dokumentasi Mala Renjana-Yuda Wicaksono & Ratih Dwi Anjani |
Mala Renjana:
Menubuhkan Rasa
Akhir tahun lalu, saya dihubungi oleh
seorang kawan dari jurusan Pendidikan Seni Tari UNY. Ialah Yuda dan Ratih. Keduanya
mengutarakan maksud untuk meminta saya menulis puisi tentang alur kisah garapan
tari mereka di Uji Koreografi 3.
Perkenalan saya dengan keduanya sudah
dimulai sejak 2016 di sebuah garapan teater. Pada waktu itu saya bertindak
sebagai Asisten Sutradara sekaligus pemain dalam pementasan Negeri Langit. Setelahnya,
kami makin akrab, terutama dengan Ratih, yang kebetulan sama-sama berangkat ke
Kendari, Sulawesi Tenggara, mewakili Yogyakarta dalam acara Peksiminas XIII di
akhir tahun 2016.
Sementara itu, lebih lanjut saya dan
Yuda pun di pertengahan tahun 2018 mengikuti workshop yang sama. Saya tidak menyangka
kalau ternyata dirinya juga ikut. Workshop tersebut diadakan oleh Teater Garasi
dalam perayaan buku Goenawan Maryanto, Sakuntala.
Workshop Penubuhan
Puisi
Workshop yang diberikan secara cuma-cuma
tersebut terkait dengan penubuhan puisi. Mas Cindil, panggilan akrabnya, ingin
berbagi tentang proses penubuhan sebuah teks puisi, sehingga puisi tidak hanya
disajikan dalam bentuk pertunjukkan baca puisi.
Di dalam workshop tersebut, Mas Cindil
membagi prosesnya dengan sederhana. Pertama,
teks puisi dipahami dengan interpretasi gambar. Seorang yang ingin menubuhkan
puisi harus memulainya dengan memahami puisi tersebut. Selanjutnya dari
pemahaman tersebut, imaji/gambar apa yang mampu merepresentasikan puisi
tersebut.
Kedua,
gambar tersebut dipahami dengan garis. Bagi Mas Cindil, gambar sesungguhnya
hanya bentuk. Bentuk sendiri terdiri dari garis-garis yang saling berinergi. Dari
garis tersebut, Mas Cindil membaginya menjadi dua, yaitu garis lurus dan garis
lengkung. Berangkat dari dua garis inilah, tubuh seseorang yang ingin
menubuhkan puisi mulai dibiasakan.
Pembiasaan dapat dilakukan dengan
latihan rutin penubuhan garis lurus dan garis lengkung. Penubuhan yang dimaksud
hanya bagaimana tubuh kita meniru bentuk garis lurus dan garis lengkung. Sebisa
mungkin, pembiasaan dilakukan dengan berbagai alternatif bentuk tubuh, sehingga
kondisi tubuh menjadi lebih fleksibel.
Ketika tubuh telah terbiasa dengan
penubuhan garis, kita dapat melanjutkan ke tahap ketiga, yaitu penubuhan bentuk. Secara prinsip, sama dengan
penubuhan garis. Akan tetapi, penubuhan bentuk ini lebih rumit. Tubuh kita
dituntut untuk sebisa mungkin fleksibel dengan bentuk yang ditiru. Pembiasaan ini
dapat dilakukan dengan meniru benda-benda yang ada di sekitar kita.
Setelah penubuhan bentuk dapat
terbiasakan, kita bisa melanjutkan ke tahap keempat,
yaitu penubuhan gambar. Tidak ada beda sama sekali dengan penubuhan bentuk. Akan
tetapi, pada tahap inilah kita sudah memasuki ranah puisi. Hasil interpretasi
puisi ke gambar yang kita lakukan, kemudian ditubuhkan.
Untuk bisa ditampilkan dalam sebuah
pertunjukkan, tubuh gambar tersebut mesti menjadi lebih hidup dan mempunyai
alur cerita. Oleh karenanya, tahap kelima
adalah menggerakkan tubuh gambar. Tahap ini menuntut kita untuk membuat gambar
bergerak. Sebagaimana gambar bergerak pada umumnya, kita mesti membuat beberapa
tubuh gambar. Selanjutnya, beberapa gambar tersebut ditubuhkan secara
bergantian, dengan tempo yang diatur sesuai alur emosi cerita.
Dari penubuhan gambar-gambar tersebut,
kita akan menghasilkan satu kumpulan gerak tubuh. Kumpulan ini yang akan
menjadi modal kita untuk membuat sebuah pertunjukkan. Selanjutnya tinggal
dielaborasikan dengan napas, musik, dan tata lampu.
Kenang-Kenangan untuk
Kampus
Dari proses tersebut, saya kemudian
penasaran dengan keikutsertaan Yuda. Ternyata, dia memang ingin menubuhkan
puisi untuk uji koreografi di kampus. Kami membicarakan tentang uji koreografi
yang hanya begitu-begitu saja setiap tahunnya. Yuda ingin membuat yang berbeda,
untuk kenang-kenangannya di kampus.
Lebih lanjut, akhirnya saya mengamini
niat Yuda. Dia menceritakan konsep koreografinya dan saya diminta menuliskan
puisi untuk mengantarkan konsep tersebut. Sebenarnya alurnya sedikit lucu. Jika
Mas Cindil menubuhkan puisi dari puisi yang sudah ada, Yuda memulainya dari
pembuatan puisi tersebut. Saya harus menginterpretasikan konsep Yuda ke dalam
puisi, dan Yuda menginterpretasikan puisi saya ke gerak tubuh.
Proses tersebut memakan waktu yang lama.
Hingga akhir tahun 2018, puisi selesai saya tulis dan proses penubuhan pun
dimulai.
Tubuh-Tubuh Nontari
Saya kira, tugas saya hanya selesai pada
penulisan puisi. Ternyata tidak. Yuda meminta saya untuk ikut menari bersama
dua orang kawan yang lain, Yogud dan Gilbo. Kedua orang ini dulunya adalah
sutradara dan asisten sutradara di pementasan Negeri Langit. Katanya, Yuda dan
Ratih ingin balas dendam. Dulu, mereka menari untuk pementasan yang kami garap.
Sekarang gantian mereka yang menggarap kami dalam pementasan tari.
Menari bagi kami bertiga menjadi sebuah
hal baru. Tubuh-tubuh kami kaku dan
tidak terbiasa dengan gerak-gerak tari. Gilbo memberi penawaran atas nama tubuh
kami, yaitu tubuh nontari. Akan tetapi, ternyata memang itu yang diinginkan
Yuda dan Ratih. Kekakuan tubuh untuk menubuhkan rasa cinta yang sakit. Kami kemudian
menyepakati judul garapan, Mala Renjana.
Tidak gampang membiasakan diri untuk
menari bagi tubuh nontari. Pada awal latihan, tubuh kami kaku sekaku-kakunya. Tidak
luwes sama sekali. Meskipun kami bisa
sedikit unggul di bagian alur cerita dan vokal, karena terbiasa dengan teater. Kurang
lebih, jika saya ingat-ingat, garapan ini sedikit menggabungkan tari dan
teater.
Pertunjukkan tari pada uji koreografi
sebelum-sebelumnya, seolah tidak ada alur yang jelas. Seorang koreografer, seakan-akan
hanya memindahkan tarian-tarian daerahnya ke atas pentas. Oleh karenanya, Yuda
dan Ratih ingin membuat pementasan yang berbeda.
Proses yang kami lakukan terhitung lebih
lambat dari yang lain. Bentuk tubuh yang coba digerakkan terhitung abstrak
karena berangkat dari rasa. Meskipun rasa tersebut telah coba saya tuliskan
dalam puisi, pada beberapa bagian begitu sulit diinterpretasikan dalam gerak
tubuh. Akhirnya, beberapa bagian, kami senandungkan untuk menyiasatinya.
Tidak dinyata, perkawinan antara tari,
teater, dan puisi tersebut menjadi begitu menyenangkan. Sampai ujian akan
digelar, kami masih terus mengeksplorasi ketubuhan kami. Beberapa kali, kami
sempat tidak latihan fisik dan memilih kembali mengingat-ingat gagasan awal. Hal
tersebut kami lakukan untuk menegaskan pada titik mana kami berpijak.
Setelah ujian berhasil terlampaui,
betapa bahagianya kami ketika mengetahui apa yang kami tawarkan, mendapat
respon yang baik dari penonton. Terima kasih proses!
Posting Komentar