Cerpen
Andrian Eksa
Tugi
memang tak pandai berhitung. Tak pandai memperhitungkan hidupnya. Tapi setiap
hari ia mesti berhitung, memperhitungkan kebutuhan hidupnya, memenuhi
kewajibannya sebagai suami.
Bersama
Parni, kini Tugi harus siap menghadapi konsekuensi hidup yang dipilihnya.
Menjalin keluarga kecil yang diharapkan bahagia dengan segala keadaan.
Sekalipun setiap hari hanya makan dua kali, itupun dengan lauk seadanya. Awalnya
mereka masih sanggup tertawa dengan canda renyah sepasang kekasih yang dilanda
cinta. Hingga bulan purnama beralih bentuk dari pandangan mata mereka menjadi
bulan sabit yang cekung, seperti mangkuk yang terbalik. Ya, mangkuk sup yang
terbalik dan kosong karena isinya berjatuhan. Begitulah hidup mereka, kini. Belum
sempat dua tahun penuh dari hari pertama mereka mengucap akad,
kesulitan-kesulitan hidup datang satu persatu. Bergantian. Seperti serdadu
musuh yang terus datang menyerang ketika barisan depan ditumpas habis.
Dua
tahun yang lalu, cinta Tugi kepada Parni berada pada titik yang menggairahkan,
begitu pula cinta Parni kepadanya. Tugi duapuluh lima dan Parni duapuluh satu.
Keduanya sama kuat tekadnya, mereka akan menikah.
“Mas,
pokoknya bulan depan kita menikah. Aku takut kehilangan kamu, Mas. Kita sudah
hampir lima tahun pacaran. Hubungan kita juga sudah terlanjur jauh.” Tugi
memandang kekasihnya dengan penuh kasih. Dielusnya rambut Parni yang rebah di
dadanya. Ia tersenyum, lantas menimpali dengan keyakinan yang kuat.
“Pasti.
Mas Tugi janji. Bulan depan pasti aku akan bertandang ke rumahmu beserta wali
yang akan melamarmu untukku. Tenanglah. Sebentar lagi kita akan hidup bersama
dengan lebih tenang, tidur seranjang tanpa merasa takut dipergoki orang.” Parni
mengembang hatinya, kebahagiaan yang diimpikan sejak lama akan segera ia
rasakan. “Tapi ada satu hal lagi, yang juga penting.” Lanjut Tugi.
“Apa,
Mas?” Parni mengangkat kepalanya menjadi sedikit mendongak dan menatap mata
Tugi yang memandang jauh. “Masalah Bapak?” Ia segera menebak. Parni tahu dan
berkali-kali menceritakan perihal bapaknya kepada Tugi. Jika bapaknya akan merestui
pernikahan Parni dengan siapapun asal perhitungan panca sudanya tepat. Tidak jatuh pada hitungan yang akan membawa
mereka menghadapi masalah-masalah selama mengarungi hidup sebagai keluarga.
“Ya.
Dan kau tahu bukan? Aku sudah mempelajari hal itu, perhitungan neptu kita jatuh
pada panca suda lebu katiup angin,
kita akan menghadapi banyak masalah jika berkeluarga nanti. Seperti
kesengsaraan, sering kapesan, susah
mencari sandhang pangan, susah
mendapatkan apa yang kita inginkan, dan masih banyak rintangan lain. Aku tidak mempermasalahkan itu. Sebab
aku mencintaimu dan siap menanggung semua konsekuensi dari cinta kita. Tapi
bapakmu? Aku tidak yakin.” Air mukanya berubah, Tugi seperti jatuh dari
bayangan yang telah dibangunnya tinggi-tinggi.
“Aku
akan mengurusnya, Mas. Aku akan katakan kepada bapak jika perhitungan neptu
kita jatuh pada panca suda yang tepat dan kita akan bahagia. Tanpa masalah
apapun.” Parni mencoba membangun kembali semangat Tugi.
“Bagaimana
maksudmu?”
“Mas
sudah tahu bagaimana perhitungan neptunya. Kenapa kita tidak mengganti hari
lahirmu saja, Mas? Toh tidak akan ada yang tahu. Mas coba hitung, hari lahir
apa yang neptunya jatuh pada hal baik jika dihitung dengan neptuku.”
“Masalahnya
namaku Tugi, Dik. Tugi itu dari Setu Legi. Yang berarti aku lahir di hari itu.
Bagaimana kita akan membohongi orangtuamu jika dari namaku saja mereka sudah
bisa menebak dengan jelas.”
“Itu
hanya nama to, Mas. Kenapa mesti dipermasalahkan?”
“Kita
mungkin tidak mempermasalahkan, Dik. Tapi orangtuamu? Seperti perhitungan neptu
kita ini. Orangtuamu yang mempermasalahkan. Mas sebenarnya juga tidak terlalu
percaya dengan hal semacam itu, Dik.”
Parni
terdiam. Sejenak ia berpikir, kenapa calon suaminya menjelek-jelekkan
orangtuanya. Bukan menjelek-jelekkan, cuma ada rasa tidak suka. Dan seharusnya
Parni tidak membenarkan hal itu. Tapi sebagai perempuan mesti patuh terhadap suami.
Paling tidak ini sebagai awal kepatuhanku, batinnya.
Sementara
Tugi juga terdiam. Tiba-tiba ia teringat mendiang orangtuanya, terutama bapak.
Dulu bapak selalu percaya terhadap hal-hal semacam ini. Ia akan menghitung
segala sesuatu sebelum melangkah. Risiko apa yang akan terjadi dan keuntungan
apa yang akan didapat. Bapak akan melarang siapapun dari rumah kami untuk
berpergian ke mana pun, jika perhitungannya menunjukkan hal buruk akan terjadi.
Namun ketika bapak dan ibu meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan ke
rumah simbah itu, aku tak lagi percaya. Manusia memang bisa menghitung, tapi
ketentuan hidup sudah digariskan dan dikendalikan oleh Tuhan. Semoga kau bisa
meyakinkan bapakmu, Dik.
“Aku
akan mencoba menjelaskan kepada bapak, Mas. Tapi Mas juga coba hitung hari apa
yang tepat dengan neptuku, Jumat pon.” Tugi mengangguk pelan, mendekap tubuh
Parni dan kembali mengelus rambutnya. Satu hal yang membuat Tugi selalu ingin
bertemu Parni adalah bau rambutnya yang wangi dan keringatnya yang sudah menjadi
candu.
Entah
apa yang dikatakan Parni kepada bapaknya. Ia hanya memberi kabar kepada Tugi,
bapak merestui dan kau diminta datang ke rumah untuk membahas pernikahannya,
sehari setelah Tugi memberitahu jika hari Senin legi menjadi hari lahirnya yang
baru. Jika dihitung neptunya dengan Jumat pon, akan jatuh pada panca suda tunggak semi. Yang berarti hidup
pasangan akan dilimpahi dengan rejeki yang lebih dari cukup. Setelahnya Tugi
datang melamar bersama Mbah Giman, tetangga yang sudah biasa melamarkan anak-anak
lelaki di desanya. Kepada Mbah Giman, Tugi mengatakan hari lahirnya Senin legi
dan Parni Jumat pon.
“Cocok.
Tunggak semi. Hidup kalian akan makmur.” Kata Mbah Giman usai menghitung panca
sudanya.
“Iya,
Mbah. Semoga.” Tugi berkata sedikit tersendat, seperti ragu. Semoga ini menjadi
doa, batinnya.
***
“Bapak
juga heran, Le. Menurut perhitungan,
hidup kalian akan berlimpah rejeki. Tetapi kenapa hidup kalian masih saja
pas-pasan. Kamu dan Parni juga kerjanya itu-itu saja, mencari pasir di kali. Apa
salah hitung ya, Le? Tapi tidak
mungkin. Bapak sudah menghitung berkali-kali dan hasilnya tetap sama, tenggak
semi. Aduh, aduh. Ibumu itu lo, setiap malam selalu tanya ke bapak. Kapan bisa
menggendong cucunya?” Tugi sudah hafal kata-kata ini. Setiap kali ia berkunjung
ke rumah mertua, kata-kata ini yang diucapkan bapak mertuanya.
“Mungkin
ini ujian, Pak.”
“Tapi
kenapa terus-terusan, Le? Ini sudah
satu setengah tahun kalian menikah.” Tugi hanya akan diam. Atau sesekali ia
akan mengalihkan pembicaraan dengan bertanya tentang hal lain, semacam meminta
pendapatnya terhadap tetangga yang mati atau rumahnya kemalingan. Sebab Parni
pernah bilang, jika bapaknya hanya tahu jika Tugi lahir di hari Senin legi.
Namanya Tugi, Setu Legi, diambil dari penggabungan hari lahir bapak dan pasaran
ibunya.
Setelah
hampir dua tahun pernikahannya, Tugi mengurangi intensitas berkunjung ke rumah
mertua. Jika sebelumnya seminggu sekali ketika masih satu desa, lalu sebulan
sekali ketika Tugi pindah ke rumah yang dibelikan mertuanya di desa lain, dan
kini setahun sekali setelah kepindahannya ke kota lain. Alasannya tidak pernah
berubah, ia tidak berkutik dengan keluhan mertua yang tidak pernah bisa ia
penuhi. Kerja tetap, hidup makmur, dan memberikan cucu untuk mereka.
***
Hidup
dengan bayangan tuntutan-tuntutan dari orangtua membuat mereka sering ribut.
Saling menyalahkan satu sama lain. Parni mempermasalahkan tentang sikap Tugi
yang menjauh dari orangtuanya. Sedang Tugi mempermasalahkan tentang
ketidakkonsistenan Parni. Dulu mereka bertekad untuk tetap menikah, apapun yang
akan mereka hadapi setelahnya. Tapi sekarang Parni mulai menyalahkan diri
mereka yang terlalu nekat.
“Kita
telah memilih jalan ini. Harus menjalaninya apapun yang terjadi. Kini aku
percaya dengan perhitungan itu, Dik. Panca suda lebu katiup angin itu memang benar dan kita mengalaminya. Tapi dulu
kita tidak perccaya. Sekarang kita harus percaya, Dik. Harus!”
“Tapi
apa kita akan terus seperti ini, Mas?”
“Mungkin
iya, mungkin juga tidak. Pernikahan kita awali dengan kebohongan dan terus kita
bangun dengan kebohongan lain. Sekarang kita harus meluruskannya, Dik. Kita
harus jujur kepada orangtuamu. Meminta petunjuk dari bapak.” Untuk pertama
kalinya Tugi merasa menjadi suami yang sesungguhnya.
Keesokan
harinya mereka berkunjung ke rumah orangtua Parni. Mereka membawa sedikit
oleh-oleh yang dibeli dari hasil penjualan satu kursi di ruang tamu. Begitu
sampai mereka segera sungkem dan
menjelaskan semua. Awalnya bapak dan ibu kaget jika mereka—terutama Parni—tega berbohong
kepada orangtua. Sesekali menganggukkan kepala memaklumi masalah-masalah yang
dialami anak dan mantunya. Setelah penjelasan selesai, bapak angkat bicara.
“Bu,
kabari warga di sini, besok kita akan mengadakan ruwatan. Kabari juga jagal
untuk menyembelih kambing dan bapak akan ke pasar menjual sapi, mumpung masih
pagi. Untuk menanggap wayang.”
Ibu
keliling desa. Bapak ke kandang di belakang rumah. Tugi dan Parni hanya
terdiam, di tempat semula, tak tahu apa-apa.[]
Yogyakarta, Agustus 2015
Posting Komentar