Perempuan Itu Memang Tidak Suka Suratan


sumber gambar: https://www.goodreads.com



Perempuan Itu Memang Tidak Suka Suratan


Judul                : DRUPADI: Perempuan Poliandris
Pengarang        : Seno Gumira Ajidarma
Ilustrator           : Danarto
Tebal                : vi + 149 halaman
Cetakan           : 1, Januari 2017
Penerbit            : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN               : 978-602-03-3687-9



Dalam bentuk apa pun, cerita Drupadi menjadi menarik hanya karena ia adalah perempuan, dan bersuamikan lima ksatria laki-laki—yang kesemuanya bersaudara. Seandainya Drupadi adalah tokoh laki-laki yang beristrikan lima perempuan—yang bersaudara sekalipun—ceritanya pasti akan lain, tidak akan semenarik kisahnya Drupadi, perempuan poliandris ini. Akan tetapi, Seno Gumira Ajidarma (SGA) kembali menuliskan kisah perempuan ini, setelah menuliskan kisah Ramayana dalam Kitab Omong Kosong dan Wisanggeni, Sang Buronan yang terusir dari kisah pewayangan itu.
Kisah Drupadi ini dibuka dengan pengungkapan fakta bahwa Drupadi tidak pernah dilahirkan, melainkan diciptakan dari bunga teratai yang sedang merekah, sebagai penggambaran akan kecantikannya yang tiada terkira. Selain itu, dalam buku yang cukup tipis ini, sejak awal Drupadi sudah dituliskan sebagai seorang perempuan yang “bisa dihadiahkan”. Belum genap lima halaman, Drupadi sudah didudukkan di sebuah perhelatan sayembara yang memperebutkan dirinya. Memang pada akhirnya Drupadi merasa tenang karena yang memenangkan sayembara adalah Arjuna, yang menurutnya mirip dengan Kresna, titisan Wisnu, kekasihnya di dalam mimpi. Akan tetapi, Drupadi harus melewati detik-detik menakutkan ketika yang menghadiri sayembara tersebut awalnya adalah para Kurawa yang selalu memandangnya dengan tatapan mesum, seolah ingin melumat habis tubuhnya.
Belum sempat mengambil banyak nafas dari kegaduhan yang terjadi di sayembara, Drupadi harus kembali “tidak berkutik” ketika diajak ke rumah persembunyian Pandawa. Bukannya dikenalkan dengan mertua dan dinikahkan secara bahagia, Drupadi malah mendapati kenyataan bahwa Arjuna tidak mau menikahinya, dan memberikannya kepada Yudhistira. Namun, Yudhistira pun tidak mau menerimanya, begitu pula dengan tiga saudara Arjuna yang lain, Bima, Nakula, dan Sadewa. Alhasil, Drupadi seperti barang temuan yang hina, sehingga tidak ada yang mau menerimanya. Tidak hanya sampai di situ, Drupadi pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa dirinya “dipaksa pasrah” oleh mertuanya, Kunti, untuk menikahi kelima anaknya. Sejak saat itu Drupadi menjadi perempuan poliandris, seperti  judul buku SGA ini.
Seolah memang sudah ditakdirkan untuk menderita, begitu pikir Drupadi ketika untuk kesekian kalinya ia mendapati kenyataan yang buruk. Malam itu, ketika seharusnya ia menikmati kesenangan di atas ranjang di bulan madunya, ia malah mendapat nasib buruk di atas meja judi setelah Dursasana menyeretnya untuk membayar kekalahan Yudhistira. Bukan hanya sakit karena suaminya sendiri yang mengorbankannya, namun juga sakit karena Dursasana menelanjanginya dan seratus Kurawa menikmatinya, bahkan si Dursilawati, satu-satunya perempuan kurawa. Di saat itu ia kembali meratapi dirinya, kenapa Kresna hanya hadir di dalam mimpi? Sejak saat itu pula, Drupadi menyimpan dendam terhadap Dursasana dan bersumpah tidak akan menggelung rambutnya hingga ia berhasil keramas dengan darah Dursasana.
Lepas dari meja judi, sebenarnya mereka berenam sudah tidak mempunyai apa-apa, kecuali setelah Destrarastra, ayah Kurawa, mengembalikan semuanya kepada Drupadi, kemudian diberikan kepada Yudhistira. Akan tetapi demi kehormatan laki-laki, kehormatan seorang ksatria, Yudhistira menolak pemberian Drupadi dan memilih menjalani hukuman pengasingan dan hidup di dalam penyamaran selama dua belas tahun. Hidup dalam pengembaraan bukan seperti hidup dalam perjalanan piknik dan Drupadi merasakan sensasinya yang benar-benar tidak seperti harapan.
Dengan nama Sarindhri, Drupadi bersama suami-suaminya memasuki Wirata dan harus menghadapi Mahapatih Wirata yang cabul bin nafsuan, Kichaka. Mahapatih yang satu ini sudah mempunyai banyak istri, tapi tidak pernah merasa tercukupi kebutuhannya akan birahi. Bahkan sempat berusaha memperkosa Sarindhri, Drupadi yang selalu malang nasibnya itu. Drupadi pun sebenarnya sudah melaporkan kepada penguasa Wirata, tapi Kichaka tetap tidak dapat dibendung, sudah ngebet ingin memperistri dirinya.
Tidak tahan dengan kondisi tersebut, Sarindhri ngadu kepada Kanka, samaran dari Yudhistira, suaminya yang tertua, tetapi tidak mendapat hasil yang memuaskan. Akhirnya ia menghampiri Bima yang menyamar sebagai Abilawa dan memintanya membunuh Kichaka untuk dirinya. Abilawa pun menyanggupi asal Sarindhri mau bercinta dengan suaminya yang paling perkasa itu. Alhasil mereka pun bercinta dan kemudian Abilawa membunuh Kichaka yang hendak menemui Sarindhri di kamarnya. Namun terbunuhnya Kichaka bukanlah jalan keluar terbaik yang dapat meloloskannya dari kemalangan, bahkan ia hampir diusir dari Wirata oleh Raja Matsyapati karena dituduh sebagai penyebab kematian Mahapatih Kichaka. Untungnya Sarindhri diberikan waktu selama tiga belas hari, yang merupakan hari terakhir penyamaran mereka—Sarindhri dan Pandawa, untuk menunggu jemputan suami-suaminya.
Dalam tiga belas hari terakhir ini ternyata merupakan hari di mana pihak Hastina memata-matai Wirata dan berencana untuk mengambil alih Wirata sebagai daerah kekuasaan mereka. Setelah menyusun strategi perang, pihak Hastina pun menyerang dengan Karna dari Awangga sebagai pemimpinnya. Perang pun tak terelakkan. Di saat itu, mau tidak mau Pandawa membantu Wirata. Arjuna yang waktu itu menggunakan nama Wrehanala dan memainkan peran sebagai waria, menawarkan diri sebagai sais kereta kuda pangeran Utara. Karena terus terpojok akhirnya Arjuna membuka penyamarannya dan berperang menggunakan senjatanya sendiri. Abilawa pun langsung mengamuk dengan batang pohon dan menghancurkan pasukan gajah Hastina. Akhirnya Wirata menang dan Kurawa pulang membawa kekalahan dan kemarahan. Sejak saat itu penyamaran selesai dan mereka dikenang sebagai pahlawan Wirata yang dielu-elukan warganya.
Malam setelah peperangan Wirata dan Hastina, semua petinggi Wirata dan Indraprastha berkumpul dalam satu meja, mereka merundingkan tentang penyikapan terhadap Kurawa. Drupada dan Yuyudana berpendapat bahwa mereka mesti memerangi Kurawa, sedangkan Arjuna dan Yudhistira berkata bahwa tidak  mudah untuk memerangi mereka dan tidak perlu karena di pihak Kurawa masih ada Bhisma dan Dorna yang mereka sayangi, selain itu Kurawa merupakan saudara mereka sendiri.
Drupadi pun angkat bicara. Ia memaparkan pendapatnya dengan sudut pandang seorang perempuan yang terhina oleh pihak Kurawa. Drupadi mengungkit semua kejadian yang membuatnya menderita dan tersakiti. Bahkan ia mengatakan sumpahnya untuk keramas dengan darah Dursasana itu, sebelum menggelung kembali rambutnya. Ia menyayangkan kenapa Pandawa tidak mau membela istrinya sendiri dan malah memilih untuk tidak membalas kejahatan Kurawa. Perdebatan berhenti ketika Kresna bicara dan mengajukan diri sebagai utusan yang akan dikirim ke Hastina.
Masih dalam kemarahannya, Drupadi berkata kepada Subadra dan Utari di keputren saat menghiasi rambutnya, di dunia ini kaum lelaki selalu merasa dirinya paling menentukan. Cobalah kita perempuan mengambil tindakan, maka mereka akan kelimpungan. Namun seketika itu ia teringat dengan bisikan Kresna di dalam mimpinya, bahwa ini sudah menjadi suratan hidupnya, sesuatu yang sangat ia benci. Baginya, hidup tidak akan menarik jika semua sudah disuratkan. Tidak akan ada artinya hidup tanpa perjuangan. Drupadi menganggap hidup ini tidak adil, mengapa penderitaan ditimpakan kepada perempuan?
Pada akhirnya perang besar memang harus terjadi, seperti takdirnya. Drupadi pun keramas dengan darah Dursasana setelah Bima membunuhnya. Baratayuda hanya menyisakan Pandawa dan Parikesit, anak Abhimanyu dan Utari, yang akhirnya menjadi raja yang berkuasa. Sisanya hanya rasa ambang ketika sudah menang, terutama di dalam diri Drupadi, yang sejak awal diguncangkan batinnya dengan tragedi-tragedi yang menimpa dirinya. Setelah dendam itu terbayar, Drupadi hidup di angan-angan, bingung dengan dirinya, tidak merasakan menjadi Drupadi lagi. Ia menyadari bahwa semua ini sudah disuratkan, bahwa dulu ketika ia adalah seorang perempuan brahmin yang meminta suami hingga lima kali dan sekarang hidup sebagai Drupadi dengan lima orang suami yang menyeretnya dalam penderitaan adalah takdir.
Di umurnya yang enam puluh tahun, Drupadi masih setia mengikuti kelima suaminya menjalani perjalanan suci ke puncak Mahameru untuk mencapai moksa. Namun ia harus mati sebelum mencapai puncak dari segala puncak itu.
Sampai di sini SGA berhasil merekam perjalanan Drupadi selama enam puluh tahun hidupnya di dunia pewayangan dengan gaya penceritaannya yang khas dan tidak membosankan. Drupadi benar-benar diberikan ruang khusus oleh SGA untuk memplokamirkan dirinya, menyampaikan isi hatinya di dalam seratus tiga puluh dua halaman buku ini. Setidaknya di sini Drupadi berhasil mengatakan bahwa tidak hanya laki-laki yang seharusnya mendapat hak istimewa untuk poligami dan bahagia, seorang perempuan poliandris pun seharusnya mendapat kebahagiaan yang sama, bukan kemalangan sebuah suratan hidup yang ditulis penulis lakon.
Lagi-lagi SGA berhasil dengan usahanya membawa kisah pewayangan ke dalam dunia cerita yang lebih segar. Setelah Kitab Omong Kosong dan Wisangggeni, Sang Buronan, Drupadi: Perempuan Poliandris ini merupakan kisah wayang yang ciamik, gurih, dan menggelitik.
SGA tetap konsisten dengan illustrator pujaan hatinya, Danarto, yang sejak buku pewayangan pertamanya, menghiasi bukunya dengan ilustrasi yang indah. Rupa Drupadi di cover buku—yang beberapa waktu yang lalu sempat jadi perbincangan di Facebook itu pun—adalah gesutan Danarto. Bahkan judul dari empat bab pertama merupakan judul yang diberikan oleh Danarto ketika tulisan tersebut dimuat di Majalah Mingguan Zaman, dari edisi 14 Januari sampai 11 Februari 1984. Sedangkan bab-bab lainnya pernah dimuat di berbagai media massa.[*]

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama