Sumber gambar: antarafoto.com |
Isu sampah plastik tidak pernah selesai diperbincangkan, meskipun tidak pernah selesai pula ditangani oleh masyarakat maupun pemerintah. Segala upaya, seperti yang sudah dicoba, tidak pernah membahagiakan.
Bagaimana mungkin dalam waktu singkat, sampah plastik yang mampu
bertahan ratusan tahun, dapat dimusnahkan begitu saja? Barangkali hanya akan
menjadi mimpi semata.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, sebuah kelompok
teater yang bernama Komunitas Sakatoya dan Snooge Artwork mencoba usaha lain,
sebuah upaya penyadaran secara sederhana kepada masyarakat umum, khususnya yang
tertarik pada pementasan teater. Pementasan yang berjudul Octagon Syndrom dihelat di gedung PKKH UGM, 4—5 Agustus 2018 dalam
empat kali pementasan.
Penonton diajak untuk memasuki sebuah ruang yang
ditutup dengan plastik besar sehingga terciptalah sebuah ruang mirip kolam “mandi
bola” yang dijajakan di pasar malam. Ruang tersebut dibagi menjadi dua bagian,
panggung dan area penonton.
Penonton yang sudah terlanjur memasuki ruang
tersebut, dikondisikan dalam posisi lesehan tanpa alas, sekaligus seolah-olah
berada dalam kubangan sampah plastik, ribuan botol plastik disebar begitu saja
membentuk sebuah kolam.
Selaiknya dalam sebuah kolam, hampir setiap gerak
tubuh penonton bersinggungan langsung dengan sampah plastik, sehingga
suara-suara yang dihasilkan dari singgungan tersebut terdengar sepanjang
pementasan, dari awal sampai akhir.
Kegelisahan
yang Pesimistis
Kegelisahan Komunitas Sakatoya dan Snooge Artwork
tergambar pada kegelisahan tokoh Octagon dalam Octagon Syndrom. Octagon digambarkan sebagai seorang ayah dengan
dua putri, Vanadium dan Etilena. Kehidupan mereka berada ratusan tahun di depan
kehidupan saat ini.
Bumi digambarkan sebagai tempat yang dipenuhi sampah
plastik, semua perabot terbuat dari plastik, pohon-pohon plastik, dan
pembelajaran dari plastik. Sesuatu yang mampu bertahan pada kehidupan itu
hanyalah plastik.
Mereka bertahan hidup dengan sebuah alat bernama
futuregen, sebuah tabung yang berisi oksigen. Selain itu, kebutuhan harian
mereka dicukupi dengan alat-alat yang praktis. Setiap alat hanya perlu ditekan
tombolnya dan mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan tuannya.
Satu poin yang menarik dalam narasi pementasan
tersebut adalah bagaimana Octagon memberikan pembelajaran dan pemahaman kepada
kedua anaknya tentang sampah plastik.
Vanadium dan Etilena memahami segala sesuatu tentang
leluhur mereka dari sampah plastik. Nama-nama tumbuhan, binatang, makanan, dan
hal-hal detail lainnya dari gambar dan keterangannya yang tercantum dalam
kemasan plastik.
Penonton
dan Kesadaran terhadap Sekitar
Penonton adalah orang-orang yang ingin disasar oleh
Komunitas Sakatoya. Kesadaran penonton terhadap sampahlah yang sesungguhnya
menjadi tujuan utama pementasan ini.
Sejak awal pementasan, kelompok ini sudah
menempatkan penonton pada kondisi tidak nyaman, bahkan peringatan
ketidaknyamanan ini telah disampaikan oleh kelompok tersebut dalam tiket
pementasan. Berawal dari ketidaknyamanan tersebut, setiap penonton menunjukkan
sikapnya.
Respon penonton pun beragam, ada yang duduk dengan
santai dan nyaman di antara sampah sembari menikmati pertunjukkan; ada yang
duduk dengan gelisah, berpindah-pindah tempat, dan membuat sedikit gaduh ruang
tersebut; ada yang memainkan sampah plastik dan tidak berfokus pada pementasan;
dan tentu ada yang sibuk dengan gawai dan mengabadikan sampah-sampah tersebut
dalam ruang penyimpanan dan media sosialnya. Respon-respon tersebut lahir
begitu saja dengan atau tanpa disadari oleh individu penonton.
Saya melihat, ketidaknyamanan penonton dengan
sampah-sampah plastik di sekitarnya, menjadi satu pemicu untuk diet plastik. Kalaupun
sampah plastik susah untuk dikurangi, kita bisa kan untuk tidak menambahinya?
Setelah
Ini, Lalu Apa Lagi?
Lebih menariknya lagi, seusai pementasan, diadakan
diskusi. Dari diskusi tersebut, kelompok pementas menceritakan proses di
baliknya. Mulai dari kegelisahan mereka akan semakin banyaknya sampah plastik,
observasi ke tempat pembuangan akhir, dan gagasan penukaran botol plastik
dengan segelas kopi. Bagian terakhir ini, kemudian dijadikan setting
pementasan.
Seperti diskusi pada umumya, di sini terjadi tukar
pikiran. Ada satu pertanyaan penonton yang sangat menarik, “Setelah pementasan
ini, botol-botol plastik ini mau dikemanakan?”
Dari pernyataan tersebut, saya jadi teringat, mau
diupayakan dalam bentuk apa pun, plastik akan tetaplah plastik. Sampah plastik
yang digunakan ulang, sebagai karya seni misalnya, lama-kelamaan akan kembali
kepada sampah plastik juga. Jadi, tidak ada cara lain, kecuali mulai menyadari
bahwa diet plastik itu PERLU!
Posting Komentar