(cerita kecil saya, Paklik, dan bus)
Cita-cita
orang di desa saya sederhana, termasuk cita-citanya Paklik (paman saya). Ketika
jamak orang di desa saya ingin mempunyai galeri untuk memajang hasil ukiran
tembaganya, Paklik malah ingin jadi sopir bus saja. Pasalnya, sejak kecil
Paklik sudah akrab dengan setir bunder
itu. Hidupnya sampai saat ini pun bisa dibilang dari setir satu ke setir
lainnya.
Menurut
cerita, selulusnya dari sekolah dasar, Paklik ingin melanjutkan ke sekolah
menengah. Sayangnya, orangtua Paklik pada waktu itu kalah dengan stigma
masyarakat desa saya, bahwa menyekolahkan anak adalah usaha bunuh diri. Untuk
apa sekolah tinggi, jika akhirnya hanya menjadi pengrajin tembaga, seperti
jamaknya orang-orang di desa saya. Bahkan, stigma tersebut, meskipun tinggal
sedikit, masih tersisa di benak orangtua di desa saya sampai hari ini.
Sejak
itulah, Paklik mulai berkenalan dengan setir
bunder. Awalnya, Paklik menjadi kernet dari salah satu angkutan desa.
Lambat laun, Paklik belajar menyetir dan memantapkan pilihan pada profesi
sopir. Menariknya, hari ini orang-orang selalu menemui Paklik jika ingin
mengurus sesuatu yang berhubungan dengan setir
bunder. Baik perihal membeli mobil, belajar menyetir, antar-jemput orang
atau barang, dan mengurus surat-surat kendaraan. Nama Paklik santer ke seluruh
desa.
Pengalamannya
dalam setir bunder dan pengetahuannya
tentang jalanan memang tidak diragukan lagi. Tidak jarang, ketika sedang
menonton televisi, Paklik akan nyeletuk
tentang nama dan ancer-ancer tempat
yang ada di dalam frame. Sekalipun
itu adalah jalanan desa di suatu tempat yang jauh dari desa saya. Setelah
celetukan ke sekian, saya mengamini yang orang katakan, pengalaman adalah guru terbaik.
Bus-Bus
Itu Banyak yang Kosong
Suatu
hari, seperti biasanya, setiap ingin kembali ke Jogja, saya diantar Paklik
sampai Terminal Boyolali. Aku diboncengnya di atas sepeda motor miliknya, yang
belum lunas juga kreditnya. Sepanjang jalan, kami bisa membahas apa pun,
termasuk makanan apa yang mesti saya cicipi suatu hari nanti. Waktu itu, kami
membahas tentang mie ayam kampung, yang baru saja kami cicipi malam harinya.
Kami
sampai di terminal yang sepi. Meskipun penjual asongan bisa dibilang banyak,
tapi lalu lalang penumpang hanya sedikit. Kami duduk di kursi tunggu. Paklik
membeli kacang dan berharap rasanya seenak yang dimakan semalam, di warung mie
ayam.
Setelah
sebungkus kacang hampir tandas, sebuah bus datang. Warnanya biru, tujuan
akhirnya Jakarta. Dari kaca jendela, saya bisa menerka jika bus itu sepi
penumpang. Tidak ada satu pun yang turun. Akan tetapi, bus itu berhenti cukup
lama. Perginya hampir berbarengan dengan datangnya bus berikutnya. Bus dengan warna
dan nama yang sama. Menariknya, keduanya sama-sama tidak membawa banyak
penumpang. Sepertinya, memang bukan hari baik bagi bus tersebut.
Tidak
dinyana, ternyata Paklik memperhatikan itu. Tiba-tiba dirinya nyeletuk, seperti kebiasaannya. Katanya,
manajemen bus tersebut pasti sedang kacau. Seharusnya, antarbus dalam satu
perusahaan, terdapat jeda waktu yang cukup, agar semuanya mendapat penumpang
yang cukup pula. Setelah selesai nyeletuk,
Paklik benar-benar telah menandaskan kacangnya.
Bus
lain kemudian datang. Kali ini warnanya putih dengan sedikit aksen merah. Tujuan
akhirnya hanya ke Semarang. Tidak ada yang menarik dari bus ini, kecuali
kursi-kursinya yang sebagian besar kosong. Benar-benar
kacau…, celetuk Paklik kemudian. Kali ini sambil menggelengkan kepala. Paklik
tak habis pikir, kenapa banyak manajemen bus yang kacau. Atau memang harinya
saja yang kurang baik?
Kami
kemudian mencoba mengingat-ingat. Sepanjang perjalanan ke terminal ini, jalanan
cukup ramai. Memang lebih banyak sepeda motor dan mobil pribadi yang kami jumpai.
Bus kecil dengan rute Boyolali-Cepogo-Selo, Boyolali-Kartasura, atau
Boyolali-Ampel, bisa kami hitung dengan jari. Tidak lebih dari jari-jari tangan
kami.
Seingat
kami pun, bus yang menunggu penumpang di perempatan Surawedanan hanya ada tiga.
Itu pun kosong semua. Barangkali memang ada yang menunggu di Cepogo atau Selo. Akan
tetapi, kami bisa meyakini bahwa bus-bus tersebut penuh penumpang hanya ketika
pagi hari: anak-anak berangkat sekolah dan ibu-ibu penjual sayur ke pasar. Sepanjang
siang bus-bus itu akan sepi penumpang. Muter
satu-dua kali atau memilih tetap diam di tempat menunggu anak-anak pulang
sekolah dan ibu-ibu penjaja sayur pulang ke rumahnya. Setelahnya, kembali ke
garasi. Menemui juragan untuk setoran dan pulang ke rumah dengan keadaan lelah.
Gengsi-Gengsi
Club
Saya
kemudian menilik kembali apa yang selama ini saya lihat. Orang-orang di sekitar
saya atau bisa dibilang keluarga saya sendiri pun, masih menjadi manusia “gengsi-gengsi
club”. Barangkali memang benar, hidup itu perlombaan. Setiap kali ada yang
lebih unggul, yang lain akan segera menyusul. Bagaimanapun caranya.
Sebagai
contoh, ketika satu orang mempunyai sepeda motor, yang lain pun akan berusaha
mempunyai benda yang sama. Meskipun harus melalui sistem kredit dengan bunga
yang terkadang mencekik secara perlahan. Melihat geliat ini, barangkali
kemudian pengusaha-pengusaha pun berusaha untuk memasukkan produk-produknya. Bagaimanapun
caranya.
Kemudian,
dikenallah oleh masyarakat yang namanya “DP Nol Rupiah”. Mudahnya menurunkan
kendaraan dari dealer dan tingginya gengsi di masyarakat inilah yang membuat
produksi mesin ini begitu pesat. Begitulah akhirnya, jalanan menjadi lebih
padat, bukan karena kendaraan umum semacam bus dan angkutan. Akan tetapi,
dipenuhi sepeda motor dan mobil pribadi. Sayangnya lagi, orangtua seolah tidak
rela anaknya naik bus yang penuh sesak dan bisa jadi membuatnya terlambat
berangkat ke sekolah dan pulang ke rumah. Akhirnya, anak-anak yang seharusnya
belum boleh mengendarai kendaraan bermesin seorang diri tersebut, bahkan
ditanyai oleh orangtuanya, mau dibelikan
motor apa?
Di
luar dugaan-dugaan tersebut, saya menghadapi satu kenyataan, bahwa Paklik saya
bercita-cita menjadi sopir bus. Pertama,
Paklik saya sudah membebaskan diri dari “gengsi-gengsi club”. Kedua, Paklik saya setidaknya akan
memberi kontribusi yang lumayan, karena permasalahan yang terjadi bukan hanya
banyaknya produksi kendaraan pribadi. Akan tetapi, lebih dari itu, pemerintah
belum siap untuk menyediakan kendaraan umum yang memadai untuk seluruh makhluk
yang setiap hari, setiap saat, mesti lalu lalang di jalanan.
Setidaknya,
mengetahui dua hal tersebut, membuat saya cukup bahagia. Di samping itu, bus
yang akan membawa saya ke Solo sudah datang. Warnanya hijau dan pendingin yang
dipasang di dalamnya lumayan. Tidak membuat saya eneg dan mual-mual. Saya pun berpamitan kepada Paklik dan mulai
naik ke dalam bus. Ketika bus mulai meninggalkan terminal, saya lihat Paklik
pun ikut pulang, menaiki sepeda motornya. Sekali lagi, sepeda motor yang
kreditnya belum lunas juga.
Yogyakarta,
April 2019
Posting Komentar