Sumber gambar: dokumentasi Andrian Eksa |
[Cerita kecil sepulang dari "Bermain Bersama Dolanan Anak Jogja" di TK Eksperimental Mangunan (24/04/2019)]
Seorang ibu memboncengkan anaknya di atas vespa hijau telur asin. Mereka datang setelah sepuluh menit yang lalu, seorang guru mengajak murid-muridnya masuk ke kelas. Motornya diparkir di samping kantin. Saat sang Ibu belum selesai merapikan rambut dan kacamatanya setelah melepas helm, si Anak sudah lari terbirit ke arah kelas. Melihat kejadian itu, bukan hanya sang Ibu yang tertawa, kami semua pun melakukannya.
Sang Ibu kemudian menghampiri kami, meskipun sebenarnya menghampiri dua orang ayah yang lebih dulu datang. Ia melepas kacamata dan meletakkannya di atas meja, bersamaan dengan kunci motor. Sementara saya, yang berada di meja yang sama, berusaha menyusun ingatan atas kejadian itu untuk suatu saat menuliskannya.
Pagi itu, saya beserta tim Dolanan Anak Jogja sudah menyeruput teh manis di kantin TK Eksperimental Mangunan. Sekolah swasta yang belakangan saya tahu, berada di bawah Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED). Yayasan yang dulu pernah saya kenal sekilas di semester awal perkuliahan. Tiba-tiba, saya ingat perkenalan itu.
Suatu hari, dua orang kawan, Aziz dan Ayun, meminta saya menulis tentang GKR Hemas. Saya sempat menolak, karena saya benar-benar tidak mengenalnya secara dekat. Akhirnya, setelah negosiasi, saya diminta menulis cerita untuk beliau saja. Akan tetapi, ceritanya ditentukan, yaitu tentang seorang perempuan yang benar-benar saya kenali. Alhasil, jadilah tulisan tentang ibu saya. Kalau tidak salah ingat, judulnya, "Ibuku Bukan Maryam". Sayang sekali, tulisan menggemaskan itu tidak saya temukan lagi. Setelahnya, saya pun sempat diajak ke DED, yang dekat dengan kampus, dan ditemukan dengan editornya. Dari situ, saya mengenal teknik menulis "tebas sebelah". Sayangnya lagi, pertemuan itu hanya sekali.
Yang namanya ingatan, barangkali memang tak pernah utuh. Telinga saya menangkap percapakan antara dua ayah dan satu ibu di depan saya. Mereka sedang membicarakan masalah tato baru di pergelangan sang ibu. Saya tertarik mendengarnya, dan ingatan saya tentang DED selesai di situ. Ingatan lain muncul, terutama tentang keinginan menato juga, suatu saat, bersama pasangan, barangkali. Meskipun bayangan tentang larangan dan gunjingan menyertainya, saya sempat senyum mengingat cita-cita kecil itu.
Sekali lagi, ingatan tak pernah utuh. Senyum saya terkatup saat seorang kawan, yang juga guru di TK Eksperimental ini, memberi isyarat agar kami lekas ke kelas. Setelah kembali menyeruput teh manis, kami melangkah menuju tawa anak-anak.
Suasana kelas ternyata sudah penuh sorak sorai. Satu persatu tangan kanan mereka terangkat dan berteriak, "Saya!" ketika seorang guru menanyakan siapa yang sudah sarapan sambil menyebutkan nama-nama lauknya. Lalu, ketika lauk mereka tidak disebutkan si Guru, anak-anak langsung memberi tahunya. Saya senang melihat kejadian seperti itu. Bagi saya pribadi, hal-hal semacam itu bisa menjadi bukti kedekatan antara murid dan guru. Kedekatan inilah yang akan memudahkan komunikasi mereka. Kemudahan komunikasi dalam pembelajaran, menjadi kunci penting keberhasilan transfer ilmu antara guru dan murid.
Tiba giliran kami dipersilakan masuk dan memperkenalkan diri. Saya yang pertama, kemudian disusul dua kawan lainnya. Sebagaimana perkenalan lainnya, seusai menyebut nama, kami langsung mendapat panggilan serentak dengan nada bicara yang lunak. Menyenangkan sekali.
Menjadi Teman Sedekat Mungkin
Sejak menyiapkan kunjungan ke tempat ini, kami, Dolanan Anak Jogja, sudah menyepakati untuk bermain bersama. Betapa lebarnya senyum kami, ketika perihal bermain bersama ini sampai ke telinga anak-anak, mereka langsung berjingkrak. Tentu kami sangat bahagia. Terlebih ketika mainan atau kami menyebutnya dolanan, disambut baik oleh mereka. Maka, setelah membagi diri menjadi dua kelompok besar, kami pun bermain.
Permainan kami bagi menjadi dua tempat, di dalam ruangan dan luar ruangan. Dolanan yang dimainkan di dalam ruangan, di antaranya, dakon, bekel, engklek, dan gasing bambu. Sedangkan yang di luar ruangan, egrang bathok, bakiak, kelereng, lompat tali, dan kitiran jepret. Secara bergantian, anak-anak mencoba setiap dolanan yang disediakan, ditemani tim Dolanan Anak Jogja dan guru-guru TK Eksperimental.
Pertama, saya menemani anak-anak yang bermain engklek. Setelah menjelaskan perihal engklek dan mereka mengerti, saya tertarik untuk menemani dua bocah laki-laki yang sedang bermain dakon. Mereka berdua adalah Dintya dan Mike, murid kelas B yang berkebutuhan khusus. Seorang guru laki-laki diberi kewenangan khusus untuk menemani Mike, terutama membantunya untuk tetap tenang dan mengendalikan diri, agar tidak menyakiti dirinya sendiri.
Mike terlihat kesusahan ketika harus membagikan biji sawo ke dalam lumbung-lumbung papan dakon. Menyenangkannya, dengan pendampingan khusus, Mike mampu melakukannya. Meskipun, sesekali Mike berhenti bermain dan sibuk memukul-mukul kepalanya sendiri. Pada saat seperti inilah, peran guru khusus ini menjadi sangat penting. Bukan hanya hadir sebagai guru, tapi sebagai kawan dan bapak atau ibu sekalipun. Sang Guru dengan lembut akan segera memeluk Mike dan akhirnya menjadi lebih tenang. Dari kejadian ini saya ingat lirik yang dilagukan Ruang Baca, peluk membagi hangatnya....
Lain dengan Mike, Dintya lebih pendiam. Dari awal saya duduk di sampingnya, tidak satu kata pun keluar dari mulutnya. Meskipun dia mendengarkan cerita saya tentang dakon dan dia bisa memainkannya, seolah dirinya tetap mempunyai dunianya sendiri. Saya mencoba memahaminya, menjadi teman barunya sedekat mungkin. Sebisa mungkin, saya terus mengajaknya berbicara, meskipun tidak mendapat jawaban.
Begitulah, barangkali memang benar kata orang, witing kanca jalaran saka kulina. Akhirnya saya mendengar kata pertama dari Dintya, "Yang ini?" Tanyanya sambil menunjuk salah satu lumbung papan dakon yang berisi biji sawo paling banyak. Saya mengiyakan dan dia langsung memainkannya. Setelahnya, komunikasi kami semakin membaik. Mike tidak ingin melanjutkan permainannya, dan saya pun menggantikan. Jadilah, saya bermain bersama Dintya.
Permainan kami berjalan lancar. Tidak seperti sebelumnya, kami makin aktif komunikasi. Terkadang, sesekali kami saling menegur dan nyengir bersama. Lebih menyenangkan lagi, setelah permainan selesai, saya disuguhi pemandangan cukup menarik, Dintya menghitung biji sawo di lumbung miliknya, sambil membaginya ke setiap lumbung. Anak-anak luar biasa seperti Dintya memang sering tidak terduga, dan saya menyukainya. Kami pun menyudahi permainan dengan saling menempelkan telapak tangan, toss!
Bagaimana Cara Menjawab Pertanyaan Ini?
Hal menarik selain tingkah anak-anak, yang kami temui kemarin adalah pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebagaimana anak pada umumnya, rasa penasaran mereka pun tinggi, terlebih pada apa yang jarang atau belum pernah mereka temui. Begitupun ketika kami mulai membuka kotak dolanan dan mengeluarkannya. Beberapa anak mulai berdiri dari posisi duduknya dan melongokkan kepala, lantas satu pertanyaan yang entah mengapa bisa seragam, "Itu namanya apa?"
Pertanyaan diajukan agar mendapat jawaban, itulah mengapa subjudul yang saya pilih demikian. Karena bagi saya pribadi, menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari anak-anak sudahlah terlalu jamak, tapi bagaimana cara menjawabnya, itu yang mesti dipahami lebih mendalam.
Mengapa demikian? Karena setiap anak atau bisa dikatakan setiap diri manusia mempunyai pola berpikir yang berbeda-beda. Pola berpikir itu menentukan bagaimana setiap diri manusia menangkap dan memahami sesuatu, tidak terkecuali penjelasan dari guru atau orang tua. Jadi, seharusnya, dari satu pertanyaan yang sama, yang diajukan oleh beberapa anak, mendapatkan jawaban yang berbeda. Meskipun, tujuan akhir dari penjabaran jawaban tersebut sama.
Yang membuat saya semakin tertarik dengan anak-anak di TK Eksperimental Mangunan adalah pertanyaan yang mereka ajukan lewat KOPER (Kotak Pertanyaan). Saya menemukan satu sudut menarik dari ruang pembelajaran di sana. Di satu dinding, terdapat sebuah papan persegi panjang seukuran kertas A3 yang diberi judul KOPER. Jujur, ini kali pertama saya menemukan hal seperti ini, apalagi di dalam ruang pembelajaran.
Selama ini, saya hanya jamak menemui kotak surat atau kotak saran, yang sering kosong atau tidak terfungsikan dengan baik. Kotak-kotak tersebut, jika tidak kosong, saya temui berisi bungkus permen atau snack plastikan lainnya. Kalaupun ada surat, yang jamak saya temui berisi protes, yang mana selalu diakhiri dengan tanda seru atau kita sering menyebutnya tanda pentung. Di dalam bahasa Jawa, pentung ini berisi pemukul. Wajar saja, jika sering dipakai untuk protes. Harapannya kata-kata itu bisa memukul yang diprotes.
Pengalaman-pengalaman itulah yang membuat saya tersenyum ketika melihat isi KOPER di TK Eksperimental Mangunan. Di sana ada dua kertas tempel kecil berwarna oranye. Tertuliskan di sana, seperti ini.
Kertas 1
Nama siswa: Sasi
Pertanyaan: Mengapa kumbang berbunyi?
Kertas 2
Nama siswa: Sasi
Pertanyaan: Mengapa bunga layu?
Kedua pertanyaan tersebut ditulis tangan oleh empunya, Sasi, seorang gadis kecil di sekolahan tersebut. Jika dibaca dengan cara berpikir remaja atau orang dewasa, barangkali yang muncul dalam pikiran hanyalah, mengapa hal tersebut mesti ditanyakan? Sayangnya, cara berpikir kita terkadang malah seperti itu. Alih-alih memberi penjelasan, malahan balik bertanya dan memandang sepele pertanyaan tersebut.
Dua pertanyaan yang diajukan Sasi, bukan hal sepele. Sasi menangkap peristiwa berbunyinya kumbang dan layunya bunga. Dua hal yang sering luput dari perhatian kita. Lagi-lagi, selama ini, barangkali kita menganggapnya sepele. Padahal, itu pertanyaan, yang bagi saya puitis sekali dan tidak mudah dijawab.
Kumbang mempunyai dua bagian sayap, Elytra dan Alae. Bagian pertama adalah sayap luar yang bertekstur keras. Sayap ini tidak difungsikan untuk terbang, hanya sebatas melindungi sayap dalam (alae). Bagian dalam yang difungsikan untuk terbang itu, ketika dikepakkan akan bergesekan dengan bagian luar. Selain itu, ketika terbang pun akan bergesekan dengan angin. Dikarekan teksturnya yang keras, maka gesekan tersebut menghasilkan bunyi. Akan tetapi, bukan jawaban seperti ini yang bisa diberikan kepada Sasi.
Begitupun dengan jawaban, mengapa bunga layu? Karena meskipun bunga layu disebabkan oleh banyak faktor, seperti tertumpuknya garam dalam tanaman sehingga pertumbuhannya terhambat atau lebih dan kurangnya air dan cahaya matahari. Karena banyaknya faktor, sebaiknya memang menyiasati jawaban dengan sebaik-baiknya. Anak-anak akan terus menerus bertanya, ketika merasa jawaban yang diberikan belum menjawab sepenuhnya.
Berdasarkan pada pengalaman, yang harus disiapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah dengan memahami cara berpikir anak tersebut. Kemudian berusaha sebisa mungkin menjadi teman dekatnya. Menjelaskan dengan memposisikan diri sebaya, sehingga bisa saling memahami bahasanya.
Boyolali, April 2019
Lalu lalu, apa jawaban yang didengar Sasi pada saat itu? 😍
BalasHapusSayangnya, aku pun belum mendengarnya. Wkwk
BalasHapusPosting Komentar