Mengais Ingatan

Sumber gambar: tribunnews.com

Kita sepakat untuk menonton film Malila: The Farewell Flower sore itu. Seusai menonton film-film Forkom JAFF, kita beli makan dengan vouchermu. Lalu memesan go-car untuk pergi ke Cinemax Lippo Plaza. Gerimis, aku kira. Pak sopir menunggu di parkiran JNM, tapi kita masih sibuk menyiasati keadaan, agar bisa membolos dari kelas JAFF. Jahat sih.
Sopir kita baik, lo. Menawarkan ganti tujuan, ketika mendengar obrolan kita perihal film yang tentu sudah mulai, kita tidak akan kebagian apa-apa. Akan tetapi, kita tetap percaya, akan ada sesuatu di Cinemax, film lain barangkali. Begitulah akhirnya, kita sampai di Cinemax dengan kenyataan, kita tidak menonton film. Hanya saja, kita masih bisa naik turun eskalator untuk mencari ATM Center. Meskipun setelah ketemu, kita seperti mengabaikannya, wong gak jadi.
Di Cinemax, barangkali yang tertinggal di kepalaku adalah beberapa adegan ini.
Pertama, aku akan selalu ingat ketika kamu menanyakan kenapa aku harus menunduk ketika jalan di depan orang lain—yang bahkan tidak kita kenal. Jawabanku memang tidak memuaskan, adat dan adab Jawa. Menggelikan sebenarnya membicarakan adat dan adab dalam lingkup kota saat ini. Entah kenapa, aku terkadang juga bingung, semua seperti sudah menjadi sistem yang berjalan dalam tubuhku, Jawa dalam tubuhku.
Kedua, aku pun akan mengingat hujan deras dan meja kursi depan J.Co Lippo Plaza. Kita duduk di sana karena hujan tiba-tiba deras begitu saja. Seolah memang diturunkan untuk menyuruh kita duduk. Kita pun duduk juga, kan? Kamu menyuruhku memesan apa pun di J.Co. Aku membeli minuman—yang sejujurnya bagiku itu pemborosan. Akan tetapi, ternyata kamu juga menjalankan adab, mana bisa kita duduk begitu saja tanpa memesan apa-apa. Aku beli juga. Macha. Sebenarnya itu yang paling murah. Harganya dua kali dari kembalian yang kuberikan padamu, karena kita minum berdua, aku rasa memang harus bayar berdua. Kita dikasih bonus donat, yang nanti akan jadi cerita sendiri di bagian bawah tulisan ini.
Aku berhutang pada J.Co. Berhutang untuk momen yang tidak mungkin aku lupakan. Kita membicarakan hal-hal yang wajar-wajar saja sebenarnya. Hanya saja, caramu mempratikkan, “Romantis itu bukan adegan ciuman atau pelukan, tapi kayak gini.” Kamu meminjam tanganku, memegangnya sebisa mungkin, barangkali seromantis mungkin, lalu menempelkannya ke pipimu. Aku langsung teringat adegan seorang perempuan yang melakukan hal sama, ketika menangisi kekasihnya yang terbaring sakit di rumah sakit dalam film-film yang pernah melintas di mataku.
Setelah adegan itu, kita pindah ke dalam, karena kamu menikmati musik yang diputar karyawan J.Co. Adegannya tidak kalah menarik. Kita bertukar buku catatan. Saling membaca dan sesekali membacakannya untuk yang lain. Kamu sempat mengambil gambar dengan gawaiku, aku selalu melihatnya jika ingat adegan itu. Sial betul. Sial karena aku melakukannya beberapa kali setelah kita berpisah di bandara itu. Aku hanya mampu mengingat dan merawat kenangannya.

Untungnya Shopping Tutup
Hujan cukup reda dan tanpa sadar, berlalu juga waktu. Kita bergegas ke Shopping dekat Tamn Pintar untuk membeli buku. Apesnya, hampir semua toko sudah tutup, kecuali satu toko. Kita datangi juga toko itu, melihat dan basa-basi. Oh, iya, perihal Shopping aku sudah memperingatkanmu, bahwa buku-buku di sana banyak yang bajakan dan kualitasnya buruk. Karena kamu tetap meminta diantar ke sana, jadilah kunjungan itu. Aku cukup senang mendapatinya tutup dan kamu tidak jadi membeli buku.
Kaki-kaki kita selanjutnya melangkah ke arah Nol KM Yogyakarta. Di sana ada ATM BNI yang kamu butuhkan. Mengingat ini, aku akhirnya bersyukur, untung Shopping tutup. Karenanyalah kita akhirnya berjalan melewati trotoar depan Taman Pintar. Membicarakan masalah kamera analogmu yang tanpa rol film dan Trilogy Before. Tiba-tiba saja kamu bertanya, “Kamu tahu, apa bedanya kita dengan Trilogy Before?” dan tidak berselang lama kamu menjawabnya sendiri, “Adegan mereka diskenario, sementara kita tidak.” Kamu menyebut kata kita untuk menggantikan adegan Celine dan Jesse Wallace. Mbok tenan, aku seneng banget. Dua tokoh dalam tiga film yang kamu sarankan untuk kutonton sebelum pertemuan kita adalah dua tokoh yang membuatku berani menemuimu, bahwa tidak ada yang asing jika kita berani bersanding. Aku tidak tahu, apa kamu menangkap perubahan raut wajahku setelah kamu mengatakannya. Yang jelas, aku sedikit menangkap bagaimana kamu kemudian memainkan kamera dengan penuh rasa sesal, “Aku pengen motoin kamu pakai kamera ini.” Kemudian memperagakan angle-angle yang menurutmu bagus. Aku bahagia.
Setelah sampai ATM, kamu masuk dan aku duduk di depan. Seperti orang hilang. Akhirnya seusai transaksi kamu mengajakku duduk di bangku. Aku sedikit cerita tentang toko buku yang seharusnya ada di seberang tempat duduk kita. Sudah tidak ada. Dua kali kita mendapati toko buku yang kita tuju sudah tutup. Tidak apa, masih kutemukan donat bonus dari J.Co dalam tasku. Gepeng. Kita menertawakan itu. Kamu mengambil gambarnya sebelum kita makan. Donat gepeng, enak juga jika dimakan berdua.
Sebagai semacam penebusan dosa, aku mengajakmu ke alun-alun. Sialnya lagi ternyata alun-alun masih tidak karuan bentuknya. Apa yang bisa dinikmati? Aku sekali lagi merasa bersalah. Untung aku ingat, di dekat alun-alun ada satu toko buku yang sudah kamu kenal, Jual Buku Sastra. Untungnya lagi, Mbak Sukma, masih mengijinkan kita singgah. Aku senang melihatmu senang berada di sana. Aku tidak menyangka kamu begitu menikmatinya. Betapa menyenangkan jika suatu saat kita bisa memiliki perpustakaan seperti di JBS.
Kalau diingat-ingat, kita sempat menikmati hidup berdua di tempat menyenangkan itu. Mbak Sukma, Rinai, Nyala, dan teman-temannya pergi menjemput Bang Koto ke bandara. Suatu saat nanti semoga kita bisa memilikinya sendiri, ya, Ra.
Satu momen yang terkenang hari itu adalah momen makan mie ayam di Wijilan. Mulya meminjam korek ke pelanggan lain untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada mantannya dan aku mendapatkan foto kita berdua. Yihaaaa....


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama