Sumber gambar: goodnewsfromindonesia.id |
Saya tinggal di sebuah desa, tempat nenek nikah muda. Saya masih ingat cerita nenek tentang pernikahannya. Suatu waktu, kata nenek, tiba-tiba saja dirinya sudah di depan penghulu. Nenek duduk di samping seorang laki-laki yang kemudian disebutnya sebagai suami. Waktu itu, umur nenek masih empat belas tahun. Di usianya yang ranum itu, nenek harus menerima kenyataan sebagai istri kedua. Luar biasa!
Jauh setelahnya,
setelah anak-cucu-buyut nenek bertebaran di mana-mana, saya masih menyaksikan
fenomena serupa. Teman-teman saya menikah selepas lulus dari sekolah dasar.
Beberapa yang lain, selepas lulus sekolah menengah pertama. Yang lain lagi,
selepas lulus sekolah menengah atas.
Teman-teman yang
memutuskan nikah muda, tidak melewati jalan selancar jalan tol. Melainkan
jalan-jalan kecil di pedesaan yang berbatu dan berdebu. Segala upaya mereka
coba. Salah satunya, ya, bekerja sejak masih belia.
Kalau teman-teman di
desa saya, pekerjaannya bisa jadi serupa. Yang laki-laki jadi pandai tembaga.
Sejak lulus sekolah (dasar, menengah pertama, menengah atas), mereka diantar ke
juragan-juragan. Orangtuanya akan berpesan, anak
saya tolong diajarkan. Setelah nginthil
beberapa lama dan lihai menatah tembaga, biasanya akan membuka usaha sendiri. Berdikari!
Yang perempuan biasanya
akan diantar ke sekolah jahit. Setelah fasih menginjak pedal dan mengatur alur
jahitan, mereka dikirim ke pabrik tekstil. Dengan kemantapan meraih cita-cita
hidup bahagia dalam berkeluarga, mereka bekerja serajin-rajinnya. Lembur pun digasak begitu mudahnya.
Sementara hari ini,
desa saya sudah semakin maju. Jalan-jalan tidak lagi berbatu dan berdebu.
Hampir semuanya sudah diaspal. Paling tidak, ya, dicor pakai semen. Pokoknya,
tidak lagi pating gronjal. Saya rasa
sudah enak buat plosotan.
Begitupun dengan pola
pikir orangtuanya. Hari ini, orangtua semakin mengamini pentingnya pendidikan
yang tinggi. Anak-anak marak disekolahkan. Bahkan sampai perguruan tinggi.
Harapannya masih sama: bekerja di tempat yang lebih bisa buat nggaya. Paling tidak, ya, bisa dipamerin
ke tetangga. Kalau sudah selesai sekolah dan bekerja kan tinggal dinikahkan
saja.
Itulah sumber kecemasan
saya. Setiap di rumah, pertanyaan nenek cuma satu, kapan ibumu punya mantu? Nenek sudah pengin punya cucu darimu.
Memang klise sekali, tapi bisa saya pastikan, inilah pertanyaan yang akan naik
daun beberapa waktu ke depan. Ingat, ini sudah bulan Ramadan. Tinggal
menghitung hari untuk lebaran. Persiapkan saja segala macam alasan untuk menjawab
pertanyaan kawakan itu.
Untungnya ibu saya
santai. Ora kesusu. Tidak terlalu
mempermasalahkan hal itu. Saya berada di titik aman pertama. Sayangnya, permasalahan
ada di nenek. Beliau mulai gencar mengirimkan kode-kode terbuka kepada saya.
Terlebih setelah saya lulus kuliah. Nenek semakin betah duduk di samping saya,
sambil sesekali bercerita tentang tetangga-tetangga yang sudah jelas
tanggalnya.
Saya paham, apa yang
dilakukan nenek itu sangat beralasan. Saya adalah anak pertama dan baginya
sudah cukup umur. Apalagi, ternyata adik saya yang masih kelas 2 SMK, sudah
punya cita-cita nikah muda. Nenek tidak mau saya dilangkahi. Adik bangsat.
Adik saya memang sedang
punya pacar. Beberapa kali pacarnya datang ke rumah dan begitupun sebaliknya.
Dia sering cerita kepada saya. Selama ini, hubungan dia dengan keluarga
pacarnya pun terlihat lancar-lancar saja. Bahkan kemarin, saya dapat cerita
dari ibu, kalau pas sadranan,
orangtua pacar adik saya pun datang berkunjung. Lah ibu kok malah nambahi
bingung?
Saya mengerti. Benar-benar
mengerti. Hubungan adik saya dengan pacarnya sedang hot-hotnya. Cita-cita mereka cuma satu: dinikahkan segera. Mumpung
api cintanya masih menggelora. Tidak baik menunda-nunda niat baik. Baik,
Ndiasmu! Saya pun pernah mengalami masa-masa itu. Tapi, mbok yo dipikir masak-masak dulu.
Sampai hari ini, saya
tidak setuju dengan nikah muda. Apa pun dalih yang membenarkannya. Menurut
saya, agar terhindar dari zina, bukan dengan dinikahkan caranya, tapi diberi
pemahaman atas itu.
Saya melihat fenomena dinikahkan
ini seperti satu pelarian yang wagu.
Hal itu dikarenakan, walaupun sudah dinikahkan, kalau tidak paham akan
kaidah-kaidah yang berlaku, hal-hal semacam zina, bisa terjadi kapan pun dan di
mana pun.
Selain itu, menikah
bukan perkara mudah. Di luar tetek bengek
kebutuhan pernikahan, menikah itu tidak lain adalah menjalani komitmen dengan
orang yang sama. Seumur hidupmu akan tidur bersamanya. Jika chatmu sama pacar tidak berbalas atau
cuma diread doang, kamu sudah gulung koming, saya sarankan untuk jangan
menikah dulu.
Ada baiknya, jika kamu
terlanjur nabung, bawa uangmu ke rentalan playstation.
Mainlah sepuasmu. Kalau perlu, ajaklah pacarmu. Belikan Aice dan Silverqueen.
Nikmatilah masa kanak dan remajamu dengan tertawa. Kelak ketika sudah tiba masanya,
kamu akan tahu: menikah tidak sebercanda itu, Adique.
[Artikel ini pernah dimuat di Terminal Mojok]
Posting Komentar