Pengakuan (d/h Penipuan) Seorang “Komunis”

sumber gambar: http://archive.rimanews.com



Pengakuan (d/h Penipuan) Seorang “Komunis”
 Cerpen Andrian Eksa

I
Masih ada satu hal yang belum diketahui oleh istriku, rahasia yang kusembunyikan dari semua orang di tempat ini. Tempat yang terus kudoakan agar mampu membungkam rahasia itu—kenyataan yang tidak mungkin dapat diterima oleh siapapun di rumah ini.
Sudah setengah abad kami menikah, selama itu pula rahasia ini kusembunyikan darinya, Temu, istriku. Satu kebohongan yang terus menghantuiku. Sebab aku masih merasa, jika janji yang kuucapkan ketika pernikahan kami, bukanlah suatu kebenaran. Atau bisa dikatakan pernikahan kami belum sepenuhnya sah. Apa bisa dikatakan sepenuhnya sah, jika janji yang kami sepakati untuk tidak menyembunyikan rahasia apa pun, tidak kupenuhi? Bahkan selama lima puluh tahun. Mungkin secara hukum itu sah, tapi bagi diriku pribadi, belum sah. Aku masih terus merasa berdosa ketika tidur satu ranjang dengan Temu.
Perasaan serupa mungkin juga dirasakan oleh banyak orang di negeri ini. Perasaan takut dan berdosa. Perasaan yang membuat setiap orang yang disinggahinya, ingin segera membuang jauh atau mengubur dalam-dalam, atau melakukan berbagai cara lain yang dirasa tepat untuk membunuh perasaan itu. Perasaan seseorang yang pernah membunuh manusia, dan menjadi buronan manusia lain—dari “kelompok terbunuh”.
Mungkin saja perasaan ini juga yang dirasakan oleh “kelompok terbunuh”, yang beberapa waktu kemudian terdengar melakukan pembantaian habis-habisan terhadap kelompok yang dianggap tidak benar, dianggap sesat, kelompokku, komunis. Mungkin saja seperti ini, tapi tidak sama. Sebab masih ada keyakinan dalam diriku, jika orang-orang yang membantai komunis di negeri ini bukannya merasa takut, tapi malah bangga, karena bisa membunuh orang-orang yang “sesat”. Jadi mungkin tidak sepenuhnya sama. Tapi paling tidak, sama-sama pernah membunuh manusia, menyaksikan muncratnya darah dari anggota tubuh korban, merasakan hangatnya darah segar, dan mencium baunya yang anyir. Serta beberapa detik merasa kaget, gemetar tubuhnya, dan agak linglung. Semua persendian terasa ngilu, otot melemah, dan tubuh lesu. Perasaan takut dan was-was. Ditambah lagi kaki yang tiba-tiba kaku, sulit dibawa lari. Walaupun hanya beberapa detik saja. Dan ketika telah melewati keadaan itu, mata yang merespon mayat penuh darah segera mengirim sinyal ke otak, dan kerja pikir yang cepat membuat semua anggota tubuh terasa ringan untuk pergi menjauh dari tempat itu. Meninggalkan semua. Melupakan semua.
***
II
“Pak Gito, kenapa Anda begitu berani menulis status di Facebook yang menyatakan rahasia-rahasia yang akan menjebloskan Anda ke penjara?”
“Kenapa mesti takut? Itu media sosial yang umum. Siapa saja boleh menulis di sana, apa pun isinya. Apa yang salah?”
“Dalam status tersebut, banyak orang berkomentar. Ada yang positif dan ada juga yang negatif. Bagaimana tanggapan Anda, Pak?”
“Ya biarkan saja. Itu kan juga menjadi hak mereka. Saya tidak bisa melarang. Malahan itu menandakan bahwa komunikasi antarmanusia masih berjalan. Yang namanya komunikasi kan ada yang sependapat dan tidak.”
“Kenapa Anda masih terlihat tenang dan santai, Pak? Padahal gara-gara status Anda di Facebook itu, banyak media yang meliput dan menjadikan Anda sebagai pokok berita. Lihatlah, Pak! Di luar rumah Anda masih banyak wartawan yang mencoba masuk. Dan kabarnya polisi sedang menuju ke sini.”
“Ya tenang saja. Malah jadi ramai rumah saya. Alhamdulillah. Biasanya saya di rumah cuma ditemani istri.
“Kalau pun semua perusahaan televisi menjadikan saya sebagai hot news dan dilaporkan berulangkali saya juga malah senang. Setidaknya membantu masyarakat yang bosan dengan berita kebakaran hutan, anak-anak busung lapar di pelosok, penggusuran rumah penduduk miskin, pejabat-pejabat nakal yang menyalahgunakan uang negara dan permainan mafia dagang.”
***
III
Di Tumang, desaku dahulu. Di rumah kecil berdinding anyaman bambu. Di atas kasur yang ditutupi kelambu. Di sana, ibu dan bapak menangisi kelahiranku, sedang diriku hanya terdiam tak tahu apa-apa. sekadar tetap membuka mata tanpa terlalu banyak berkedip dan menyapukan pandangan kepada mereka, kepada air mata, kepada rasa bangga, dan kecemasan yang dibalut tubuh orangtuaku.
Ibu menggendong dengan kedua tangannya yang keriput. Menampar bokong1 kecilku ketika tidak menangis. Dan tersenyum bahagia ketika suara tangis pecah memenuhi kelambu. Sedang bapak menyiapkan suaranya yang sungguh tidak enak didengar untuk melantunkan adzan di telingaku, lirih dan serak, tapi masih terdengar meski samar.
“Gito Prawiro, anakku. Alah iyung bagus tenan.2 Lihat ini, Mbok!3 Alah ... alah ... calon suami idaman ini.” Tawa bapak pecah di ujung senyumnya. Kepalanya mengangguk-angguk sambil memainkan jari di pangkal pahaku. Belum ada reaksi selain rasa geli waktu itu. Sedikit senyum sebisanya agar mereka paham apa yang kusampaikan, bahwa aku merasa geli dan ingin perlakuannya terhadapku dihentikan.
“Lo? Mbok anakmu malah seneng4. Aduh, bakal jadi lelaki tangguh kamu, Le5.” Tawanya semakin pecah, dan kali ini ibu ikut tertawa. Kedua pasang mata mereka tak lepas dari objek semula. Dan jari bapak masih saja di tempat yang sama.
Aku masih mencoba memberitahu mereka dengan cara yang sama, tersenyum geli. Tapi usahaku sia-sia. Bapak semakin intensif memainkan jari-jarinya. Dan karena rasa geli yang berlebih, kaki-kakiku merespon dengan tendangan. Lantas ibu membawaku menjauh dari bapak. Menimangku dengan nyanyian, anakku le bagus dewe.6
Tumbuh besar dalam asuhan orangtua yang harmonis, membuat masa kecilku menjadi masa yang selalu kurindukan. Masa yang andai bisa berulang, akan terus kuulang. Andai bisa kurekam dalam sebuah ruang, akan kumasuki setiap saat. Setiap penat membelenggu kepala dan masalah menjadi tembok yang mengurung tubuh dan jiwaku. Namun nyatanya masa kanak-kanak hanya sekali dalam hidup. Mengingat dan membayangkan. Hanya itu yang kini dapat kulakukan.
***
IV
Di Tumang, desaku kini. Setiap rumah penuh dengan pembicaraan tentang komunis, yang katanya sesat. Sebab tidak percaya Tuhan. Semua milik negara, milik bersama. Desa ini milikku, juga milikmu. Rumahku ini juga milikmu. Uangku juga uangmu. Termasuk, istriku juga istrimu. Juga milik mereka, milik bersama.
Pembicaraan tentang komunis memang ramai. Katanya, aktivis komunis mulai mengincar kyai di sini. Para kyai yang dianggap mumpuni, satu persatu mulai menjadi bahan pembicaraan selanjutnya. Menjadi bahan penambah dosis benci di benak warga desa terhadap komunis. Kyai Hadi, misalnya. Ramai dibicarakan setelah kejadian seminggu yang lalu.
Di suatu malam, Kyai Hadi kedatangan tamu. Seperti biasanya, tamu Kyai Hadi datang untuk meminta wejangan. Anaknya mau menikah. Pertanyaan tentang cara-cara yang benar dalam melangsungkan upacara pernikahan adat Jawa tapi tetap islami, menjadi bahan utama perbincangan malam itu.
Sementara Bu Hadi, istrinya, ngangsu7 dari sumur di depan rumah untuk mengisi kolah8 di dalam. Dengan sisa tenaga dan penerangan secukupnya, sepuluh kali Bu Hadi bolak-balik memindahkan air dengan jun9 yang digendong di punggungnya. Selama itu tubuh Bu Hadi terus tersiram air yang muntah dari moncong jun tembaga. Dan konon, pada waktu yang sama, ada aktivis komunis yang bersembunyi di balik pohon kersen dengan senjata, yang siap menjamah kulit Kyai Hadi. Entah siapa yang melihat kejadian itu. Kabar yang beredar bahwa sampai fajar menyiram desa dengan warna oranye kemerahan, Kyai Hadi masih meladeni tamunya, tidak keluar rumah, dan akhirnya aktivis komunis itu pulang.
Minggu kedua, Kyai Slamet, ketua rukun warga, menjadi cerita baru. Setiap suami bercerita kepada istrinya, istri kepada anaknya, dan anak kepada teman-temannya. Cerita yang sama, aktivis komunis gagal membunuh kyai sekaligus pengurus desa, Kyai Slamet.
Satu anggapan yang sama, komunis berkeliaran di malam hari. Jadi malam itu, ada satu aktivis komunis yang jiwanya menggebu untuk membunuh Kyai Slamet. Ia mencari di rumahnya, tidak ada. Di jalan-jalan, tidak ada. Di rumah Kyai Hadi pun tidak ada. Hingga komunis itu pulang kembali setelah mondar-mandir di sepanjang jalan utama, di mana biasanya Kyai Slamet ada di sana, membenarkan saluran air. Padahal Kyai Slamet memang ada di sana. Tapi komunis itu tidak melihatnya, sama sekali tidak.
Cerita-cerita serupa bergantian dibicarakan warga desa. Entah siapa yang membuatnya pertama kali. Cerita yang sesungguhnya lebih layak disebut doktrin. Tapi anehnya, calon korban komunis adalah para kyai dan pengurus desa. Dan bapak menjadi bagian darinya.
Entah bosan atau penasaran. Aku pergi sejenak dari desa, mengganti identitas dan masuk ke dalam komunis, tanpa sepengetahuan siapa pun.
***
V
“Le, diingat, ya. Jangan sampai kamu ikut komunis yang sesat itu. Awas kalau kamu sampai bergabung dengan mereka. Bapak tidak akan segan untuk membunuhmu. Karena bapak yakin mereka itu sesat dan harus dihilangkan dari bumi. Mereka berkali-kali mau membunuh kyai-kyai dan pengurus desa. Tapi Gusti Allah belum mengijinkan, Gusti tahu siapa yang benar.
“Kemarin, bapak dan warga telah sepakat bahwa kita akan melawan mereka. Tapi kita tetap menunggu komando dari atas. Warga sebenarnya sudah bertekad bulat tapi belum ada dorongan kuat dari atasan. Kita tunggu sebentar lagi. Bapak yakin Gusti Allah akan memberi jalan. Kamu boleh ikut kalau mau.”
Begitu bapak menyambut kepulanganku. Bukannya menanyakan kabar atau apa. Tapi emosi yang diracik dengan doktrin, disajikannya mentah-mentah. Bapak tidak tahu jika selama ini aku pergi untuk mengenal komunis, dan kini menjadi bagian dari mereka. Tanpa disadarinya, bapak membocorkan rencana perang. Sekaligus mengibarkan bendera perang di depan muka musuhnya.
Aku anak bapak, tahu bagaimana jika sudah seperti ini. Ia susah dinasehati dan akan tetap saklek pada pendapatnya.
“Bapak tidak tahu, Le. Apa yang ada di pikiran mereka. Kok sampai tidak percaya adanya Tuhan. Sampai-sampai mau membunuh semua kyai di desa ini. Edan tur goblok!10
Aku langsung pamit untuk menata barang-barang bawaan ke kamar. Setelah itu keluar rumah. Bapak juga akan keluar rumah di jam-jam ini, ke pos ronda atau ke rumah Kyai Hadi. Jadi tinggal menunggu di depan pintu sambil terus memantapkan kenekatan. Bapak sudah kelewatan. Jika dibiarkan akan ada banyak korban tidak bersalah. Komunis tidak seperti apa yang dibicarakan bapak. Aku telah mempelajari langsung dari empunya. Cukup menunggu pintu dibuka lalu ... bunuh. Mati. Pergi.
Decit kayu terdengar, cahaya lampu dari dalam rumah bocor lewat celah yang terbentuk dari pintu yang perlahan terbuka. Bapak keluar rumah. Jleb! Jleb! Jleb! Ser ... hangat. Merah darah segar dan bau anyir menyembur dari tubuh bapak. Matanya melotot ke arahku. Tangan dan kaki yang ringkih tak kuasa melawan. Bruk! Bapak ambruk dan mati. Aku pergi. Menjauh. Mencari ketenangan.
***
VI
“Apakah yang Anda ceritakan ini benar terjadi, Pak?”
“Benar. Saya tidak bohong. Sudah cukup lima puluh tahun saya membohongi istri. Saya tidak mau berbohong lagi. Tapi semua kembali kepada Anda semua. Percaya atau tidak, itu terserah.”
“Jadi selama ini kamu membohongiku, Mas? Tega kamu, ya!” Tiba-tiba saja, Temu sudah di depan pintu. Sepertinya ia mendengar semua perkataan Gito. Ia lari ke arah kamar. Menangis dan sesunggukan.
“Mu ... Temu ... dengarkan penjelasanku dulu!” Gito berdiri, tapi tetap diam di tempat. Kepala dan sebagian badannya menengok ke belakang dan berteriak dengan suara yang tegas.
“Angkat tangan! Anda ditangkap atas tuduhan komunis dan membunuh. Jangan bergerak! Menunduk!” Dua orang polisi menodongkan pistol ke arah Gito dari depan pintu. Dua lainnya mendekat dengan terus menodongkan pistol dan berteriak, jangan bergerak!
Meringkus orang tua seperti Gito tidaklah sulit. Dalam hitungan menit, Gito sudah diborgol. Para wartawan sigap dengan kamera dan handycam-nya, tidak ingin melewatkan sedetik pun momen penangkapan komunis yang menyerahkan diri itu. Ya, secara langsung Gito memang tidak menyerahkan diri. Tapi dari pengakuannya di Facebook, sesungguhnya ia telah menyerah. Kepada polisi. Kepada istri. Kepada nasib yang ia jalani.
“Ada apa ini? Kenapa suamiku ditangkap?” Masih dalam keadaan menangis, Temu muncul di antara kerumunan. Suaranya terdengar menyedihkan.
“Suami Anda, Gito, kami tangkap atas tuduhan komunis dan membunuh ayahnya sendiri.”
“Bohong!” elak Gito.
“Dengar! Suamiku bilang bahwa itu bohong. Dari mana tuduhan itu? Siapa yang melapor?” Temu terus mendekat. Berusaha menarik Gito dari dua polisi yang memeganginya.
“Anda masih percaya kepada suami yang selama lima puluh tahun membohongi istrinya?” Temu diam. Kedua polisi itu tersenyum.
“Bagaimana Anda bisa tahu kalau suamiku berbohong selama itu? Aku istrinya dan pasti lebih mengenalnya!”
Kini kedua polisi itu tertawa. Dua lainnya yang di depan pintu juga ikut tertawa. Tapi wartawan tetap setia pada kamera.
“Semua orang tahu kebohongan suami Anda. Suami pembohong dan bodoh! Ia menuliskan semua rahasia yang selama ini disimpan rapi di akun Facebooknya. Benar-benar bodoh.” Semua polisi kembali tertawa.
“Baca ini!” Satu polisi yang tadi di depan pintu menghampiri Temu dan menunjukkan status Facebook Gito.

Namaku Gito Prawiro. Aku sudah menikah tapi belum mempunyai anak. Mandul. Lima puluh tahun kami menikah. Tapi ada satu rahasia yang belum diketahui istriku. Bahwa aku komunis dan sebelum menikahinya, aku membunuh ayahku sendiri. Karena ia benci terhadap komunis. Menjelek-jelekkan komunis. Menyesat-nyesatkan komunis.

“Sekarang kami menangkapnya atas dasar itu. Gito komunis dan membunuh ayahnya.” Kedua polisi itu menyeret Gito keluar rumah. Tapi Gito melawan, sebisanya, sekuatnya. Meski tak lama ia bertahan.
“Bohong!” teriak Gito di akhir pertahanannya. “Aku memang membunuh bapakku, tapi bukan atas dasar komunis. Tapi atas dasar rasa sakit hati dan kekhawatiranku kepadanya.”
“Anda semua percaya dengan status Facebook? Benar-benar bodoh!” Temu tersenyum. Mendekati Gito dan mengusap-usap rambutnya. “Kau berhasil. Hebat!”
Semua diam.
Hening.
Lantas geram. Marah. Dan entah.

Yogyakarta, September 2015

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama