Jujur, saya tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasi
rasa kantuk yang sering sembarangan. Sebenarnya, tidak ada masalah apabila pada
kenyataannya saya adalah seorang yang ngantukan. Bagi saya, hal tersebut adalah
wajar, manusiawi. Akan tetapi, sayangnya, saya mulai berpikir lain. Saya melihat,
ngantukan yang hidup dalam tubuh saya adalah sebuah penyakit. Sayangnya lagi,
saya takut untuk periksa ke dokter.
Perihal dokter dan rumah sakit, saya punya banyak
kenangan kurang menyenangkan. Oleh karenanya, saya benar-benar takut ketika
harus ke dokter. Saya tidak mau membayangkan bagaimana ketika diperiksa. Saya tidak
siap untuk mendengar penjelasan dari dokter bahwa saya mengalami bla-bla-bla~
Mungkin, suatu saat nanti, saya pun akan menemui
dokter. Itupun jika orang-orang yang sudah benar-benar saya percaya memaksa. Atau
setidaknya, orang-orang tersebut mau menemani diri saya. Di dunia yang sempit
ini, tidak banyak orang yang benar-benar saya percaya. Bahkan, saya kurang
percaya dengan Ibu. Beliau bukan orang yang pandai berbohong. Meskipun bukan
orang yang selalu jujur.
Saya memang mudah tertidur, terutama dalam ruangan
berpendingin atau keadaan yang mirip. Ditambah dengan kursi empuk dan tempo
suara yang lambat, saya akan tertidur lebih cepat. Teman-teman saya di kantor,
meskipun orang-orang yang baru saya kenal beberapa bulan terakhir, sudah begitu
hapal. Apalagi teman-teman lama saya di kampus. Tidak ada yang mengherankan.
Masalahnya, akhir-akhir ini, saya rasa ngantukan ini
semakin kelewatan. Saya sempat ditegur oleh seorang siswa ketika ketiduran di
sebuah musala. Padahal, pada waktu itu, kami sedang berdoa bersama lepas salat.
Saya tidak malu, tapi marah pada diri sendiri. Seorang guru yang mestinya
menjadi panutan, ternyata seperti itu di antara siswa-siswanya.
Memang siswa-siswa saya hanya tersenyum dan sedikit
nyengir. Saya paham kalau mereka pun biasa saja melihat kejadian tersebut. Saya
rasa, mereka menganggapnya sebagai hiburan semata. Akan tetapi, saya pun yakin,
di dalam kepala mereka telah tertanam gambar diri saya yang tertidur dalam
posisi duduk bersila di sebuah musala. Ingatan tersebut, bagaimana pun, tidak
akan pernah hilang. Pada suatu saat nanti, ingatan itu akan menjadi alasan
ketika saya menegur mereka yang ketiduran di dalam kelas.
Selain itu, beberapa hari terakhir, saya ada janji
dengan seseorang. Kami akan berkirim kabar lewat telepon genggam. Nyatanya,
sampai pagi ini—ketika saya menuliskannya—janji tersebut belum terlaksana. Saya
merasa gagal menjadi orang yang dipercayanya. Saya tidak mau menyalahkan tubuh
yang ringkih. Semua murni karena saya ngantukan.
Dulu, sebelum bekerja sebagai pengajar, saya pun
punya rutinitas hidup yang memaksa melek sampai pagi. Meskipun siang harinya
tetap sibuk dengan berbagai hal. Artinya, lelah saya bukan alasan satu-satunya
saya menjadi ngantukan. Makanya saya curiga, jangan-jangan memang ada yang
tidak beres dengan tubuh ini.
Saya sempat membaca beberapa artikel. Dari beberapa hal
penyebab ngantukan, hampir semuanya persis dengan rutinitas saya. Anehnya, cara
mengatasi kantuk tersebut pun adalah rutinitas saya. Seharusnya, ketika keduanya
sudah saya jalankan, hasilnya imbang. La kok saya sering ketiduran?
Puncaknya malam tadi. Seperti sebelum-sebelumnya,
saya ada janji. Saya sudah berusaha melek
dengan sekuatnya. Setiap kali mengantuk, saya cuci muka. Saya pun menyiasatinya
dengan menyetel alarm dan meningkatkan volume nada dering. Bahkan, saya sudah
dalam posisi duduk dengan menggenggam erat telepon genggam—media yang saya
siapkan untuk menepati janji bertemu lewat suara.
Hasilnya? Pagi tadi, ketika tiba-tiba terbangun—meskipun
sangat terlambat. Saya menemukan SMS, WA, DM Instagram, dan panggilan telepon
tak terjawab. Semuanya dari kekasih saya, orang yang seharusnya menjadi teman
ngobrol paling asyik di malam tadi. Tidak hanya itu, saya pun menemukan motif
lain dalam pelindung layar telepon genggam. Saya ngerti, pasti terjatuh dari
tangan ketika genggaman saya tidak lagi sekencang di awal. Pasti ketika saya
sudah benar-benar tertidur.
Saya rasa perlu menuliskan ini bukan untuk menyesali
badan yang hancur karena posisi tidur yang ambrul-adul.
Saya berutang banyak dengan kekasih yang begitu sabar. Meskipun saya malu. Dari
sekian banyak alasan yang saya berikan padanya, kata ketiduran adalah juaranya. Mungkin, dia dongkol dan marah betul
dengan sikap saya ini. Semoga Tuhan membalas segala kebaikannya. Terima kasih,
saya masih diberi kesempatan menulis dan mengirimnya kepadamu.
Posting Komentar