“Sangkala Harus Menempatkan Kemanusiaan di Atas Nasionalisme.” Begitu Kata Shodiq Sudarti


Sumber gambar: dokumentasi Sangkala FBS UNY


Setiap tahun, Sangkala, salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) di FBS UNY, membuka penerimaan anggota baru. Menariknya, tahap-tahap penerimaan anggota baru di Sangkala didasarkan pada nalar bagaimana manusia hidup di dunia. Manusia yang  hidup selalu dihadapkan pada ruang sosial. Oleh karenanya, manusia mesti memahami diri dan posisinya di dalam masyarakat.

Tiga Kali Pentas sebagai Proses Pemahaman Diri
Hakikat manusia pertama kali adalah sebagai individu. Bayi lahir cenger sebagai individu yang mempunyai bakat dan karakter. Semua potensi sudah diberikan Tuhan kepadanya. Oleh karenanya, tugas orangtua hanya melihat bayi tersebut, bagaimana bakat dan karakternya.
Berangkat dari nalar tersebut, Sangkala mengawali tahapan penerimaan anggota baru dengan pentas individu. Ibarat bayi di dalam sebuah keluarga, individu tersebut akan berbicara tentang potensinya. Sangkala membayangkan, individu-individu yang mendaftar, sebelum menjadi keluarga Sangkala, hadir sebagai individu yang bebas tanpa paksaan. Sangkala bertugas sebagai orangtua, yaitu untuk memahami individu tersebut.
Setelah individu tersebut memahami dirinya, dan kemudian bergerak, maka dirinya akan bertemu dengan individu lain. Bertemunya individu-individu ini akan membentuk sebuah kelompok-kelompok kecil. kelompok-kelompok tersebut, pada akhirnya akan saling bersaing satu sama lain. Hal tersebut adalah konsep dasar hidup manusia. Tahap inilah yang kemudian diambil Sangkala sebagai pentas kelompok.
Di dalam persaingan antarkelompok tersebut, Sangkala memberikan satu ruang kenabian, di mana setelah bersaing, kelompok-kelompok tersebut harus menjadi saudara. Ketika kelompok-kelompok tersebut saling berupaya menunjukkan keunggulannya, Sangkala meleburkan persaingan itu menjadi persaudaraan. Kelompok-kelompok yang telah selesai bersaing, kemudian harus bekerjasama menjadi satu kelompok besar. Untuk bisa siap bergabung dengan keluarga Sangkala, individu harus siap pula untuk berbarengan. Konsep itulah yang menjadi landasan dari pentas angkatan Sangkala.
Proses belajar atau kemauan untuk belajar, akan dapat dicapai ketika seseorang telah selesai dengan ruang eksistensi individu dan eksistensi kelompok. Tahap-tahap dalam penerimaan anggota baru Sangkala ini ditujukan agar individu mempunyai kesadaran dan pemahaman tersebut. Ketika individu tidak melewati tahap-tahap tersebut, Sangkala mengawatirkan, individu tersebut hanya akan terjebak pada ruang pengejaran eksistensi. Individu-individu yang berhasil melewati tahap-tahap tersebut, baru akan siap untuk belajar lebih lanjut di dalam keluarga Sangkala.
Keluarga Sangkala pun, di dalam proses tahap-tahap di atas, tidak diijinkan untuk memberikan arahan mendalam kepada setiap anggota baru. Tujuannya adalah agar Sangkala mampu melihat potensi dan cara berpikir yang benar-benar original dari setiap individu, tanpa campur tangan nilai-nilai Sangkala yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, tidak bisa ditolak apabila, jangan-jangan individu yang mendaftar ke Sangkala tersebut lebih baik dari keluarga Sangkala. Individu yang telah selesai dengan dirinya, sehingga sikap hidupnya lebih luhur. Sangkala tidak diijinkan untuk bersikap menggurui dan menyombongkan diri. Untuk bisa mencapai tujuan tersebut, Sangkala hanya melakukan koordinasi teknis, seperti membantu menyiapkan sesuatu dan memberikan ruang komunikasi.
Di wilayah ini, selain bertujuan bagi anggota baru, sebenarnya juga menjadi ruang pembelajaran bagi pengurus. Pengurus diharapkan mampu menempatkan diri di tengah-tengah. Tidak hadir sebagai suri tauladan di depan, tetapi melebur menjadi satu. Ketika pentas-pentas dilaksanakan pun, pengurus diharapkan menempatkan diri di belakang, seperti membantu menyiapkan tata panggung dan konsumsi. Hal itu didasarkan pada sikap pemimpin yang harus siap di mana pun, baik di belakang, tengah, maupun depan.

Kesenian bagi Masyarakat Desa
Setelah tahap-tahap tersebut di atas terlampaui, Sangkala mengarahkan anggota baru pada ruang masyarakat desa di Padepokan Tjipta Boedaja, Magelang. Pemilihan padepokan ini didasarkan pada masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani, tetapi mereka tetap berteater. Masyarakat di Padepokan Tjipta Boedaja melihat sebuah pertunjukan atau kesenian bukan sebagai sesuatu yang istimewa, melainkan hal yang biasa-biasa saja. Sangkala berharap, tanpa harus membicarakan hal-hal filosofis tentang sikap rendah hati, anggota baru dapat melihat secara langsung bagaimana masyarakat di padepokan tersebut berlaku hidup dan berkesenian.
Di padepokan ini, anggota baru diarahkan untuk memberikan satu sajian pementasan kepada masyarakat. Seusai pementasan, Sangkala menghadirkan satu ruang diskusi antara anggota baru dengan masyarakat. Tujuannya adalah untuk meleburkan eksistensi kemahasiswaan anggota baru. Harapannya, dengan berdiskusi tentang kesenian dengan masyarakat yang petani tersebut, anggota baru Sangkala menyadari satu hal, bahwa mahasiswa itu bukan hal yang “wah” dan masyarakat desa pun berpengetahuan tentang kesenian.
Tujuan dari semua tahapan di atas adalah tercapainya sikap rendah hati. Sangkala melihat, orang yang siap untuk masuk ke dalam dunia panggung hanyalah orang-orang yang rendah hati. Seorang teatrawan dituntut untuk mampu menyiptakan sebuah dunia. Kalau seorang teatrawan tidak rendah hati, ditakutkan malah menjurus pada sikap menggurui dan menyombongkan diri melebihi Tuhan.
Selanjutnya, Sangkala memberikan workshop kecil kepada anggota baru di Padepokan Tjipta Boedaja. Pemberian workshop harus dilakukan setelah anggota baru menyelesaikan pementasan dan memahami hal-hal yang kurang. Ruang ini pun menjadi pengenalan potensi keluarga Sangkala. Di ruang ini pula, antara keluarga dan anggota baru Sangkala melebur untuk berbagi ilmu tentang teater.

Kemanusiaan di Atas Nasionalisme
Ketika pengenalan dan peleburan tersebut telah berhasil dilakukan, Sangkala kembali memberi penantingan kepada anggota baru, siapkah untuk dilantik menjadi keluarga Sangkala? Di dalam ruang ini, Sangkala memberikan pilihan kepada anggota baru untuk lebih memilih lembaga atau keluarga.
Sangkala melihat, nilai nasionalisme lebih rendah daripada nilai kemanusiaan. Tuhan menyiptakan manusia, bukan menyiptakan negara. Negara sendiri lahir dari manusia. Ketika individu lebih memilih membela negara tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan, maka akan menjadi kacau. Akhirnya, Sangkala berkesimpulan bahwa kesadaran kenegaraan adalah kesadaran menghormati ruang kemanusiaan tersebut.
Di dalam hal ini, ketika anggota baru Sangkala lebih memilih negara, memilih lembaga, maka sesungguhnya telah memilih untuk menguasai lembaga tersebut. Individu tersebut mengorbankan individu-individu lain yang sudah berproses lama bersamanya. Individu seperti itu, bagi Sangkala, belum siap untuk berproses dan belajar di keluarga Sangkala.
Harapan Sangkala, individu-individu yang ditanting memilih keluarga dengan kesadarannya. Mereka yang bersama-sama dan dengan keyakinan yang kuat mementingkan kemanusiaan di atas nasionalisme, itulah yang akan diterima menjadi keluarga Sangkala.
Penerimaan ke dalam keluarga Sangkala, diiringi dengan kidung yang dilantunkan oleh Rama Sitras Anjilin, pemimpin Padepokan Tjipta Boedaja. Dikarenakan hidup di Jawa, Sangkala melihat kidung Jawa mempunyai nilai pluralisme yang lebih tinggi daripada kidung-kidung lainnya. Anggota yang diterima pun kemudian disiram dengan air bunga mawar. Tujuannya tidak lain agar wangi. Bukan permasalahan kejawen atau klenik.
Setelah genap menjadi keluarga Sangkala, tahap selanjutnya adalah pementasan di kampus. Tahap ini disebut sebagai sasanti atau persembahan. Proses ini sebagai bentuk publikasi bahwa Sangkala telah mempunyai keluarga baru. Oleh karenanya, pementasan tersebut tidak boleh memberlakukan tiket masuk alias gratis. Selain itu, siapa pun dibolehkan untuk masuk ke dalam ruang improvisasi dan bermain bersama keluarga baru. Hal itu bertujuan untuk menghadirkan kedekatan dan kehangatan di dalam keluarga.


[Tulisan ini disarikan dari obrolan kami (pengurus Sangkala FBS UNY), termasuk saya, dengan Muhammad Shodiq Sudarti, salah satu pendiri Sangkala FBS UNY]

Diketik di Yogyakarta, April 2019

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama