenag RI, tapi pada bapak-bapak yang menyampaikan informasi di dalam artikel ini.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama