Apa yang lebih
menakutkan dari mimpi indah di rumah sakit? Jika ketika terbangun, kenyataan
menolakmu mentah-mentah. Semua hal indah yang kamu temui dalam mimpi, nyata
sebagai mimpi itu sendiri. Sebenar-benarnya mimpi.
Jika biasanya kami begitu bahagia melihat tetangga di kiri-kanan, di rumah sakit kami semakin nampak menyedihkan. Mengetahui ada penghuni lain, tidak memberi pengertian kalau kami diberkahi saudara. Tidak ada rasa sesakit dan sepengobatan.
Malahan, kami menyadari bahwa dunia di luar sudah semakin sakit, sehingga banyak yang mesti pindah ke rumah ini. Kami gelisah ketika berada satu ruang dengan tetangga desa di luar sana. Apalagi kalau tetangga yang sebenar-benarnya tetangga. Ini bukan karnaval, kan?
Setibanya di rumah sakit A, kami mengurus administrasi. Kami pengguna setia BPJS. Paman saya menyokongnya lewat konsumsi rokok. Ketika paman sakit seperti ini, berhak kan memakai jasanya?
Betapa membosankan menunggu tanpa tahu waktu. Kamu pasti pernah merasakannya. Menunggu seseorang yang tak kunjung tiba. Apalagi kalau sudah janjian dan akhirnya dibatalkan. Alasannya, LUPA! Alasan seklasik ini kan juga karena tak tahu waktu.
Saya berbaik sangka, mungkin memang jam itu habis baterai. Tapi ternyata tidak hanya itu. Setelah paman dibawa ke kamarnya di kelas tiga, kami masih menemui jam dinding yang tidak menyala.
Fenomena ini membuat saya penasaran untuk menengok jam dinding lainnya. Jangan-jangan karena ini kelas tiga, jadi ruangnya tidak begitu diperhatikan kelengkapannya. Saya pun kepo ngintip ruang di kelas dua. La kok jam dindingnya juga mati.
Akhirnya saya tiduran saja di ruang tunggu. Istirahat sejenak dari kepenatan bau obat-obatan. Menonton televisi yang tidak ada remotenya. Bosan dengan iklan, saya edarkan pandangan. Eh kok, ya, ketemu sama jam dinding yang kejap-kejap.
Padahal kehadiran jam dinding itu penting. Kontrol waktu kan dari situ. Obat yang diberikan kepada kami, dilengkapi waktu kapan harus dikonsumsi. Kalau jamnya mati, bagaimana dong?
Mau nginceng di gawai, tapi kok ya ndak enak mainan gawai terus-terusan. Tidak semua orang akan merasa nyaman. Apalagi orang-orang yang lagi sakit dan tidak bisa berkegiatan. Pengennya sama dengan yang lain, main Mobile Legend atau Facebook-an. Pas liat yang lain main gawai, gregetannya itu loh, gak ketulungan.
Gara-gara jam dinding mati, paman jadi sering tanya waktu. Ia jadi tidak sabaran dalam menunggu. Ngerasanya udah lama, kok ternyata jamnya gak nambah juga. Sedih loh dalam kondisi seperti itu.
Bayangkan saja, sakitnya makin terasa. Tapi waktu di jam dinding tetap sama. Sama halnya dengan rasa cintamu yang makin membara. Eh, dianya tetap tidak merespon juga. Sedih, bukan?
Karena tak tahan, kami mengganti baterai jam dinding di kamar paman. Harapannya kami bisa menyaksikan waktu berlalu dan tiba pada masa penyembuhan.
Ternyata, karena satu hal, paman harus dirujuk ke rumah sakit B. Rumah lain yang dianggap lebih menjamin. Saya lega dong, ya. Berharap semua lebih baik dari yang sebelumnya.
Kami tiba di satu ruang, di mana paman terbaring dengan segala macam kabel dan selang di tubuhnya. Saya sendiri selalu tidak suka dengan bunyi dari monitor dengan garis-garis hijau itu. Tapi saya pun tak ingin kehilangan bunyi itu.
Dari banyak ketidaksukaan, ada satu hal yang membuat saya lebih tidak suka. Jam dinding di ruangan ini pun mati. Saya kaget. Serius. Astaga naga...
Seolah Tuhan menyembunyikan waktu dari kami. Memang sih, semuanya rahasia. Tapi sejujurnya, melewati masa-masa ini dengan terus menatap jam dinding mati, sungguh menyiksa diri. Bukan hanya pasiennya, tapi juga keluarga yang menunggu, seperti saya.
Tapi saya melupakan satu hal, Tuhan sering memberi tanda-tanda kepada makhlukNya. Sebisa mungkin, seseorang mesti membaca, memahami, dan kemudian merefleksikan diri. Merefleksikan jam dinding yang mati, memang membuat saya berpikir: maut itu rahasia Tuhan. Kita tak akan pernah bisa mengulur-ulurnya. Termasuk dengan jatahnya paman saya.
Jika biasanya kami begitu bahagia melihat tetangga di kiri-kanan, di rumah sakit kami semakin nampak menyedihkan. Mengetahui ada penghuni lain, tidak memberi pengertian kalau kami diberkahi saudara. Tidak ada rasa sesakit dan sepengobatan.
Malahan, kami menyadari bahwa dunia di luar sudah semakin sakit, sehingga banyak yang mesti pindah ke rumah ini. Kami gelisah ketika berada satu ruang dengan tetangga desa di luar sana. Apalagi kalau tetangga yang sebenar-benarnya tetangga. Ini bukan karnaval, kan?
Setibanya di rumah sakit A, kami mengurus administrasi. Kami pengguna setia BPJS. Paman saya menyokongnya lewat konsumsi rokok. Ketika paman sakit seperti ini, berhak kan memakai jasanya?
Kami menunggu di sebuah
ruang kecil. Paman berbaring di atas ranjang. Ia gelisah menunggu. Tapi jam
yang nempel di dinding, tidak layak jadi penentu waktu. Jam itu mati.
Betapa membosankan menunggu tanpa tahu waktu. Kamu pasti pernah merasakannya. Menunggu seseorang yang tak kunjung tiba. Apalagi kalau sudah janjian dan akhirnya dibatalkan. Alasannya, LUPA! Alasan seklasik ini kan juga karena tak tahu waktu.
Saya berbaik sangka, mungkin memang jam itu habis baterai. Tapi ternyata tidak hanya itu. Setelah paman dibawa ke kamarnya di kelas tiga, kami masih menemui jam dinding yang tidak menyala.
Fenomena ini membuat saya penasaran untuk menengok jam dinding lainnya. Jangan-jangan karena ini kelas tiga, jadi ruangnya tidak begitu diperhatikan kelengkapannya. Saya pun kepo ngintip ruang di kelas dua. La kok jam dindingnya juga mati.
Akhirnya saya tiduran saja di ruang tunggu. Istirahat sejenak dari kepenatan bau obat-obatan. Menonton televisi yang tidak ada remotenya. Bosan dengan iklan, saya edarkan pandangan. Eh kok, ya, ketemu sama jam dinding yang kejap-kejap.
Padahal kehadiran jam dinding itu penting. Kontrol waktu kan dari situ. Obat yang diberikan kepada kami, dilengkapi waktu kapan harus dikonsumsi. Kalau jamnya mati, bagaimana dong?
Mau nginceng di gawai, tapi kok ya ndak enak mainan gawai terus-terusan. Tidak semua orang akan merasa nyaman. Apalagi orang-orang yang lagi sakit dan tidak bisa berkegiatan. Pengennya sama dengan yang lain, main Mobile Legend atau Facebook-an. Pas liat yang lain main gawai, gregetannya itu loh, gak ketulungan.
Gara-gara jam dinding mati, paman jadi sering tanya waktu. Ia jadi tidak sabaran dalam menunggu. Ngerasanya udah lama, kok ternyata jamnya gak nambah juga. Sedih loh dalam kondisi seperti itu.
Bayangkan saja, sakitnya makin terasa. Tapi waktu di jam dinding tetap sama. Sama halnya dengan rasa cintamu yang makin membara. Eh, dianya tetap tidak merespon juga. Sedih, bukan?
Karena tak tahan, kami mengganti baterai jam dinding di kamar paman. Harapannya kami bisa menyaksikan waktu berlalu dan tiba pada masa penyembuhan.
Ternyata, karena satu hal, paman harus dirujuk ke rumah sakit B. Rumah lain yang dianggap lebih menjamin. Saya lega dong, ya. Berharap semua lebih baik dari yang sebelumnya.
Kami tiba di satu ruang, di mana paman terbaring dengan segala macam kabel dan selang di tubuhnya. Saya sendiri selalu tidak suka dengan bunyi dari monitor dengan garis-garis hijau itu. Tapi saya pun tak ingin kehilangan bunyi itu.
Dari banyak ketidaksukaan, ada satu hal yang membuat saya lebih tidak suka. Jam dinding di ruangan ini pun mati. Saya kaget. Serius. Astaga naga...
Seolah Tuhan menyembunyikan waktu dari kami. Memang sih, semuanya rahasia. Tapi sejujurnya, melewati masa-masa ini dengan terus menatap jam dinding mati, sungguh menyiksa diri. Bukan hanya pasiennya, tapi juga keluarga yang menunggu, seperti saya.
Tapi saya melupakan satu hal, Tuhan sering memberi tanda-tanda kepada makhlukNya. Sebisa mungkin, seseorang mesti membaca, memahami, dan kemudian merefleksikan diri. Merefleksikan jam dinding yang mati, memang membuat saya berpikir: maut itu rahasia Tuhan. Kita tak akan pernah bisa mengulur-ulurnya. Termasuk dengan jatahnya paman saya.
Posting Komentar