Cerpen Andrian Eksa
I
Sate Kobra. Inilah
sajian ke tiga untuk malam ini. Sate ular kobra yang dimasak oleh Depeer, juru masak Pak Pres, dengan bumbu pedas dan
disajikan di atas piring Cina yang menggoda, piring porselin putih bergambar naga biru di tengah dan
bunga-bunga di sekitarnya. Aku
yakin, jika Anda ikut duduk di meja ini, pasti akan berebut untuk memakannya. Anda tahu,
bahwa daging ular kobra mampu meningkatkan gairah seksual dan bisa juga untuk
menyembuhkan impotensi. Jadi, Anda—para
lelaki yang “lemah”—pasti akan
berebut, aku
sangat yakin itu.
"Bagaimana, Tuan?"
"Sangat
menyenangkan bisa mempunyai koki sehebat kamu, Peer."
"Tuan terlalu
menyanjung saya."
"Tidak. Kamu
memang pantas untuk disanjung, Peer."
Ia tersenyum. Bukan! Sebenarnya
sedikit menyeringai. Aku dapat membaca raut wajah bahagia dan bangga dari
caranya tersenyum. Mungkin jika Anda yang melihat, Anda akan mengartikannya
sebagai senyum licik. Tapi jangan salah, inilah senyum terindah. Senyum yang
harus selalu diberikan kepada semua orang. Senyum yang bahagia, senyum bangga,
sungguh mengasyikkan.
"Bagaimana dengan
yang ini, Tuan?" Ia menyodori
Pak Pres
dengan menu baru. Sepiring rica-rica ular, entah ular apa.
"Bagaimana kamu
bisa mengolah segala jenis ular seperti ini, Peer?"
"Saya hanya
mencoba memberikan yang
terbaik untuk Tuanku.
Ini hanya sajian sederhana." Ia kembali menyeringai.
"Bagus. Memang tak
perlu alasan khusus untuk sebuah tindakan, yang penting kita yakin benar. Kamu
memang pintar, Peer."
II
Di depan rumah kepala desa.
"Pak, bagaimana
ini bisa terjadi? Ular-ular di sawah semakin hari semakin berkurang. Ini
membuat tikus-tikus nakal semakin merajalela."
Lelaki yang bertanya
itu semakin gusar. Ia tak pernah membayangkan hal ini bisa terjadi. Sawahnya dan
juga sawah milik warga yang lain diserbu oleh tikus. Sementara, ular-ular yang
biasanya memangsa tikus-tikus itu tiba-tiba berkurang drastis. Entah karena
mati atau diburu manusia. Sebab, akhir-akhir ini banyak berdiri warung-warung
baru yang menjual aneka masakan dari ular.
"Ini adalah hal
biasa. Saudara semua tidak perlu gusar. Hal ini terjadi akibat siklus dagang
ular sedang naik. Para pejabat mulai menyukai masakan dari ular, dan hal ini
berdampak pada harga ular yang semakin melambung. Sebab, suatu masakan yang
sudah pernah dimakan pejabat, akan melambung namanya, dan sudah tentu harga
akan naik secara cepat. Makanya, orang-orang berlomba untuk memburu ular. Coba disiasati dengan racun dulu."
Santai. Sangat santai.
Orang yang berpeci hitam, berbaju batik, dan bercelana hitam panjang itu,
berbicara di depan begitu santai. Ia terlihat dengan jelas, mempertahankan
kewibawaannya sebagai
seorang Kepala Desa.
"Lalu, bagaimana
nasib kami, Pak?" Lelaki itu lagi yang bertanya. Sepertinya hanya dia yang
mempunyai kelebihan untuk mengutarakan pendapat. Sementara yang lain hanya diam, matanya menitipkan
harapan kepada lelaki itu.
"Kalian tidak
perlu khawatir. Kami akan membantu kalian dengan beberapa dana yang diberikan pemerintah,
khusus untuk kalian, Korban
Tikus-tikus Nakal." Ia menyeringai, tetapi tetap terlihat berwibawa.
I
Korban Tikus-tikus
Nakal. Begitulah sebutan baru bagi petani yang sawahnya diserbu oleh
tikus-tikus yang entah dari mana datangnya. Ini memang aneh. Secara tiba-tiba sindrom
gemar mengonsumsi ular menjalar ke setiap pejabat. Baik pejabat tinggi ataupun
pejabat biasa. Bahkan secara diam-diam, Pak Kades pun mengonsumsi masakan ular.
"Memang benar
berita di televisi itu, daging ular sangat lezat. Bahkan lebih lezat dari
daging sapi atau kambing dengan kualitas terbaik."
Pak Kades mengatakan
demikian ketika menyantap opor ular di rumahnya. Ia juga pernah mengatakan demikian, "Kader, masakanmu
memang sungguh lezat. Aku suka. Setiap hari, kamu harus
memberikan masakan seenak ini padaku." Begitulah katanya kepada Kader,
pembantu yang sudah mengabdi bertahun-tahun lamanya.
Bagaimana Kader bisa memasak
masakan ular? Kader belum pernah memasak masakan aneh itu. Selama ini, Kader hanya
mahir dalam mengolah daging kambing,
sapi, dan babi, dan itu yang membuat Pak Kades mempertahankan
Kader sebagai pembantunya.
"Bagaimana, Tuan?
Enak, bukan?"
"Lebih dari enak.
Bagaimana kamu bisa memasak seenak ini?"
"Saya hanya
membaca resep masakan dari Depeer, Tuan. Juru masak terhebat di masa ini. Saya
juga pernah mengikuti trainning
memasak bersama beliau, beberapa hari yang lalu."
"Kamu memang cepat
untuk memahami hal-hal baru, Der. Pertahankan hal itu. Aku menyukainya."
***
Lelaki tua yang duduk
di samping Deeper adalah Pak Pres. Ialah yang sedari kemarin menyantap aneka
masakan dari ular. Ia juga yang memberikan kebijakan tentang harga ular yang
semakin melambung. Kini ia tersenyum-senyum sendiri. Matanya terlihat jelas,
jika ia sedang memikirkan hal lain di luar pandangannya yang semakin jauh itu.
"Apa yang Tuanku
pikirkan?"
"Aku tidak
memikirkan apa pun. Hanya membayangkan betapa banyaknya uang yang akan masuk ke dalam koperku. Bisnis ini sangat
menyenangkan.
Terus sebarkan sindrom mengonsumsi masakan dari ular itu, Peer. Nanti kamu akan
saya beri upah tambahan."
"Pasti Tuanku.
Saya juga suka melakukan hal ini. Nama saya semakin melambung di berbagai
daerah. Depeer si Juru Masak Profesional paling fenomenal."
Mereka tertawa. Sangat
lepas. Barangkali, pohon-pohon di depan rumah itu sangat merasa terganggu
dengan suara tawa mereka.
II
Korban Tikus-tikus
Nakal berkumpul di depan rumah
kepala desa. Mereka berulang-ulang menyerukan segala hal yang
menjadi hak mereka. Mereka semakin gusar, sebab tikus-tikus itu tidak lagi
mempan oleh racun tikus, seperti yang disarankan Pak Kades. Namun, di tempat
itu tidak terlihat Pak Kades, hanya Kader yang berdiri tegak, tetap sama
seperti Pak Kades, ia menjaga wibawanya.
"Maaf,
Saudara-saudara. Untuk saat ini Pak Kades sedang berkunjung ke rumah Pak Pres,
guna membahas masalah yang sedang melanda tempat kita."
"Sampai kapan, Pak
Kades di sana?"
"Untuk beberapa
waktu. Sebab mengatasi hal ini tidaklah mudah. Perlu suatu pembicaraan yang panjang
dan matang, bukan?"
"Iya. Pak Kades
sedang memperjuangkan hak kita, beliau memang pemimpin yang baik."
Tiba-tiba saja, seorang perempuan berambut panjang lurus, berbadan langsing, berpayudara
dan bokong yang
proporsional dengan badannya.
"Eh, Bu Kades
tidak ikut ke tempat Pak Pres?"
"Tidak, saya
percaya bahwa suami saya yang hebat itu, mampu menyelesaikan masalah ini."
I
Di rumah
lain—sebenarnya bukan
rumah, tapi istana, lebih tepatnya begitu. Di meja makan, dua orang lelaki
duduk berlawanan tempat. Dan seorang lagi, berdiri dengan pakaian juru masak
a-la Cina.
Aku tahu, mereka adalah
Pak Kades, Pak Pres, dan Depeer. Mereka saling mempersiapkan tenaga untuk
menyantap masakan yang di sajikan di meja. Dalam hitungan satu, dua, tiga, ....
"Ha-ha-ha ...
memang sindrom itu sudah menjalar ke tubuh mereka." Dengan senyum khasnya,
Depeer menyaksikan dua lelaki saling berebut masakan di atas meja.
II
Di tempat lain, tempat
Korban Tikus-tikus Nakal tinggal, beredar kabar baru. Rumah mereka diserbu
tikus-tikus yang entah dari mana datangnya.
Posting Komentar