dokumen tribunnews |
Samto
Cerpen Andrian
Eksa
Menjadi jagal,
memberi lelaki itu kesempatan lebih untuk mendapatkan empedu kambing dan
torpedonya. Mendapat kesempatan lebih untuk membahagiakan istrinya. Ialah Samto.
Lelaki tiga puluh lima tahun, seorang penjahit rumahan di samping lapangan
sepak bola, dan juga seorang pendatang baru di dukuh ini, Dukuh Galsari.
Samto
tidak lagi sabar untuk tidur di samping istrinya, Tiyah. Tidak lagi betah
menunggu untuk terus menerus tidur lain ranjang. Sudah tiga bulan terakhir
kepercayaan Tiyah kepadanya menurun. Sang istri tidak lagi mengakui
kelelakiannya, terhitung sejak ibu kandungnya meninggal, sejak pertama kali
pindah ke dukuh ini.
Jadi
kabar tentang pemberian tugas menjadi jagal kepadanya, membuat Samto tidak bisa
tertidur dengan pulas. Mata yang seharusnya terpejam, sejak tadi masih melek dan bibirnya yang seharusnya diam,
terus bergerak sesuai jalur senyum laiknya bibir manis perjaka desa. Tidak
berbeda dengan tangan dan jari-jarinya. Jika pada hari-hari sebelum ini,
keduanya langsung menata diri di depan dada dalam posisi tubuh miring, kini
masih sibuk memainkan kawannya, si kecil yang lucu (kira-kira begitulah pikiran
Samto tentang anunya, sebab kini tak seperti dulu yang bagas waras).
Malam
semakin malam, dan pagi menunggu giliran untuk mengisi hari. Sementara Samto
belum beranjak dari tempat semula, dari kegiatan semula, dari bayangan-bayangan
semula, dari nasibnya semula, tidur tanpa dekapan istri.
***
Tiga
jam waktu tidur Samto, kiranya cukup untuk menjadi pendongkrak energi dalam
tubuhnya, sebab kini ia mesti bersiap untuk salat dan melaksanakan segala
rencana, membahagiakan istri tercinta.
Ia
sudah berencana untuk mengikuti salat saja, tanpa mendengarkan khotbah, baginya
khotbah di hari ini sama saja dengan khotbah di hari-hari lain. Akan tetapi
rencananya untuk membahagiakan istri hari ini, tentu tidak sama dengan hari
lain. Jadi, lebih baik ia bersegera datang ke tempat penyembelihan. Segera
menyiapkan segala keperluannya.
Nantinya
Samto akan mengambil bagian di bagian pengurusan jeroan, tentunya dengan maksud agar memudahkan mengambil empedu
kambingnya. Ia akan memotong empedu itu dari bagian tubuh yang lebih besar,
dibawa agak menjauh dari kerumunan dengan sedikit alasan, ia akan mengatakan,
biarkan saya saja yang mengurus ini, empedunya harus dibuang, nanti kalau pecah
akan membuat bagian lainnya terasa pahit. Setelah merasa aman, Samto akan
menelan mentah-mentah empedu yang masih dalam kantungnya, dengan harapan
mengurangi rasa pahit. Akan tetapi bagaimanapun juga, ia akan tetap menutup
hidungnya dengan jari-jari tangan kiri dan memasukkan empedu dengan jari tangan
kanannya, sejujurnya Samto tidak suka aroma daging kambing.
Nantinya
juga Samto akan diam-diam menelan tiga kantung empedu, sebab ia tak mau
ditertawakan oleh kawan-kawan barunya di dusun ini. Selain itu, Samto juga berencana untuk meminta bagian torpedo,
tiga saja cukup untuk menambah kesaktian anunya. Tiga dari sebelas ekor kambing
yang disembelih menurutnya tidak akan menimbulkan kecurigaan dari warga.
Setelah itu, ia akan membawa ketiga torpedo itu ke rumah Mbok Jum, penjual
bubur yang terkenal dengan lauk sambel tumpangnya. Menurut Samto, mungkin saja
Mbok Jum bisa diajak kompromi—dengan member imbalan secukupnya untuk menjaga
rahasia—untuk memasakkan torpedo itu menjadi gulai torpedo dengan beberapa
lalap cabai yang pedas. Hmmm … Samto
sudah bisa membayangkan aroma gulai torpedo kambing itu, betapa menggodanya.
***
Samto
berusaha menghabiskan gulai torpedo kambing yang ada di mangkuknya. Ia tidak
mau rugi. Mempertaruhkan wajahnya di hadapan warga dukuh dengan meminta
torpedo, membayar Mbok Jum untuk memasak dan menjaga rahasianya, juga merelakan
hidungnya ditusuk-tusuk aroma daging kambing, ia tidak mau itu semua sia-sia
hanya karena perutnya menolak masakan tersebut. Aroma sedap gulai—meski sekali
lagi Samto tidak suka aroma daging kambing, tapi gulai itu memang sungguh
sedap—membuatnya semakin yakin bahwa ia mampu menghabiskan masakan itu demi Tiyah,
demi keharmonisan keluarga, demi dirinya sendiri.
“Butuh
jamu to, Sam?” tanya Mbok Jum. Mata dan bibirnya seperti menggoda perjaka yang
sedang jatuh cinta, tapi tidak berdaya dengan kelelakiannya.
Sementara
lelaki yang ditanya hanya menoleh sebentar, sekadar memberi senyum
meng-iya-kan, lalu kembali pada sisa gulai di mangkuknya.
“Kalau
masih kurang, Mbok masih punya yang lain, tapi bukan torpedo.”
“Sudah
cukup, Mbok.” Samto berjalan membawa mangkuknya yang sudah kosong, hanya
tersisa warna kuning kunyit yang tertinggal di kulit mangkuk. Ia meletakkan
mangkuk itu di antara tumpukan piring di samping drum tempat air. “Perut saya
sudah cukup mual, Mbok.”
***
Samto
sengaja tidak langsung menemui Tiyah. Ia menghabiskan waktu tiga jam di pos
ronda, sekadar main kartu remi dan minum kopi bersama warga. Ia tidak mau
dicurigai warga.
Setelahnya
ia pulang dan menemui Tiyah sudah tidur di ranjang. Samto berjalan dari muka
pintu kamar dengan sikap gagah seorang raja yang hendak menemui permaisurinya.
Ia siapkan segala yang dinasihatkan oleh Mbok Jum tadi, berjalan dengan mantap,
pandangan tajam dan senyum yang menggoda. Temui istrimu dari belakang jika ia
tidurnya dengan posisi miring, elus rambut dan pipinya. Tiup daun telinganya
perlahan dan dia akan takluk.
Baru
empat langkah dari muka pintu, Samto merasa tubuhnya semakin hangat, kepalanya
pusing, dan pandangan matanya berkunang-kunang. Ia masih sempat berjalan dua
langkah dan jatuh tepat di samping ranjang.
Bruk!
Mendengar
ada sesuatu yang terjatuh, Tiyah terbangun. Matanya langsung menyapu seluruh
ruang di kamar itu, ditemuinya laki-laki dengan jenggot tipis dan potongan
rambut cepak tanpa kaos—hanya sarung melilit sebagian tubunya.
Tiyah
bangkit dan mendekati suaminya. Beberapa kali wajah laki-laki itu ditampar,
namanya diseur, dan tubuhnya digoyang-goyangkan. Bukannya kesadaran, tapi aroma
gulai dari mulut Samto mengumbar.
“Oalah
… dasar goblok! Reti yen darah tinggi kok nekat mangan
iwak wedus!”
Boyolali, Idul Adha 2015
Catatan:
Melek : terjaga
Bagas
waras : sehat
Jeroan : daging bagian dalam, semisal
hati, ampela, dll.
Goblok : bodoh
Reti : tahu
Yen : kalau
Mangan : makan
Iwak
wedus : daging kambing
(dimuat dalam buku kumpulan karya KMSI UNY "Buku Nasib" yang diterbitkan oleh Gambang Buku Budaya)
Posting Komentar