Dea Anugrah: Formula dalam Menulis (bagian 2)
Catatan dari
workshop penulisan prosa dengan Dea Anugrah di Jual Buku Sastra
Senin, 31 Desember
2018
Fabulasi
Borges
Borges bukan manusia.
Orang Argentina dari keluarga terdidik dan keturunan Inggris. Bahasa pertamanya
adalah bahasa Inggris, bukan bahasa Spanyol. Jadi ketika membaca Don Quixote
untuk pertama kalinya, Borges membaca dalam bahasa Inggris, suka sekali. Di
kemudian hari, dia membaca dalam versi yang asli, bahasa Spanyol. Menariknya,
Borges mengatakan jika versi Spanyolnya adalah terjemahan yang tidak setia dari
versi Inggrisnya.
Dari kecil Borges tumbuh
dengan bacaan yang luas, karena keluarganya mempunyai akses ke sana. Buku
menjadi obsesinya yang terbesar, sehingga menjadi penulis yang berbeda. Tidak
seperti manusia. Bahkan masa tuanya, dia tinggal di perpustakaan. Sampai pada
titik dia sudah buta, masih tetap membaca dengan memperkerjakan seseorang untuk
membacakan buku untuknya. Borges benar-benar melandaskan kekaryaannya kepada
jalinan teks yang luas. Berangkat dari sini, Borges kemudian banyak membuat fabulasi. Sebuah cerita yang dibuat dari
cerita lain, mengambil beberapa bagian, ditambah dan dibuang sesuai
keinginannya, sehingga berubah menjadi cerita yang lain. Atau bisa juga disebut
cara kerja jaringan antarteks.
Bermodalkan
pengetahuannya yang luas, Borges sangat lihai menulis cerita yang bisa membuat
pembacanya penasaran dan bingung. Terkadang, Borges menuliskan hal-hal yang
benar ada dan terkadang hal-hal yang diciptakannya sendiri. Di sini, Borges selalu
berhasil membuat pembacanya bertanya, kapan Borges menyatakan kebohongan atau
kebenaran.
Jus
ala Bukowsky
Setiap kalimat yang
ditulis harus ada jusnya, begitu kata Charles Bukowsky. Bagi penulis yang
banyak berproses di jalanan ini, tulisan itu seperti daging yang ketika digigit
akan terasa juice, seperti meleleh.
Setiap tulisan harus berisi. Namun, tidak semua penulis baik seperti ini.
Keliaran
Bulańo
Suatu waktu, Bulańo
ditanya oleh wartawan, “Orangtuamu mengajarkanmu membaca dari kecil, ya?”
pertanyaan itu dilontarkan karena meihat Bulańo yang wawasannya sangat luas.
Jawaban Bulańo sangat mengejutkan. Tentu
saja tidak. Dari ibu, saya mewarisi selera buruk dan dari ayah saya mewarisi
tiga ratus tahun buta huruf. Ibunya Bulańo suka membaca, tapi bacaan romance, seperti perempuan ketemu tukang
kayu dan terjadilah percintaan panas. Jadi Bulańo belajar secara otodidak,
menemukan teks kuncinya dan mengembangkannya sendiri.
Roberto Bulano menulis
dengan kalimat-kalimat yang panjang sekali untuk membuktikan bahwa ia bisa
menuliskannya. Kalimat-kalimat majemuk yang dituliskan Bulano di beberapa
bagian terasa terbelah, tapi tidak mengganggu.
Pada masanya Bulańo
bersama teman-temannya adalah penyair yang menolak penyair-penyair seperti
Pablo Neruda. Menurutnya, puisi Amerika Latin terlanjur dilekatkan dengan
penyampaian yang berbunga-bunga, indah, dan melembutkan hati. Kemudian mereka
berkiblat kepada Nicanor Parra yang jauh berbeda dengan Neruda. Nicanor Parra
terkenal dengan antipuisi. Puisi-puisinya melucu dan mengatakan hal-hal
ofensif. Bulańo dan teman-temannya melilih dengan sadar rujukan kepada Parra.
Jadi, selama seseorang menjadi pembaca yang baik, akan bisa menjadi penulis
yang baik.
Menelusur
Penulis-Penulis Baik
Sekali lagi, tidak ada keharusan
menulis seperti apa. Yang lebih penting, seorang penulis yang baik harus
menjadi pembaca yang baik. Untuk mengetahui bagaimana cara menulis yang baik
tergantung bagaimana pengalaman membacanya yang baik.
Ketika membaca satu buku
yang baik, bisa kemudian menelusur keterpengaruhan pengarang tersebut dari
siapa. Kemudian, dari pengalaman-pengalaman membaca itu, akan terbentuk sebuah
sistem yang mengantarkan pembaca kepada cara menulis yang baik.
Satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah tidak ada orisinalitas. Meskipun begitu, tidak menutup
kemungkinan akan melahirkan kekhasan masing-masing penulis. Ibaratnya, ketika
dua orang ingin meniru satu penulis yang baik, besar kemungkinan akan
melahirkan dua karya yang berbeda. Hal itu tergantung pada bagian mana kedua
orang ini meniru penulis tersebut. Hal-hal yang kemudian menjadi berbeda,
sekali lahgi, tergantung pada sejarah pembacaannya. Semakin banyak orang
membaca, maka semakin banyak kemungkinan dirinya menuliskan hal lain.
Menggabungkan
Kanon dan Pop
Selama ini anggapan
tentang pop dan dan kanon berseberangan. Seorang penulis pop dianggap tidak
akan bisa menulis kanon, begitupun sebaliknya. Namun, Kurt Vonnegut pada
zamannya dihargai oleh kalangan penulis sastra yang mempunyai nilai “sastra”.
Artinya, tulisan Vonnegut bisa dibahas di kalangan akademik dan sesuai dengan
kanon. Tidak hanya itu, Vonnegut pun dihargai oleh pembaca pop, pembaca bacaan
murah, karena dia berhasil menggabungkan itu semua. Vonnegut berhasil
menulisankan gagasan-gagasannya sebagai pengarang ke dalam bentuk tulisan pop.
Selain Vonnegut, Murakami
pun berhasil melakukan itu. Meskipun ada yang menganggapnya sepele, tapi
karya-karyanya bisa dihargai di kalangan akademisi. Murakami sebagaimana
Vonnegut, berhasil menggabungkan populer dengan “sastra”.
Penulis
yang Baik adalah Pembohong yang Baik
Seorang pembohong yang
baik akan memulai cerita dengan sebuah kebenaran. Ketika seseorang mengatakan
kebenaran terus menerus dan di titik tertentu mengatakan kebohongan, maka
kebohongan itu tidak akan kelihatan.berbeda ketika seseorang mengatakan
kebohongan sejak awal, tidak aka nada yang mempercayainya. Begitulah cara kerja
pembuat hoax atau praktisi hipnosis. Keduanya akan memulai dari fakta dan
kemudian memasukkan kebohongan atau hal baru yang dikarangnya.
Penulis yang baik akan
melalukan hal itu, sehingga pembaca akan dibawa pada kepercayaan bahwa yang
dituliskan oleh penulis adalah sebuah kebenaran. Hal itu akan berimbas kepada
ketertarikan pembaca. Seorang pembaca tidak akan meneruskan/menyelesaikan
bacaan, jika sejak awal sudah berisi kebohongan.
Menulis
itu Bukan “Apa”, tapi “Bagaimana”
Cerita tentang sejarah
’65 akan sama menariknya dengan cerita tentang seorang yang kesulitan membuka
tutup botol. Semua ini tergantung bagaimana cara menuliskannya. Oleh karena
itu, sesuatu yang penting, belum tentu menjadi bagus jika diceritakan dengan
cara yang kurang baik. Cerita apa pun.
Cerita tentang Wiji
Thukul yang kemudian difilmkan dalam Istirahatlah
Kata-Kata itu penting sebagai hal baru. Akan tetapi, sekali lagi, hal itu
belum tentu bagus. Sementara kebagusan karya hanya bisa diukur berdasarkan
kualitas artistiknya. Kemudian, kualitas artistik ini adalah tentang bagaimana
hal penting itu diceritakan. Dua hal yang menjadi penting dalam cara menceritakan
ini adalah ritme dan citraan (imagery).
Tidak penting isinya tentang apa.
Dalam film Seven Psychopaths adegan dibuka dengan
obrolan dua orang berjas seperti mafia di pinggir sungai. Obrolan mereka
tentang, “Menurutmu ada, nggak, sih, orang yang ditembak di bola matanya?” “Oh,
ada, itu adalah Moe Greene dalam novel GodFather.” “Bukan. Aku sedang
membicarakan orang dalam kehidupan nyata.” “Tapi dia ditembak di bola matanya.”
Kemudian tiba-tiba dari belakang muncul seseorang yang menembak kedua orang itu
di bola matanya.
Cerita dalam film
tersebut mungkin terlihat absurd. Namun, hal itu menjadi penting dalam ekosistem
cerita film tersebut, karena mafia-mafia sekarang ini banyak yang merujuk
kepada GodFathers yang hanya fiksi.
Dalam serial The Sopranos pun begitu. Mafia-mafia
modern diceritakan ketika sedang berkumpul sering menirukan adegan-adegan dalam
GodFathers sebagai bahan bercandaan. Hal itu menarik karena rujukan-rujukan
kepada film sebelumnya tersebut tidak dipaksakan.
Dengan menjadikan
“bagaimana” yang utama, akan ada banyak cara menyampaikan sesuatu. Seperti dalam
karya Gabriel Garcia Marquez, Autumn of
The Patriarch, diceritakan seorang presiden yang otoriter dan ditakuti. Saking ditakutinya, ketika sang presiden
mati, tidak ada yang tahu. Orang-orang tahu kematiannya ketika ada sapi-sapi
yang menerobos masuk rumahnya dan makan gorden. Marquez tidak mengatakan kalau
semua orang takut kepada presiden. Marquez cukup menceritakan bagaimana
orang-orang tidak tahu kematiannya. Dengan ketidaktahuan orang-orang itu, dapat
dipastikan semua orang takut kepada presiden. Cara-cara seperti ini sering
luput dari penulis-penulis yang hanya memikirkan “apa” yang akan dituliskan.
Ketika seorang penulis
hanya memikirkan “apa” yang hendak ditulis tanpa mempertimbangkan “bagaimana”
cara menuliskannya, maka tulisan tersebut tidak akan lebih menarik dari data
aslinya. Misalnya, ketika hendak menuliskan tragedi ’65, sudah pasti harus
melakukan riset yang baik. Akan tetapi, hasil riset tersebut harus disampaikan
dengan cara yang baik pula, terlebih di dalam fiksi. Salah satu contoh novel
yang gagal mengangkat tragedi ’65 adalah Pulang
karya Leila S. Cudhori. Novel tersebut jelas tidak lebih menarik dibandingkan
dengan hasil penelitian sejarawan tentang hal yang sama. Padahal, karya fiksi
seharusnya mampu memberi tawaran lain dalam penyampaian ceritanya. Itulah
pentingnya “bagaimana” di dalam menulis cerita.
Seorang penulis Chili,
Alejandro Zambra, menulis tentang bonsai. Apa yang menarik tentang bonsai, si
pohon cebol itu? Pertanyaan itu akan
hadir di pikiran pembaca awal, namun setelah membacanya, sebagian orang akan
berpikir untuk kemudian memelihara bonsai. Tulisan yang baik adalah tulisan
yang mempunyai kapabilitas untuk memalingkan wajah pembaca kepada sesuatu yang
tadinya tidak dianggap penting.
Novelis Mexico, Mario
Bellatin, menulis tentang salon bencong yang hobinya memelihara ikan di
akuarium. Setting ceritanya adalah
orang-orang yang terserang penyakit. Setiap ada orang yang mati, dia akan
membuang satu ikan dari akuarium. Dia bilang, dalam situasi itu, nyawa manusia
dan ikan tidak ada bedanya, sama-sama tidak bernilai. Dari cerita ini, pembaca
akan teralih pada ketertarikan terhadap ikan di akuarium, yang bagi sebagian
orang pada awalnya tidak begitu penting, terlebih sebagai setting. Di sini yang menjadi lebih penting adalah “bagaimana”
menceritakannya, bukan “apa” yang diceritakannya.
(bersambung ke postingan berikutnya)
Posting Komentar