Khotbah di Atas Bukit dan Sepuluh Perintah Berbahagia

dokumen bolerium

Khotbah di Atas Bukit dan Sepuluh Perintah Berbahagia

Membaca Khotbah di Atas Bukit (KdAB) karya Kuntowijoyo (Pustaka Jaya, 1978), mengingatkan kita akan Khotbah di Atas Bukit Matius. Dalam kepercayaan Kristen, ada Sepuluh Perintah Berbahagia dalam Khotbah di Atas Bukit yang diberitakan Yesus. Ia memberikan petunjuk bagi orang yang beriman tentang bagaimana mereka harus memulai hidup yang benar, dan sejauh mana perjalanan iman yang harus mereka lalui sampai batas akhirnya.
Sepuluh Perintah Berbahagia yang di maksud di atas—dalam Matius pasal 5 ayat 1-12, adalah sebagai berikut:
1.   Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
2.      Berbahagialah orang yang berdukacika, karena mereka akan dihibur.
3.      Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
4.      Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
5.      Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan
6.      Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
7.      Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
8.      Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
9.      Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
10.  Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di Sorga,sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.
Dari uraian di atas, kita dapat menarik satu hal yang dapat menghubungkan novel KdAB dengan Sepuluh Perintah Berbahagia dalam kepercayaan Kristen, yaitu membicarakan tentang “kebahagiaan”. Jika dalam Injil Matius, Yesus berkhotbah di atas bukit dengan memberitakan perintah-perintah berbahagia, dalam KdAB Kuntowijoyo, melalui tokoh Barman menanyakan “kebahagiaan” itu. Kepada setiap orang yang ditemuinya, Barman menanyakan, “Berbahagiakah engkau?”. Hingga menghantui orang-orang tersebut.
Orang-orang di pasar yang memberikan gambaran orang-orang miskin, yang dalam Injil Matius, Yesus telah memperintahkan untuk berbahagia, berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga, nyatanya mereka tidak berbahagia.

“Ini bukan impian!”
“Ini benar terjadi!”
“Apa katanya?”
“Berbahagiakah engkau?”
“Ah, kita semua menderita!”
“Kita tak berbahagia!”
(KdAB,107)

Dalam artian sebenarnya, miskin di hadapan Allah adalah miskin secara rohani. Dalam Injil Matius dijelaskan jika orang-orang miskin itu tidak menemukan kenyamanan dalam dirinya, ia akan mencari pertolongan kepada Allah. Dan karena orang-orang dalam pasar menganggap bahwa Barman adalah satu-satunya orang yang berbahagia, sehingga ialah yang dianggap dapat memberikan pertolongan atau “Tuhan” bagi mereka.

“Di mana dia tinggal?”
“Laki-laki kurus yang datang malam-malam itu!”
“Aku kepingin jumpa!”
“Kepingin!”
“Apakah dia berbahagia?”
“Ya, satu-satunya!”
“Kita cari dia!”
(KdAB, 108)

Secara berombongan, orang-orang di pasar datang menemui Barman di villanya. Setiap mereka menemui orang lain di jalan yang menanyakan, apa yang hendak dilakukan rombongan, mereka kembali bertanya, “Berbahagiakah engkau?”. Dan semua hanya menjawab, “mmm,” lalu ikut bergabung ke dalam rombongan, menemui Barman dan meminta pertolongan agar mereka bisa berbahagia. Sementara, Barman sendiri sebenarnya belum tahu, apakah dirinya berbahagia atau tidak.

“Engkau tambah kurus saja, pap.”
“Ya, kurasa sedikit ringan, Popi.”
“Engkau harus banyak pikirkan kesehatanmu, pap.”
Barman menatap Popi.
“Engkau masih seperti semula, Pop.”
“Tentu.”
“Berbahagiakah engkau?”
“Tentu, sangat berbahagia.”
“Aku merasa sedang menuju ke sana, Pop.”
(KdAB, 112)

Barman tua, seorang pensiunan pegawai negeri. Laki-laki yang mempunyai masa muda  nakal, suka main perempuan, tapi di masa tua merasa tidak ada gairah lagi. Laki-laki yang merasa asing dan sendiri di kehidupan kota yang ramai. Dan menghabiskan waktu tuanya di bukit, ditemani perempuan cantik bernama Popi, yang sukarela merawat Barman tanpa imbalan apa pun. Tetapi, Barman tetap saja merasa sendiri. Ia malah sempat berpikir jika pengasingan di bukit yang diusulkan anaknya—Bobi—adalah siasat yang disusun Bobi, agar keluarganya tidak terbebani oleh Barman. Dan di bukit pun, Barman terkadang masih merasa sendiri karena Popi selalu menghabiskan waktunya di dapur. Jadi apakah Barman berbahagia?
Popi, perempuan muda cantik yang dulu adalah pelacur, menerima tawaran untuk menemani dan merawat Barman tua di bukit, dengan anggapan bahwa itu adalah salah satu cara penyucian diri. Setiap hari hanya di dalam villa, menyiapkan semua kebutuhan Barman, merawat villa, dan tidak mendapat imbalan apa pun. Dan dalam Sepuluh Perintah Berbahagia, seharusnya ia berbahagia, karena Yesus telah memberitakan hal itu. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Maksudnya orang yang lemah lembut adalah orang yang memperlakukan orang lain dengan penuh perhatian dan dengan hati yang tulus, tidak mempunyai motivasi lain yang terselubung. Seperti yang dilakukan Popi, ia rela menemani Barman dan tidak mendapat imbalan apa pun. Tapi benarkah ia sangat berbahagia?
Orang-orang pasar, penjaga malam, dan tukang sapu, yang rela mengikuti Barman ke pondoknya—sebenarnya hanya bekas rumah Humam. Setiap saat mereka tidak mau dipisahkan dengan Barman. Orang yang mereka anggap sebagai kebenaran, sebagai “Tuhan”. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Maksudnya adalah orang-orang yang mengikuti kebenaran seharusnya berbahagia. Dalam Injil tertulis, Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. (Yoh. 14:6).
“Jangan pergi, ya Bapak,” kata seorang.
“Itu tak mungkin, nak,” kata Barman.
“Kami cinta padamu, Bapak,”
“Kami mengharapkan, Bapak.”
“ Tanpa engkau Bapak, kami sendirian.”
“Kami membutuhkanmu.”
“Tidak dapat lagi kita dipisahkan.”
Barman turun dari atas kuda. Dan tangan-tangan mereka memapahnya, mendudukkannya di tanah.
“Jangan pergi, Bapak.”
“Sampai kapanpun.”
“Sampai kapanpun, nak,” kata Barman.
“Kami takut.”
“Kami gelisah.”
Barman memutuskan omongan-omongan itu, berdiri di muka pondok:
“Dengarlah. Aku tak akan meninggalkan kalian. Bersumpah!”
mereka bergumam. Menyatakan kesenangan.
“Kami senang!”
“Kami bergembira!”
“Tidak ada lagi ketakutan!”
(KdAB, 122)

Dari percakapan antara orang-orang pasar dengan Barman di atas menunjukkan sikap warga pasar, bagaimana mereka yang baru mengenal Barman, bisa sampai sedalam itu perasaannya. Bahkan laki-laki tua, penjaga malam, masih tetap terjaga ketika Barman tidur, untuk menjawab kegelisahan warga pasar yang lain.

Akhirnya semua yang perlu dikerjakan di pondok itu telah habis. Dan orangpun mulai lagi dengan lebih banyak duduk dan berbaring. Laki-lkai tua yang selalu mengikuti Barman masih rajin bekerja untuk kepentingan Barman. Meskipun Barman tak memerlukan apa-apa untuk dibantu, selalu ada laki-laki tua itu. Bila malam sudah larut dan Barman telah tidur di kamarnya, orang-orang mulai menata untuk tidur di ruang lain. Mereka diam atau berbisik-bisik.
(KdAB, 123-124)

Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Maksud perintah ini adalah bahwa orang yang berdukacita adalah orang yang senantiasa memikirkan hidup orang lain, mempunyai empati terhadap kesusahan orang lain. Dalam hal ini, si Penjaga Malam melakukannya, seharusnya ia bahagia. Tetapi apakah ia bahagia? Benarkah ia yang setiap malam menjaga pasar, tidur di sembarang tempat, tiba-tiba merasa bahagia ketika bertemu dengan Barman?
Hingga pada akhir cerita, Barman mengajak orang-orang pasar ke bukit. Di atas bukit Barman memberikan khotbah sigkat, lalu memilih pergi, bunuh diri. Apakah Barman bahagia? Mungkin tidak. Lalu, ketika orang-orang pasar kembali ke aktivitas masing-masing, si Penjaga Malam juga ditemukan mati bunuh diri. Apakah ia berbahagia? Mungkin tidak. Selanjutnya, orang-orang pasar yang sebagian ingin melarung mayat si Penjaga Malam ke laut, dan sebagian melarang dan menyerapahi mereka. Apakah mereka berbahgia? Mungkin tidak. Si Tukang Sapu, yang tidak mau lagi terkekang oleh dunia pasar, memilih pergi ke “dunia yang lebih luas” yang entah di mana. Apakah ia berbahagia? Mungkin tidak. Popi, perempuan yang ingin menyucikan diri sebagai pelayan Barman, pergi ke tempat semula—pelacuran. Apakah ia berbahagia? Mungkin tidak. Jadi, siapa yang berbahagia dalam KdAB ini? Bobi, Dosi, dan anaknya? Belum tentu. Mereka tidak ada kabar lagi. Atau malah Humam? Ya, Humam. Laki-laki tua yang mengubah hidup Barman.

Keterkaitan Khotbah di Atas Bukit Kuntowijoyo dan Khotbah di Atas Bukit dalam Injil Matius

Kuntowijoyo melalui KdAB ini ingin menuliskan kegelisahannya tentang kisah Khotbah di Atas Bukit dalam Injil Matius yang mengandung Sepuluh Perintah Berbahagia. Di dalam Injil dijelaskan jika dahulu Nabi Musa memberitakan kepada Yesus di Bukit Sinai tentang Sepuluh Perintah Berbahagia.Selanjutnya Yesus memberitakan hal yang sama kepada murid-muridnya di bukit pula. Sedangkan dalam KdAB Kuntowijoyo menceritakan bahwa Humam—Humam berasal dari bahasa Arab yang berarti “yang mulia” dan “berani”, yang bisa saja dihubungkan dengan Nabi Musa dalam Khotbah di Atas Bukit dalam Injil—memberitakan hal-hal tentang pandangan hidup kepada Barman—dalam Injil, mungkin ia adalah Yesus, di atas bukit. Kemudian, Barman mengajak orang-orang pasar—dalam Injil, mungkin mereka adalah murid-murid Yesus, yang selalu mengikutinya, ke atas bukit. Di sana Barman berkhotbah singkat, sebelum akhirnya bunuh diri.

“Ini khotbahku,” katanya.
Puncak itu hening. Suara angin yang meniup pakaian-pakaian, pohon dan barangkali rumput yang menggeliat. Tidak ada gerak-gerak. Kaki-kaki terpaku. Mulut bungkam. Dan kuda putih itu berdiri tegap, menahan tubuh Barman. Barman masih sempat mendengarkan suaranya yang memantul di pohon-pohon. Alangkah terang suaranya terdengar! Ia meneruskan.
“Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan!”
kalimat itu diucapkan dengan hampir menjerit. Sebuah teriakan laki-laki tua yang serak dan menyayat. Orang-orang terpukau. Mereka mengulang kalimat Barman, tercengang-cengang. Hidup ini tak berharga dilanjutkan! Mereka hening, seperti kabut itu juga. Pikiran-pikiran mereka yang keras. Tidak seorangpun berbisik. Mereka menantikan sesuatu.
“Bunuhlah dirimu!” seru Barman.
(KdAB, 145-146)

Setelah selesai berkhotbah, Barman terjun dari puncak bukit ke dalam jurang. Orang-orang pasar terisak. Inilah jawaban dari, “Berbahagiakah engkau?” yang diajukan Barman kepada setiap orang, termasuk pada dirinya sendiri. Terbukti bahwa ia tidak bahagia, orang-orang pasar, penjaga malam, tukang sapu, dan Popi, tidak bahagia. Atau mungkin itu cara mereka berbahagia, menemui Tuhan di kehidupan lain.
Konsep bahagia setiap manusia itu berbeda. Jadi dalam KdAB, Kuntowijoyo ingin menggambarkan, bagaimana orang-orang dari berbagai latar belakang mencari kebahagiaannya. Kebahagiaan yang sebenarnya adalah kepercayaan, adalah agama.
Jadi, berbahagiakah engkau?

PKM FBS UNY, April 2015

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama