Gadis dan Orang-orang Bumi Lama


dokumen pinot's pallete

Gadis dan Orang-orang Bumi Lama
Cerpen Andrian Eksa

Kami selalu kebingungan memikirkan tingkah orang-orang itu. Menganggap kami bukan bagian dari mereka, menjadi momok yang tidak sepantasnya dipertontonkan pada khalayak umum. Kami disekap, dikaburkan dengan berbagai isu—yang bagi masyarakat adalah fakta yang harus dipercaya, hingga hampir tak ada yang berani memikirkan kami. Betapa malang. Betapa menyedihkan.
“Bu, kata Bu Yatmi, bumi ini tidak akan bertahan lama.”
“Memangnya kenapa, Nak, kata Bu Yatmi?”
“Katanya karena Pohon-pohon Lama sudah hampir punah, Bu.” Ibunya tersenyum lembut—seperti mengatakan jika hal itu sudah ada jawabannya, bodohnya gurumu, Nak, pikirnya.
“Ooo … begitu. Terus, kata Bu Yatmi apa yang harus kita lakukan, Nak?” Ia seperti menyindir guru yang mengajar anaknya.
“Kita menanam Pohon Lama, Bu. Kita rawat setiap hari.”
“Gadis ibu yang cantik ini, mau menanam Pohon Lama?” Ia tetap tersenyum, sama seperti tadi. Pohon di sini kan tinggal beli, Nak, tenanglah, katanya dalam hati.
“Mau, Bu.”
“Anak yang pintar.”
“Tapi Pohon Lama di mana, Bu? Pohon di rumah kita berbeda dengan Pohon Lama di buku sejarah Bu Yatmi, Bu. Gadis jadi bingung.”
Dengarlah! Betapa kemajuan membuat orang-orang kebingungan. Andai mereka memperhatikan kami, mungkin tidak akan sebingung itu. Setidaknya, perempuan kecil itu dapat melihat pohon yang asli, yang sama seperti di dalam buku sejarah gurunya.
“Nak, pohon yang dimaksud Bu Yatmi adalah pohon seperti itu.” Ibu Gadis itu menunjuk sebuah pohon bercahaya, pohon yang tumbuh dari program komputer. Pohon jenis apa itu? Entah, kami tidak mengenal jenis-jenis pohon baru yang berhasil mereka ciptakan. Dua tahun yang lalu, di Festival Karya Mutakhir—acara yang diadakan sepuluh tahun sekali di tempat mereka—seorang profesor bernama Suroso memperkenalkan pohon bercahaya itu. Namun, kami tidak berminat menyimak penjelasannya, hanya samar-samar kami mendengar jika pohon itu diciptakan untuk menanggulangi pemunahan Pohon Lama. Apa yang mesti kami katakan pada mereka, jika Pohon-pohon Lama yang asli di tempat kami masih tumbuh subur.
“Bukan, Bu. Kata Bu Yatmi memang di sini sudah langka. Kita harus melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk ke tempat itu. Tapi tidak diberitahukan di mana tempat aslinya, Bu.”
“Mungkin Bu Yatmi salah ngomong, Nak. Coba besok ibu akan menemui Bu Yatmi, ya. Ibu tanyakan.” Gadis tersenyum. “Sekarang, Gadis belajar menanam pohon itu, ya. Minta ajar ke ayah, Nak.” Gadis mengangguk, berlari menemui ayahnya. Ibunya mengembangkan senyum kelegaan. Kenapa guru itu ceroboh sekali! Rahasia tentang Pohon Lama tidak boleh diketahui siapa pun, gerutunya dalam hati.
Itulah yang menjadi masalah sebenarnya. Kami tidak mempunyai akses untuk menjelaskan kepada mereka. Jika dibiarkan terus menerus, kami bisa punah—meski kami berharap bisa hidup abadi, tapi di tempat kami kematian masih tetap ada. Di tempat mereka (mulai saat ini kita sebut tempat itu sebagai Bumi Baru), kematian bisa disiasati dengan kerja komputer. Tepat, di Bumi Baru tidak lagi ada sosok Tuhan yang ditakuti, ditaati, dan dipuji. Karena setiap masalah dapat mereka atasi dengan kerja komputer. Menggunakan rumus-rumus yang lebih rumit dari kehidupan kami yang ditiadakan.
Kata sesepuh kami, semua berawal ketika seorang profesor baru, yang terobsesi ingin membuat temuan paling berpengaruh di Bumi Lama—tempat ketika Bumi Baru belum ada, dulu semua berada pada tempat yang sama. Ah, sekarang sebenarnya masih di tempat yang sama. Hanya saja, keberadaan kami disensor oleh profesor itu menjadi tidak nampak.
Profesor itu waktunya dihabiskan di dalam laboratorium pribadinya. Hampir sepuluh tahun, profesor itu menghilang dari kehidupan Bumi Lama. Tidak ada yang pernah melihatnya beraktivitas di Bumi Lama. Ketika kembali, telah membawa satu konsep kemajuan untuk Bumi Lama, kehidupan yang abadi, kehidupan yang dikendalikan oleh kerja komputer. Tidak perlu menunggu takdir Tuhan, karena semua dapat dikendalikan. Diadakan dan ditiadakan.
Tidak semua orang setuju. Ada yang berpendapat, jika kehidupan itu mustahil, karena kehidupan dikendalikan oleh Tuhan, manusia hanya mengikuti kerjanya. Tapi ada juga yang berpendapat lain, kehidupan itu akan jadi nyata—dan harus nyata. Orang-orang di pihak kedua beranggapan jika lama-kelamaan manusia akan jenuh memuja Tuhan, yang tidak pernah mereka temukan wujud nyatanya. Tidak harus ada konsep kehidupan komputer, pada akhirnya manusia akan segera meninggalkan Tuhan.
Tidak ada keputusan yang diambil dan dijalankan bersama-sama dari perdebatan mereka. Keduanya menjalankan konsep sendiri-sendiri, orang-orang di pihak kedua tetap melanjutkan kerja, menciptakan Bumi Baru yang lebih maju. Menggandeng profesor-profesor ahli di segala bidang. Menciptakan rumus-rumus. Mencoba dan terus berusaha meniadakan kekunoan. Sementara, orang-orang di pihak pertama, menyusun rencana, kehidupan hijau, kehidupan alam yang menyegarkan. Mereka mulai menanam pohon di setiap tempat. Setiap hari, setiap orang menanam satu pohon.
Selama sepuluh tahun, kehidupan berjalan seperti perang diam-diam. Satu pihak dan pihak lain, mengokohkan pertahanan masing-masing. Hingga tanpa disadari, kehidupan terpisah oleh kabut isu, kehidupan lama adalah momok yang kuno dan harus dimusnahkan, atau setidaknya dikaburkan. Antara orang-orang di pihak pertama yang tinggal di Bumi Lama tidak bisa berkomunikasi dengan orang-orang di pihak kedua yang tinggal di Bumi Baru, karena program yang dikonsep profesor itu berhasil diterapkan. Program yang mampu membuat semacam tirai kehidupan, memisahkan kami. Betapa menyedihkan. Kami yang dulu sudah seperti keluarga, terpisah dan tidak saling mengenal, seperti orang lain. Tumbuh dengan baju budaya masing-masing, dengan prinsip hidup sendiri-sendiri.
***
“Bu, kenapa Anda mengajarkan kepada anak-anak tentang Pohon Lama yang dirahasiakan itu?” Ibu Gadis langsung melemparkan tanya setelah memperkenalkan diri sebagai wali murid dari salah satu anak yang diajar Bu Yatmi.
“Bukan bermaksud membocorkan rahasia, Bu. Tapi memang itu tugas saya sebagai guru Sejarah. Apa yang mesti disampaikan kalau bukan masa lalu?”
“Jika kehidupan yang dulu kuno bisa dikaburkan, hingga yang terlihat hanya kemajuan. Kenapa sejarah yang hanya tercatat dalam kata-kata, tidak bisa dikaburkan juga, Bu? Sesuatu yang sangat mungkin, kan, jika Anda mengajarkan Pohon Lama itu sebagai momok, bukan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan.”
“Bukan bermaksud mempertahankan diri, tetapi kemarin saya sebenarnya hanya ingin menjelaskan tentang Pohon Lama yang hampir punah, tanpa menjelaskan apa yang mesti dilakukan. Tapi ada seorang siswi yang terus bertanya tentang hal itu, Bu.”
“Memangnya apa saja yang ditanyakan anak itu?”
“Banyak, Bu. Ia menanyakan tentang kenapa pohon itu disebut Pohon Lama, seperti apa bentuk pohon itu, di mana keberadaan pohon itu, kenapa di rumahnya tidak ada pohon yang serupa, apa yang meski dilakukan agar tidak punah. Dan saya tiba-tiba kesulitan untuk berbohong kepadanya, Bu. Ia terus mendesak-desak.”
Ibu Gadis mendengarkan penjelasan Bu Yatmi dengan begitu serius. Mukanya tegang, mata menatap tajam, dan telinganya seperti diarahkan agar tidak melewatkan kata-kata lawan bicara di depannya.
Pagi-pagi sekali Ibu Gadis datang ke sekolahan anaknya, menemui Bu Yatmi. Mengingatkan kecerobohan yang ditangkapnya ketika mendengarkan cerita Gadis kemarin. Ia takut, jika masa lalu yang kuno itu akan kembali ke kehidupan baru mereka. Sudah menjadi rahasia umum—sudah banyak warga yang tahu—jika profesor-profesor yang dulu menciptakan kehidupan di Bumi Baru, memang sengaja membuat program pemisah, sensor untuk orang-orang yang tidak mau diajak maju.
“Sepertinya ia memang anak yang cerdas, Bu.” Ada rasa bangga sekaligus takut dalam hati Bu Yatmi. Bangga karena anak didiknya cerdas, dan takut karena kemungkinan anak itu akan mengembalikan kehidupan yang lama. Membangkitkan minat kekunoan di diri anak-anak seusianya. Hingga nanti pada akhirnya akan menyatu lagi Bumi Lama dan Bumi Baru. Betapa menyedihkan dan memuakkan kehidupan kuno itu, pikirnya.
 “Siapa anak itu, Bu?” Ibu Gadis menanyakan hal yang dari tadi dipikirkannya. Ia berprasangka, jika jangan-jangan anak yang dimaksud Bu Yatmi adalah anaknya, Gadis yang pintar.
“Gadis, Bu. Dia anak yang aktif. Setiap pelajaran saya, selalu menanyakan hal-hal yang mendetail. Sepertinya dia mempunyai minat khusus di bidang ini, Bu.”
Gleg! Meskipun Ibu Gadis sudah menduga, sebenarnya ia tak ingin prasangkanya itu benar. Tetapi memang senyatanya benar. Gadisnya yang pintar, yang membuat dirinya—dan jika ada orang lain yang tahu, pasti mereka juga—takut. Kenapa anaknya jadi seperti itu? Ia masih kecil, masih sebelas tahun. Bukan jadi masalah sebenarnya. Tapi jika dibiarkan, semakin dewasa akan semakin berbahaya.
 Dengan tingkah yang agak aneh, Ibu Gadis berpamitan pulang. Ada kecurigaan dalam hati Bu Yatmi, apa yang terjadi?
“Akan saya usahakan, untuk mencari tahu anak itu, Bu. Saya mohon pamit.” Lihatlah! Caranya berpamitan seperti orang yang buru-buru, seperti dikejar ketakutan yang menghampirinya tiba-tiba.
***
Di dalam kamar, Ibu Gadis duduk dan gelisah. Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Gadis akan menjadi orang berbahaya bagi Bumi Baru. Tapi kenapa ia bisa begitu? Ibu Gadis mencoba mengingat-ingat masa lalunya.
Gadis sebelas tahun. Apa benar ia anak Kastam, hasil hubungan yang dulu? Ah ... tidak mungkin. Kami baru sekali melakukan hubungan itu. Gadis adalah anakku bersama Nurhadi, suamiku yang sekarang. Ah ... kenapa aku malah memikirkan laki-laki dari Bumi Lama itu? Kastam! Ya, kau yang dulu pernah membuatku jatuh cinta. Laki-laki yang dengan rela, aku berikan keperawanan untukmu. Kenapa kamu malah memilih untuk tetap tinggal di Bumi Lama dengan segala kehijauan yang kuno? Hidup ini sudah maju, Kastam! Maju!
Kastam? Apa itu Pak Kastam yang sering duduk di bawah pohon mangga itu? Laki-laki malang yang selalu menatap Pohon-pohon Lama, setiap sore tiba.
Kastam? Apa kamu masih sering duduk di bawah pohon mangga itu? Pohon yang setiap sore menyangga tubuh kita, melindungi kita dari intipan burung-burung yang terbang di atas pohon. Ah ... Kastam! Kenapa aku malah memikirkanmu? Aku harus mencari tahu siapa Gadis sebenarnya. Ia anakmu atau anak suamiku? Aku benar-benar tidak tahu, karena dulu, satu bulan setelah kita melakukan hubungan itu, Bumi Lama dan Bumi Baru terpisah dan aku dinikahkan dengan Nurhadi.
“Sayang, kamu sedang memikirkan apa? Kok nampak gelisah seperti itu?”
“Tidak kok, Sayang. Aku baik-baik saja.” Ibu Gadis memutar posisi duduknya, menatap Nurhadi dengan mesra, kemesraan yang dipaksa, sepertinya. “Tidur, yuk, Sayang.”
***
Pagi ini, hari Minggu, Ibu Gadis mengajak anaknya ke dokter. Ia ingin mengetes DNA Gadis. Apakah cocok dengan DNA Nurhadi. Tadi malam, diam-diam Ibu Gadis mengambil sampel darah suaminya.
Satu jam setelah pemeriksaan, Ibu Gadis mendapatkan hasil yang sesuai dengan prasangkanya tadi malam, Gadis bukan anak Nurhadi. Dan itu berarti bahwa Gadis adalah anak Kastam, sebab hanya dua laki-laki itu yang diyakini Ibu Gadis sebagai laki-laki yang pernah berhubungan dengannya. Gadis akan berbahaya!
Ini adalah kabar yang menakutkan bagi Ibu Gadis dan masyarakat Bumi Baru, tapi juga menjadi kabar baik bagi kami, masyarakat Bumi Lama. Karena kemungkinan, Gadis bisa diajak berkomunikasi, ada darah Kastam di dalam tubuhnya, ada darah masyarakat Bumi Lama, masyarakat yang mempertahankan penghijaun yang dianggap kuno.
Ketika Gadis sudah di rumah, kami mencoba berkomunikasi dengannya.
“Gadis, apa kamu bisa mendengarkan suara kami?”
“Gadis yang manis, yang pintar, dengarkah kamu?”
Lihatlah! Gadis memutar-mutar pandangan matanya, ia mencari-cari sumber suara.
“Siapa kalian?”
“Kami ...,” Gadis lari. Ia menghampiri ibunya, ketakutan.
“Bu, ada suara-suara aneh. Gadis takut.”
Ibu Gadis meyakini, jika itu adalah suara kami. Ia semakin gelisah. Bahaya! Jika Gadis sampai berkomunikasi dengan orang-orang Bumi Lama. Apa anak ini harus kubunuh?
Kegelisahan tiba-tiba menyelimuti masyarakat Bumi Lama.

Jogja, April 2015

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama