Cerpen Andrian Eksa
Tidak ada yang paham tentang tingkah Sarinah. Janda itu
sering mengurung diri di dalam rumah semenjak kepergian Giyono, suaminya.
Keluar hanya sesekali. Itu pun untuk belanja di hari minggu pagi. Hari itu,
Sarinah akan pergi keluar rumah. Ke pasar. Membeli segala keperluannya untuk
satu minggu ke depan. Setelah itu, selebihnya Sarinah
hanya di rumah. Di dapur. Di kasur. Itu saja. Kau tak percaya?
Giyono. Dia mati dalam keadaan penuh
dengan luka gigitan dan cakaran. Diduga karena diserang binatang buas. Binatang
buas apa yang melakukan hal semacam itu di dalam rumah? Ya, mereka mengira aku
yang melakukan. Padahal aku tak tahu apa-apa. Waktu itu, kebetulan saja Giyono
sedang bermain denganku. Dia mengajakku ke kamarnya. Ingin dikenalkan pada
Sarinah. Sebab Sarinah sangat suka dengan anjing. Tapi entah kenapa, tiba-tiba
ada seekor anjing hitam dan gagah menerkam Giyono. Aku tak berani melihat hal
itu. Jadi aku menutup mata. Aku memang penakut. Maaf. Selepas aku membuka mata,
Giyono sudah tidak ada. Aku hanya menemui Sarinah yang telanjang bulat.
Bukan hal yang
mudah untuk melupakan suatu kebiasaan. Janda itu nampak gelisah. Lihatlah! Apa
kau tetap tak percaya? Lihat anjing di sampingnya. Hitam dan gagah, bukan?
Kenapa aku memujinya. Seharusnya aku membencinya. Sebab anjing itulah yang
menghalangiku untuk meminang janda muda anaknya Mbok Pahing, Sarinah. Janda
yang cantik. Menarik. Dan yang pasti dia sangat memuaskan jika melayani. Itu
menurut pengalaman almarhum suaminya. Aku pernah mendengar lelaki itu memuji
cara Sarinah melayani dia. Sungguh, aku juga
ingin seperti lelaki itu. Seperti anjing hitam itu. Aku ingin. Sungguh.
Sementara anjing
hitam yang disebutnya sebagai tuan, hanya menjulurkan lidah melihat tingkah
Sarinah. Napasnya terengah, memendam nafsu. Sementara air liur berkali-kali
menetes. Tapi, seperti sudah kehilangan akal sehatnya, Sarinah tetap
melanjutkan adegan itu. Kini lebih menantang. Tuannya semakin terengah menahan
nafsu.
Jogja, Oktober
2014
Posting Komentar