Sumber gambar: shopee.com |
Hari ini, untuk
melancarkan spik-spik mematikan, cukup menggunakan aplikasi chattingan.
Sampainya lebih cepat dan akurat. Jarang sekali akan salah alamat. Responnya
pun bisa kita pantau. Jadi bisa tahu nasib kita setelah pesan itu terkirim
padanya. Kalau responnya tidak menyenangkan, kita bisa lebih punya waktu untuk
mengondisikan hati dan perasaan. Bahkan, kita bisa menarik kembali pesan yang
dikirimkan.
Kecanggihan ini
sejujurnya tidak asyik. Dulu, sebelum ada WhatsApp, saya menunggu-nunggu
balasan seseorang. Apalagi pas sudah kenal yang namanya bribikan. Eh, kalau
sekarang, ya malas sekali menunggu. Saya bisa lihat, pesan saya sampai atau
tidaknya; dibaca atau tidaknya; dan si doi online
atau tidaknya. Kalau pas doi online,
tapi tidak dibaca, ya, kenapa harus ditunggu juga? Itu kan kode kalau saya
tiada artinya. Hiks.
Saya masih ingat, waktu
pertama kali mempunyai telepon genggam—Nokia 3315—saya begitu bahagia.
Senangnya minta ampun. Saya rela tidak jajan untuk bisa membeli pulsa agar bisa
SMS-an dengan kawan-kawan.
Waktu itu, saya belum
mempedulikan perihal bribikan. Jadi tidak mengambil pusing pada SMS tak
terbalas atau telepon tak terangkat. Kawan-kawan saya, kalau telat atau lupa
membalasnya, biasanya hanya mengawali pesannya dengan balasan “Sbb (sorry baru
bales)”, “Mbb (maaf baru bales)”, dan balasan-balasan serupa.
Mengingat itu semua,
saya geleng-geleng kepala. Soalnya, saat ini jarang sekali saya temui. Internet
sudah merajalela dan rasanya tidak asyik lagi. Dulu, saya mati-matian
menyembunyikan pesan agar tidak terbaca oleh orang lain. Saat ini, saya banyak
menemui screenshot chatting-an seseorang di media sosial.
Berkembangnya internet—misalnya,
media sosial—semakin membuat ruang privasi menyempit. Ruang-ruang privasi
kehilangan tempat, karena hampir semua hal diunggah di dalam media sosial.
Hal-hal paling pribadi sekalipun.
Saya mengamati, media
sosial menjadi ruang pamer. Media sosial menjadi etalase. Tempat memajang
segala sesuatu untuk diberi nilai oleh orang lain. Nilai di sini bukan hanya
nilai rupiah, tapi bisa saja sekadar klik pada ikon suka ataupun komentar
sekenanya.
Berapa banyak kunjungan
dalam sepekan? Berapa orang menyukai unggahan? Berapa orang yang meresponnya?
Semakin banyak orang suka dan berkomentar, semakin membuat kita tersenyum
lebar.
Kebebasan dan keluasan
akses internet dan media sosial ini, membuat orang-orang percaya, kalau
"dunia ada dalam genggaman kita". Stigma ini muncul setelah
populernya telepon genggam yang pintar. Meskipun pemilihan kata
"pintar" ini masih menyisakan sesak dalam dada.
Kita lupakan dulu
masalah penamaan smartphone. Lebih baik kita bahas dulu masalah dunia
ada dalam genggaman kita. Pakde Yasraf Amir Piliang menyebutnya, dunia yang
dilipat. Dunia kita telah dilipat-lipat menjadi sebuah tablet, handphone,
dan sebagainya. Dunia menjadi lebih kecil dan cepat.
Sebagai contoh, dulu
kita masih sering main surat-suratan sama bribikan atau sahabat pena. Rela
menunggu berhari-hari sampai surat itu tiba dan diterima. Syukur-syukur segera
dibaca dan dibalas sedemikian rupa.
Kalau untung,
balasannya bikin kita senyam-senyum. Kalau buntung, boro-boro dapat balasan,
surat kita sampai dan dibaca apa enggaknya saja kita tak tahu. Kalau sudah
seperti itu kasusnya, ya, tinggal pasrah aja. Palingan ditolak. Eh?
Telepon genggam ini pun
mengingatkan saya pada Pakde Joko Pinurbo. Beliau pernah menulis sebuah buku
puisi yang isinya semunya tentang telepon genggam. Katanya, buku tersebut
dituliskan untuk merespon gagapnya masyarakat Indonesia dalam menghadapi
kemajuan teknologi, khususnya telepon yang bisa digenggam tadi. Alhasil, ke
mana-mana, telepon ini selalu dibawa.
Telepon genggam kata
Pakde Joko Pinurbo sudah seperti kekasih. Kehadirannya selalu menenangkan dan
menyenangkan. Jadi jangan heran kalau ada orang sedang main telepon genggam,
bisa begitu anteng dan nyaman. Biasanya kalau diganggu bisa marah-marah. La
wong sedang pacaran. Kamu pun pasti marah, to, kalau diganggu pas lagi
enak-enakan?
Telepon genggam memang
ada dalam genggaman kita. Internet memang memudahkan akses ke mana-mana. Tapi
benarkah kita ke mana-mana? Bukankah kita sebenarnya hanya berhenti di satu
tatapan saja?
Bukannya membebaskan
ruang, dengan telepon genggam yang sekarang terkadang kita malah membangun ruang-ruang
sendiri. Pada akhirnya, ya, kita tidak lagi peduli pada kehidupan nyata di
sekitar kita. Segala sesuatu yang kita punya, tercurah pada dunia kecil hasil
lipat-melipat manusia. Hmm~
Posting Komentar