Afrizal Malna Ingin Membuat Kampung Halaman dari Potongan Kuku

dokumen kinekeru

Afrizal Malna Ingin Membuat Kampung Halaman dari Potongan Kuku

Judul Buku       : Lubang dari Separuh Langit
Penulis              : Afrizal Malna
Penerbit            : Akademi Kebudayaan Yogyakarta Press
Tahun Terbit     : 2004
ISBN               : 979-98341-3-9

Jika Anda biasa mengoleksi perangko, postcard, sepatu, ataupun mantan, maka Afrizal Malna lebih memilih mengumpulkan potongan-potongan kuku, sebab ia ingin membuat kampung halaman dari kuku-kuku itu. Ia sudah sampai di bulan ke-9 dalam misinya ini, jadi Anda bisa membayangkan keseriusan Afrizal Malna dengan cita-citanya. Tidak hanya itu, pria botak umur 40 tahun ini tiba-tiba saja berubah menjadi seorang perempuan. Ya, tubuh Afrizal Malna berubah menjadi tubuh lain, Candi namanya.
Perempuan bernama Candi ini hidup dengan keyakinan bahwa ia benar-benar hasil metamorfosa dari Afrizal Malna. Ia sadar betul bagaimana tiba-tiba rambutnya memanjang, dadanya tumbuh menonjol, pinggulnya menonjol, dan penisnya masuk ke dalam, membuat sebuah lubang, layaknya vagina. Candi menyadari proses itu. Maka, ia pun dengan sadar menjalani dirinya sebagai perempuan.
Sebagai yang baru, maka Candi meninggalkan kota lamanya, dan pindah di dekat bantaran sungai. Di kota inilah ia menjumpai kehidupan yang sesak dengan barang-barang dan juga harapan-harapan. Di sini, ia menjumpai Neneng, Jejak, Salim, Wahid, Bayang, Sarpan, Rochim, dan para trantip, yang kesemuanya muncul secara tiba-tiba. Semua orang baru muncul dengan masalahnya masing-masing, satu demi satu seperti mewakili keadaan kota yang memprihatinkan tersebut. Sebuah kota yang penuh dengan barang tak guna, sampah, dan tidak sedap baunya. Sebuah kota yang dicanangkan untuk digusur, bahkan upaya penggusuran selalu dilakukan oleh para trantip. Sebuah kota yang dimiskinkan oleh pemimpinnya.
Afrizal Malna menyoroti kehidupan di kota itu melalui tokoh-tokohnya. Ia terkadang hadir sebagai Candi, kadang Sarpan, kadang Jejak, kadang sebagai Afrizal Malna sendiri, yang menjenguk tokoh-tokohnya dan ikut hidup di dalam ceritanya. Afrizal Malna berhasil membuat cerita di dalam novel ini hidup, seolah kehidupan tokoh adalah juga kehidupan penulis. Tidak ada batas antara fiksi dan nyata. Ini semakin membuat saya yakin, bahwa meski Afrizal Malna mengatakan novel ini fiksi, bagi saya ini tidak berangkat dari cerita yang kosong.
Kota seperti yang diceritakan oleh Afrizal Malna banyak kita jumpai di Indonesia. Bahkan masalah-masalah penggusuran, pemerkosaan, perkelahian, pembunuhan, dan pembungkaman masih sering terjadi di Indonesia. Maka, novel ini tetap relevan dibaca dan direfleksikan saat ini.
Gaya penceritaan yang khas Afrizal Malna, ceritanya pun sampai kepada pembaca meski banyak metafor dan kerunyaman gaya bahasa. Akhirnya, saya mulai mengerti kenapa Afrizal Malna ingin membuat kampung halaman dengan potongan-potongan kuku. Alasannya, karena kata Ayahnya Afrizal Malna, kuku itu terbuat dari mata orang yang telah mati. Lalu Afrizal Malna yang baru, yang berubah menjadi Candi, ingin membuat kampung halaman untuk teman-temannya yang mati di kota barunya. Membuatnya dengan mata mereka yang mejadi kuku. Membuatnya untuk mengganti kampung halaman mereka yang tergusur. Membuatnya sebagai upaya membangkitkan harapan yang terkubur.

Yogyakarta, April 2017

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama