Sumber gambar: tribunnews.com |
Malam dan hujan. Cemas. Entah apa yang menggerakkan, waktu itu aku cemas. Seolah-olah aku menunggu seseorang yang benar-benar akan datang. Meskipun benar-benar datang. Akan tetapi, kecemasanku tidak mengarah ke sana. Lebih kepada seolah menunggu seseorang yang lama tidak kutemui. Aneh.
Sejak pertama kubaca
pesan bahwa kamu akan datang, secara sadar aku memikirkan pertanyaan-pertanyaan
klise, bagaimana perjalananmu, tiba pukul berapa, apakah pesawatmu delay, dan sebagainya. Aku bukan
laki-laki yang pandai menyiasati pertemuan. Selalu saja berusaha mempersiapkan
bahasan. Meskipun, nyatanya, rencana-rencana itu tidak selalu berjalan mulus.
Tetap bingung mau ngapain. Salah tingkah.
Sebagaimana pertemuan
pertama atau pertemuan setelah lama tak jumpa, tiba-tiba saja tubuhku lemas,
entah karena apa. Satu hal yang aku sadari, waktu itu kamu sudah sampai Jogja,
bahkan sudah hampir sampai di tempatku menunggu. Perasaan aneh dan penuh
ketakutan datang begitu saja. Dag-dig-dug yang melemahkan.
Mobilmu berhenti. Gobloknya aku cuma diam, meskipun aku
mengamati terus mobil yang berhenti sepuluh meter dari tempatku duduk. Lalu
melihatmu keluar mobil, berlari sebisa mungkin membawa seekor kucing. Ritme
langkah kakimu, barangkali adalah ritme detak jantungku, secepat itu. Kamu
menyerahkan kucing, seperti menyerahkan sesuatu kepada orang yang sudah kamu
kenal dekat. Sejak itu, aku merasa, kita pernah bertemu.
Adegan setelahnya
adalah menggendong kucing dan melihatmu mengambil payung, menjemput teman-temanmu.
Kamu boleh tidak percaya, mengelus kucing hanya caraku untuk meredakan detak
jantung yang semakin tidak karuan. Aku genap menjadi remaja tujuhbelas tahun
yang menemui pacarnya untuk kali pertama. Kesulitan untuk berkata-kata.
Kita toss!
Aku berhutang pada kata
toss, sebab itulah yang membawa
pertemuan ganjil kita. Ganjil, karena ternyata teman yang kamu bawa adalah
temannya temanku. Tuhan memang suka bercanda. Sungguh, aku tertawa waktu itu.
Ya, tertawa yang lagi-lagi adalah siasat untuk mengurasi grogi. Bagaimana pun,
grogi tidak bisa dihilangkan, hanya bisa disamarkan. Itu pun, akan tetap
kelihatan jika tidak rapi. Benar saja, aku tahu, kamu pasti menangkap
keanehanku. Kikuk.
Di posisi itu, aku
tiba-tiba ingat Trilogy Before yang
kamu sarankan untuk kutonton sebelum pertemuan kita. Menarik. Entah kenapa, aku
merasa kamu mau bilang, mereka berdua sama asingnya dengan kita, tapi bisa
sampai jatuh cinta. Pokoknya pertemuan kita besok, setidaknya bisa serenyah
mereka, meskipun tidak sampai jatuh cinta. Aku merasa gagal untuk pertemuan
pertama itu. Nyatanya, aku sedingin batu, sediam ruang tunggu. Di luar masih
hujan, tapi aku gagal menangkap kata-kata yang berjatuhan. Untungnya, kita
tidak hanya berdua, sehingga tetap saja ada percakapan yang berjalan.
Malam itu aku sempat
merasa gagal memuliakan tamu dan sibuk sendiri dengan teman-temanku. Aku baru
merasakan kehangatan kita, ketika bisa ngobrol seperti biasa. Berdua.
Membacakan puisi dan cerita. Sungguh, jauh sebelumnya, pasti kita pernah bertemu.
Sebab saat itu, aku langsung merasa, kamu bukan lagi tamu. Demikianlah,
kemudian aku mengamini Trilogy Before.
Boyolali, 6 Januari 2019
Andrian Eksa
Ditulis dengan kenangan yang dengan
segera membukakan tubuhnya.
Posting Komentar