dokumen gelaran.id |
Bibir-bibir-bibir!
Kemarin, dalam
gegap gembita tentang perayaan Hari Kartini, yang identik dengan perempuan,
sekelompok orang menyajikan pertunjukan tentang perempuan pula, ya beginilah
jadinya hari itu, semua serba perempuan. Sekelompok orang tersebut menamai
dirinya sebagai Forum Aktor Yogyakarta, sedang pementasannya diberi judul
“Sulamin Bibir Saya, dong” sesuai judul naskah yang ditulis oleh Bintang K.
Emzita.
Pertunjukan ini
berlangsung dalam tiga babak. Pertama,
babak di mana penonton digiring untuk memasuki ruang pertama, ruang perkenalan
dengan sosok bibir perempuan—di mana seorang perempuan karir duduk sendiri
menekuni pekerjaannya. Ruang di mana penonton ramai sendiri, seolah minta
disulamin bibirnya. Ruang di mana seorang perempuan tidak peduli dengan
keperempuanan dan segala istilah yang melingkupinya. Intinya, perempuan ini,
Sara Medina (Y. Prajna Wastu) hanya ingin peduli bahwa dirinya itu perempuan
dan ia punya hak untuk melakukan segala bentuk gerak laku, bekerja sebagai bos
misalnya.
Kedua, penonton digiring
masuk ke ruang kedua, ruang yang penuh dengan bibir perempuan. Sebuah studio
televisi yang meriah dengan teriakan penonton rekayasa dan kru studio yang
menjadi pemandu sorak. Di dalam ruang ini, penonton disuguhkan dengan pendapat
beberapa orang tentang perempuan dari bibir-bibir yang berbeda, yang dikemas
dalam bentuk talkshow. Talkshow “It’s
Gracie” namanya.
Dipandu oleh
bibir Gracie Moechtar (Sulistyawati) dan Adrian Hutagalung (Ferry Harmas),
penonton menjadi satu-satunya media sekaligus konsumen dari setiap pembicaraan
mereka. Di dalam ruang ini, dihadirkan bibir-bibir lain, seperti Adelia Zara
(Adelita Anindya) sebagai representasi bibir selebgram yang ceplas-ceplos, nyerocos, dan gaul; Avi Destriana (Elisabeth Lespirita V.) sebagai
representasi bibir perempuan muda yang berbakat dan mulai tertarik dengan isu
feminisme, yang ditekuninya lewat tulisan; Katrina Sulistyawati (Siti Fauziah
Saekhoni) sebagai representasi bibir perempuan tua yang kolot dengan
ideologinya, tidak mau salah, dan memandang semua pernak-pernik kecantikan
sebagai hal negatif; dr. Pratama Sp. BP-RE (M. Yudha Pratama) sebagai representasi
bibir para kaum patriarki yang berkuasa; serta Sara Medina (Y. Prajna Wastu)
sebagai representasi bibir perempuan yang tidak mau ambil peduli dengan segala
istilah keperempuanan.
Bibir-bibir itu akhirnya
menjalani tugasnya masing-masing. Bibir satu sama lain saling beradu argumen,
bahwa perempuan itu harus cantik, bahwa perempuan itu bebas bergerak di mana
saja, bahwa laki-laki hanya bisa membantu (dalam bentuk operasi plastik
misalnya). Akan tetapi pendapat-pendapat itu saling bertubrukan dengan pendapat
lain yang mengatakan bahwa perempuan itu tidak boleh mempercantik dirinya
dengan segala pernak-pernik, bahwa pernak-pernik hanya membawa perempuan ke
kelas yang lebih rendah, bahwa perempuan masih dalam kungkungan kuasa
patriarki, bahwa perempuan sebaiknya bersikap sewajarnya dan seanggunnya.
Konsep pertunjukan
yang ditawarkan, dengan model talkshow, menarik, di mana ketika jeda (iklan)
ditunjukkan betapa rekayasa hidup itu memang benar adanya. Bibir-bibir yang
bicara tadi ternyata digerakkan oleh kepentingan masing-masing pihak. Di mana membicaraan
yang neko-neko atau kolot hanya
untuk menaikkan rating kepopuleran
individu atau pihak televisi, termasuk bagaimana kebahagiaan penonton dalam pertunjukan
ini pun direkayasa oleh kru studio yang bergerak sebagai pemandu sorak.
Akhirnya,
penonton digiring masuk ke dalam ruang ketiga. Ruang di mana realitas hidup
berlangsung. Di dalam ruang yang disulap menjadi rumah Sara Medina, seorang
perempuan tua, Ibu Elma (Tita D. Wulansari) menunggu anaknya pulang dari kerja.
Inilah salah satu risiko yang disadari oleh setiap perempuan karir, mempunyai
waktu yang terbatas untuk bisa sekadar ngobrol dengan ibu. Bangun pagi, kerja,
pulang malam, tidur, bangun pagi, ... dan seterusnya. Begitulah hidup yang
dijalani oleh Sara Medina dan Anda pasti bisa merasakan bagaimana perasaan Ibu
Elma.
Di dalam babak
ini, diperlihatkan bagaimana Ibu Elma akhirnya bisa menunda istirahat Sara
Medina untuk ngobrol barang sejenak. Ibu Elma menyoroti tentang perilaku dan
cara bicara bibir-bibir yang diundang dalam Talkshow It’s Gracie. Dibantu oleh
Anto (Hardiansyah Yoga P.), Ibu Elma mengutarakan pendapatnya yang miring
tentang bibir-bibir tadi, tanpa sadar bahwa bibirnya sendiri telah melakukan
hal yang sama. Menanggapi ini semua, Sara Medina hanya senyum, lalu memeluk Ibu
Elma, mengucapkan selamat Hari Kartini, mencium kepalanya, lalu pamit tidur.
Selesai.
Selama menikmati peran sebagai penonton
rekayasa di studio televisi tersebut, saya sadar bahwa di kanan-kiri saya duduk
seorang perempuan. Di kanan saya seorang perempuan tua, sepertinya ibu-ibu
dengan dandanan yang sederhana, dan di kiri saya seorang perempuan muda,
sepertinya nonton kekasihnya main dengan dandanan yang anggun dan menawan.
Selama pertujukkan pula, saya mendapatkan dua pandangan yang berbeda dari dua
perempuan ini. Ibu-ibu di kanan saya lebih mirip dengan Ibu Katrina, sedang
perempuan satunya mirip dengan Sara Medina. Jadi, selama pertujukkan
berlangsung, saya senyum-senyum sendiri ingat ibu di rumah, yang mirip Ibu
Elma. Ingat teman saya di kampus yang mirip Adelia Zara, ingat mantan pacar
saya yang mirip Avi Destriana. Dan terutama ingat nenek saya, yang pernah
bilang, “Wong wedhok kuwi lambene loro.”
Lalu ketika perjalanan pulang, saya membayangkan kalau saya berubah menjadi
perempuan, apa saya juga akan seperti mereka? Lalu saya tertawa.
Yogyakarta, 2017
Posting Komentar