Setiap tahun, Sangkala, salah satu Unit
Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) di FBS UNY, membuka penerimaan anggota baru.
Menariknya, tahap-tahap penerimaan anggota baru di Sangkala didasarkan pada
nalar bagaimana manusia hidup di dunia.
Manusia yang hidup selalu dihadapkan
pada ruang sosial. Oleh karenanya, manusia mesti memahami diri dan posisinya di
dalam masyarakat.
Tiga Kali Pentas
sebagai Proses Pemahaman Diri
Hakikat manusia pertama kali adalah sebagai
individu. Bayi lahir cenger sebagai
individu yang mempunyai bakat dan karakter. Semua potensi sudah diberikan Tuhan
kepadanya. Oleh karenanya, tugas orangtua hanya melihat bayi tersebut, bagaimana
bakat dan karakternya.
Berangkat dari nalar tersebut, Sangkala
mengawali tahapan penerimaan anggota baru dengan pentas individu. Ibarat bayi di dalam sebuah keluarga, individu
tersebut akan berbicara tentang potensinya. Sangkala membayangkan, individu-individu
yang mendaftar, sebelum menjadi keluarga Sangkala, hadir sebagai individu yang
bebas tanpa paksaan. Sangkala bertugas sebagai orangtua, yaitu untuk memahami
individu tersebut.
Setelah individu tersebut memahami
dirinya, dan kemudian bergerak, maka dirinya akan bertemu dengan individu lain.
Bertemunya individu-individu ini akan membentuk sebuah kelompok-kelompok kecil.
kelompok-kelompok tersebut, pada akhirnya akan saling bersaing satu sama lain. Hal
tersebut adalah konsep dasar hidup manusia. Tahap inilah yang kemudian diambil
Sangkala sebagai pentas kelompok.
Di dalam persaingan antarkelompok
tersebut, Sangkala memberikan satu ruang kenabian, di mana setelah bersaing,
kelompok-kelompok tersebut harus menjadi saudara. Ketika kelompok-kelompok tersebut
saling berupaya menunjukkan keunggulannya, Sangkala meleburkan persaingan itu
menjadi persaudaraan. Kelompok-kelompok yang telah selesai bersaing, kemudian
harus bekerjasama menjadi satu kelompok besar. Untuk bisa siap bergabung dengan
keluarga Sangkala, individu harus siap pula untuk berbarengan. Konsep itulah
yang menjadi landasan dari pentas angkatan
Sangkala.
Proses belajar atau kemauan untuk
belajar, akan dapat dicapai ketika seseorang telah selesai dengan ruang
eksistensi individu dan eksistensi kelompok. Tahap-tahap dalam penerimaan
anggota baru Sangkala ini ditujukan agar individu mempunyai kesadaran dan
pemahaman tersebut. Ketika individu tidak melewati tahap-tahap tersebut, Sangkala
mengawatirkan, individu tersebut hanya akan terjebak pada ruang pengejaran
eksistensi. Individu-individu yang berhasil melewati tahap-tahap tersebut, baru
akan siap untuk belajar lebih lanjut di dalam keluarga Sangkala.
Keluarga Sangkala pun, di dalam proses
tahap-tahap di atas, tidak diijinkan untuk memberikan arahan mendalam kepada
setiap anggota baru. Tujuannya adalah agar Sangkala mampu melihat potensi dan
cara berpikir yang benar-benar original dari setiap individu, tanpa campur
tangan nilai-nilai Sangkala yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, tidak bisa
ditolak apabila, jangan-jangan individu yang mendaftar ke Sangkala tersebut
lebih baik dari keluarga Sangkala. Individu yang telah selesai dengan dirinya,
sehingga sikap hidupnya lebih luhur. Sangkala tidak diijinkan untuk bersikap
menggurui dan menyombongkan diri. Untuk bisa mencapai tujuan tersebut, Sangkala
hanya melakukan koordinasi teknis, seperti membantu menyiapkan sesuatu dan memberikan
ruang komunikasi.
Di wilayah ini, selain bertujuan bagi
anggota baru, sebenarnya juga menjadi ruang pembelajaran bagi pengurus. Pengurus
diharapkan mampu menempatkan diri di tengah-tengah. Tidak hadir sebagai suri
tauladan di depan, tetapi melebur menjadi satu. Ketika pentas-pentas
dilaksanakan pun, pengurus diharapkan menempatkan diri di belakang, seperti
membantu menyiapkan tata panggung dan konsumsi. Hal itu didasarkan pada sikap
pemimpin yang harus siap di mana pun, baik di belakang, tengah, maupun depan.
Kesenian bagi
Masyarakat Desa
Setelah tahap-tahap tersebut di atas
terlampaui, Sangkala mengarahkan anggota baru pada ruang masyarakat desa di
Padepokan Tjipta Boedaja, Magelang. Pemilihan padepokan ini didasarkan pada
masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani, tetapi mereka tetap berteater. Masyarakat
di Padepokan Tjipta Boedaja melihat sebuah pertunjukan atau kesenian bukan
sebagai sesuatu yang istimewa, melainkan hal yang biasa-biasa saja. Sangkala berharap,
tanpa harus membicarakan hal-hal filosofis tentang sikap rendah hati, anggota
baru dapat melihat secara langsung bagaimana masyarakat di padepokan tersebut
berlaku hidup dan berkesenian.
Di padepokan ini, anggota baru diarahkan
untuk memberikan satu sajian pementasan kepada masyarakat. Seusai pementasan, Sangkala
menghadirkan satu ruang diskusi antara anggota baru dengan masyarakat. Tujuannya
adalah untuk meleburkan eksistensi kemahasiswaan anggota baru. Harapannya,
dengan berdiskusi tentang kesenian dengan masyarakat yang petani tersebut,
anggota baru Sangkala menyadari satu hal, bahwa mahasiswa itu bukan hal yang “wah”
dan masyarakat desa pun berpengetahuan tentang kesenian.
Tujuan dari semua tahapan di atas adalah
tercapainya sikap rendah hati. Sangkala melihat, orang yang siap untuk masuk ke
dalam dunia panggung hanyalah orang-orang yang rendah hati. Seorang teatrawan
dituntut untuk mampu menyiptakan sebuah dunia. Kalau seorang teatrawan tidak
rendah hati, ditakutkan malah menjurus pada sikap menggurui dan menyombongkan
diri melebihi Tuhan.
Selanjutnya, Sangkala memberikan workshop kecil kepada anggota baru di
Padepokan Tjipta Boedaja. Pemberian workshop
harus dilakukan setelah anggota baru menyelesaikan pementasan dan memahami
hal-hal yang kurang. Ruang ini pun menjadi pengenalan potensi keluarga
Sangkala. Di ruang ini pula, antara keluarga dan anggota baru Sangkala melebur
untuk berbagi ilmu tentang teater.
Kemanusiaan di Atas
Nasionalisme
Ketika pengenalan dan peleburan tersebut
telah berhasil dilakukan, Sangkala kembali memberi penantingan kepada anggota
baru, siapkah untuk dilantik menjadi
keluarga Sangkala? Di dalam ruang ini, Sangkala memberikan pilihan kepada
anggota baru untuk lebih memilih lembaga atau keluarga.
Sangkala melihat, nilai nasionalisme lebih
rendah daripada nilai kemanusiaan. Tuhan menyiptakan manusia, bukan menyiptakan
negara. Negara sendiri lahir dari manusia. Ketika individu lebih memilih
membela negara tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan, maka akan menjadi kacau. Akhirnya,
Sangkala berkesimpulan bahwa kesadaran kenegaraan adalah kesadaran menghormati
ruang kemanusiaan tersebut.
Di dalam hal ini, ketika anggota baru
Sangkala lebih memilih negara, memilih lembaga, maka sesungguhnya telah memilih
untuk menguasai lembaga tersebut. Individu tersebut mengorbankan
individu-individu lain yang sudah berproses lama bersamanya. Individu seperti
itu, bagi Sangkala, belum siap untuk berproses dan belajar di keluarga
Sangkala.
Harapan Sangkala, individu-individu yang
ditanting memilih keluarga dengan kesadarannya. Mereka yang bersama-sama dan
dengan keyakinan yang kuat mementingkan kemanusiaan di atas nasionalisme, itulah
yang akan diterima menjadi keluarga Sangkala.
Penerimaan ke dalam keluarga Sangkala,
diiringi dengan kidung yang dilantunkan oleh Rama Sitras Anjilin, pemimpin Padepokan
Tjipta Boedaja. Dikarenakan hidup di Jawa, Sangkala melihat kidung Jawa
mempunyai nilai pluralisme yang lebih tinggi daripada kidung-kidung lainnya. Anggota
yang diterima pun kemudian disiram dengan air bunga mawar. Tujuannya tidak lain
agar wangi. Bukan permasalahan kejawen atau klenik.
Setelah genap menjadi keluarga Sangkala,
tahap selanjutnya adalah pementasan di kampus. Tahap ini disebut sebagai sasanti atau persembahan. Proses ini sebagai bentuk publikasi
bahwa Sangkala telah mempunyai keluarga baru. Oleh karenanya, pementasan tersebut
tidak boleh memberlakukan tiket masuk alias gratis. Selain itu, siapa pun
dibolehkan untuk masuk ke dalam ruang improvisasi dan bermain bersama keluarga
baru. Hal itu bertujuan untuk menghadirkan kedekatan dan kehangatan di dalam
keluarga.
[Tulisan
ini disarikan dari obrolan kami (pengurus Sangkala FBS UNY), termasuk saya,
dengan Muhammad Shodiq Sudarti, salah satu pendiri Sangkala FBS UNY]
Diketik
di Yogyakarta, April 2019
Posting Komentar