Bahasa
dan Sastra dalam Perspektif Hermeneutik
Pendahuluan
Sampai saat ini pengertian bahasa
sebagai alat komunikasi masih kita terima, karena sebagai makhluk sosial,
manusia memerlukan adanya komunikasi dan dengan bahasa, hal itu terjadi. Namun menurut
Gadamer (dalam Bertens, 2002: 266), banyak problem tentang bahasa tidak dapat
dipecahkan, jika orang berpegang teguh pada pendirian bahwa bahasa merupakan
“alat” saja. Tentu saja, bahasa adalah suatu alat komunikasi dalam pergaulan
antar-manusia. Akan tetapi hal itu tidak boleh dianggap makna terdalam bahasa. Bahasa
adalah lebih daripada suatu sistem tanda saja.
Pendirian yang demikian, bertolak
dari adanya kata-kata dan memandang objek-objek sebagai sesuatu yang kita kenal
lewat sumber lain. Tetapi objek dan kata tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Pengalaman kita tidak mulai tanpa kata. Dalam pengalaman kita, tidak dicari
suatu kata untuk menunjukkan objek-objek yang sudah dialami. Mencari “kata yang
tepat”, tidak berarti bahwa kita mencari tanda untuk menunjukkan objek yang
sudah hadir serba lengkap, melainkan bahwa objek belum nampak sepenuh-penuhnya.
Antara kata dan benda terdapat kesatuan begitu erat, sehingga mencari suatu
kata sebetulnya tidak lain mencari kata yang seakan-akan melekat pada benda.
Demikian pun bahasa dan pemikiran bagi Gadamer membentuk suatu kesatuan yang
tak terpisahkan (Bertens, 2002: 266). Sejurus dengan Wittgenstein pada periode Language-games (mulai 1930) yang
mengungkapkan bahwa pikiran bukanlah suatu proses di balik bahasa; melainkan
terjadi dalam dan terdiri dari linguistic
behaviour (Bakker, 1984: 123).
Dalam bahasa sendiri Wettgenstein
menolak segala reduksi. Tidak dapat dikembalikan ke hanya satu struktur logis
saja, seperti ada dalam ucapan-ucapan kognitif atau deskriptif belaka. Bahasa
bukan hanya memberikan informasi, tetapi mempunyai fungsi dan makna
bermacam-macam; misalnya: bahasa doa, bahasa puisi dan seni. keberagaman ini
harus diterima sebagai fakta, dan diungkapkannya dengan istilah language-games (Bakker, 1984: 123-124).
Kata-kata tidak mempunyai arti yang pokok, tidak hanya satu arti yang saklek.
Akan tetapi arti dari kata-kata tergantung dari pemakaian dan konteksnya.
Apalagi di dalam bahasa sastra.
Di dalam sastra, bahasa mempunyai
tugas lebih dari sekadar kata-kata, tetapi juga membawa pikiran pengarang.
Dalam hal ini pembaca harus menafsirkan kata-kata untuk mendapatkan “sesuatu”
dari karya tersebut. Sebagai ilmu tafsir, hermeneutika mempunyai tugas untuk
menangkap pikiran yang ditulis atau bahkan yang dikatakan pengarang seperti
yang dia inginkan, seperti yang diungkapkan oleh Friederich August Wolf (dalam
Palmer, 2005: 91).
Pembahasan
Bahasa dalam sastra adalah
kata-kata. Bahasa tidak terutama mengekspresikan pemikiran tetapi objek itu
sendiri (Gadamer dalam Bertens, 2002: 266). Menurut Gadamer, bahasa berbicara
tentang benda-benda di dunia; tidak boleh dikatakan bahwa bahasa merupakan
suatu realitas sebjektif yang menghalangi hubungan kita dengan benda-benda.
Tentu saja tidak ada perkataan yang dapat mengungkapkan suatu objek dengan
tuntas. Akan tetapi hal itu tidak disebabkan oleh keterbatasan bahasa,
melainkan oleh keberhinggaan subjek manusiawi.
Sehingga untuk memahami atau
mengerti karya sastra, tidak semena-mena terhadap kata. Seperti yang
digelisahkan oleh Friederich Schleiermer (dalam Bertens, 2002: 260) terhadap
tulisan sejarah. Bagaimana bisa seseorang memahami apa yang jauh dari dirinya,
atau tulisan yang ditulis orang lain? Pokoknya, bagaimana bisa seseorang
memahami sesuatu yang “asing”? Seseorang bisa saja membayangkan peristiwa yang
tergambar di tulisan orang lain, tetapi tidak bisa membawa orang tersebut
merasakan kondisi yang tergambar secara mutlak. Artinya, seseorang tidak akan
seratus persen mengerti yang “benar-benar terjadi”.
Untuk mengerti teks dari masa
lampau, menurut Schleiermer (dalam Bertens, 2002: 260) seseorang harus keluar
dari zaman di mana orang tersebut hidup sekarang, merekonstruksi zaman si
pengarang dan menampilkan keadaan di mana pengarang berada saat menulis teks
tersebut. Orang tersebut harus menyamakan diri dengan pengarang asli dan
menjadi kawan sewaktu si pengarang. Jika sudah demikian, maka tidak akan
terlalu sulit untuk menjadi si pengarang (dalam bayangannya). Untuk itu
seseorang harus membayangkan bagaimana pemikiran, perasaan, dan maksud si
pengarang. Harus masuk ke dalam diri batin si pengarang agar mampu mengerti
yang yang diinginkan pengarang.
Berangkat dari sini, di kemudian hari,
Wilhelm Dilthey (dalam Bertens, 2002: 260) meneruskan dan meneguhkan
hermeneutika Schleiermer tersebut. Bagi Dilthey, tugas hermeneutika ialah
mengatasi “keasingan” suatu teks. Seorang pembaca tidak dapat mengahayati (erleben) peristiwa-peristiwa dalam teks
masa lampau, akan tetapi dapat membayangkan bagaimana orang dulu menghayati
peristiwa-peristiwa tersebut (nacherleben).
Apa yang terjadi dalam teks sejarah, sama halnya dengan yang terjadi di dalam
teks sastra. Di mana pembaca tidak akan dapat menghayati dengan seratus persen
persis dengan kemauan pengarang.
Dari Schleiermer dan Dilthey dapat
dikatakan bahwa setiap orang akan mempunyai bayangan yang berbeda-beda,
tergantung dari pengalaman hermeneutisnya. Sehingga di sini dapat dibuktikan
bahwa “kata” tidak hanya diartikan dengan “kata” itu, melainkan lebih dari itu.
Di sini pun terbaca tujuan hermeutika bagi dua tokoh tersebut, yaitu menemukan
makna asli dari teks.
Gadamer (dalam Sayuti, 2005: 36)
memandang teks sastra sebagai sesuatu yang bersifat ilusif, yang tidak memiliki
garis yang memisahkan cakrawala masa lalu dan cakrawala sekarang. Ia
menjelaskan bahwa sewaktu kesadaran historis kita menempatkan dirinya dalam
cakrawala-cakrawala historis, hal ini tidak berarti masuk ke dunia asing yang
tidak berkaitan dengan diri kita sendiri, tetapi bersama-sama membentuk suatu
cakrawala besar yang bergerak dari dalam dan, keluar dari garis batas kekinian,
mencakup kedalaman historis kesadaran kita sendiri. Sebenarnya hal ini
merupakan cakrawala tunggal yang mencakup segala sesuatu yang ada dalam
kesadaran historis.
Ilusi tersebut, “perkiraan
cakrawala historis,” merupakan suatu “frase dalam proses pemahaman” yang
penting, yang segera diikuti oleh kesadaran historis yang digabung lagi dengan “apa
yang telah dibedakan agar menjadi satu lagi dengan dirinya sendiri.” Jadi,
penggabungan cakrawala, demikian Gadamer mempertahankan, memang benar-benar
terjadi, tetapi hal itu berarti “bahwa karena cakrawala historis diperkirakan,
secara simultan cakrawala itu dipindahkan.” Dalam sikap Hegelian, kelihatan
bahwa pemahaman adalah kesadaran historis yang menjadi sadar atas dirinya
sendiri (Sayuti, 2005: 37).
Tindakan kesadaran yang diuraikan
di atas merupakan kontribusi Gadamer yang paling orisinal kepada hermeneutika
modern. Bertumpu pada hermeneutika yang sesuai dengan paradigmanya, Gadamer
menekankan bahwa setiap interpretasi secara simultan juga merupakan aplikasi (anwendung) (Sayuti, 2005: 37).
Ketika kita berhadapan dengan teks,
menurut model itu, kita masuk ke dalam percakapan dengan masa lalu; saling
memberi dan menerima, bertanya dan menjawab dalam suatu keterbukaan dengan yang
lain, yang mengarah kepada pemahaman. Oleh karena itu, aplikasi dapat
dideskrisikan sebagai suatu hal yang “menjembatani antara dulu dan sekarang,
antara “Thou” (Engkau) dan “I” (Aku) (Sayuti, 2005: 38).
Sementara Iser (dalam Sayuti, 2005:
86) memandang sastra sebagai fiksi, tidak harus dilihat sebagai oposisi
realitas, melainkan merupakan “suatu sarana yang memberitahu kita sesuatu
mengenai realitas.” Bagi Iser, bahasa sastra menyerupai cara tindakan
illokuisioner seperti diperikan dalam teori tindakan ujaran Austin (Sayuti,
2005: 87).
Dalam teori Austin, tindakan
illokuisioner melibatkan seseorang dengan sejumlah aktivitas yang umum, seperti
berjanji, memberitahu, memerintah, mengancam, mengingatkan, dan sebagainya.
Yang terpenting dalam kaitan ini ialah bahwa aktivitas tersebut memiliki efek
pontensial (illucuitonary force) dan
membangkitkan respons pada pihak penerima. Dengan mengansumsikan kejujuran pada
pihak pembicara dan asalkan pembicara dan penerima menggunakan
konvensi-konvensi dan prosedur-prosedur yang sama, maka penerima memahami force tindakan ujaran, dan selanjutnya
akan memahami “makna”-nya berdasarkan konteks situasional (Sayuti, 2005: 87).
Iser memandang bahasa sastra
seperti itu, hanya saja ada satu fungsi yang berbeda. Keberhasilan tindakan
linguistik bergantung pada resolusi terhadap indeterminasi-indeterminasi dengan
sarana konvensi-konvensi, prosedur-prosedur, dan jaminan-jaminan kejujuran.
Hal-hal itu membentuk kerangka acuan yang melaluinya suatu tindakan ujaran dapat
dilarutkan ke dalam konteks tindakan. Demikian juga dengan teks-teks literer,
yang juga memerlukan suatu resolusi indeterminasi. Hanya saja dalam kaitannya
dengan teks sastra diperlukan batasan. Karena dalam fiksi tidak terdapat
kerangka acuan tertentu yang seperti itu, pertama-tama pembaca harus menemukan
sendiri kode yang mendasari teks untuk melacak maknanya (Sayuti, 2005: 87).
Kesimpulan
Bahasa tidak hanya sebagai alat,
tidak hanya sebagai sistem tanda. Bahasa mempunyai tugas yang lebih dari itu, karenanya
bahasa tidak hanya mempunyai arti “di belakang” saja, akan tetapi bahasa
mempunyai makna yang lebih luas, lebih bebas. Sehingga untuk memahami bahasa,
tidak hanya pada tahap struktur, tetapi juga konteks yang melingkupinya.
Dalam bahasa sastra, kata-kata
membawa peran penting, karena hadir sebagai kode-kode bahasa yang mengemban
tugas untuk berpontensi menjadi makna, yang luas, sesuai interpretasi pembaca.
Dalam hal ini, interpretasi, setiap pembaca mempunyai tingkatnya masing-masing,
sesuai dengan pengalaman hermeneutisnya. Sehingga setiap pembaca mempunyai
kebebasan masing-masing dalam menafsirkan teks sastra. Tugas hermeneutika hanya
menjadi jembatan antara teks dengan pembaca.
Daftar
Pustaka
Bakker, Anton.
1984. Metode-metode Filsafat.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bertens, Kris. 2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman.
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Diterjemahkan
oleh: Musnur Hery & Damanhuri
Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayuti, Suminto A.. 2005. Teori Sastra: dari Formalisme hingga Resepsi.
Bahan Ajar.
Yogyakarta:
PNBP FBS UNY.
Posting Komentar