Dea Anugrah: Formula dalam Menulis (bagian 1)
Catatan dari
workshop penulisan prosa dengan Dea Anugrah di Jual Buku Sastra
Senin, 31 Desember
2018
Tidak
Ada Panduan Baku dalam Menulis
Dari dulu tidak ada panduan
baku tentang cara menulis, jadi tidak ada ketentuan menulis A baik, menulis B
buruk. Kurt Vonnegut, penulis Amerika, pernah membuat esai beberapa poin
tentang bagaimana menulis yang baik. Banyak yang dituliskan oleh Vonnegut,
salah satunya, mulailah menulis sedekat
mungkin dengan ending. Misalkan hendak
menulis tentang anak sekolah, jangan mulai dari anak itu bangun tidur, mandi,
sarapan, berangkat, dan lari-lari ke sekolah. Jangan. Mulailah sedekat mungkin
dengan ending, dari tengah. Vonnegut
menjabarkan beberapa poin setelahnya dan di akhir, dia menuliskan, ada satu penulis yang aku kenal, dia
melanggar aturan yang sudah aku tuliskan
di atas, dan dia adalah penulis terbaik di zamanku, namanya Flannary O’Connor.
Dari sini bisa dilihat, memang ada panduan dalam menulis, tapi tidak menutup
kemungkinan ada cara yang lain. Tidak ada formula baku.
Di dalam kebanyakan kelas
kepenulisan, biasanya ada satu buku rujukan yang sebenarnya sudah cukup lama, The Elements of Style karya William
Strunk Jr. Di dalamnya, ada beberapa tips penulisan, semisal, menulislah dengan kalimat aktif, bukan
kalimat pasif, karena kalimat aktif mengesankan tindakan, mengesankan action.
Jika diperhatikan,
rata-rata buku-buku detektif atau petualangan, isinya kalimat aktif semua.
Karena mengesankan tindakan, maka pembaca akan mengikuti aksi tersebut, seolah
terlibat. Namun, ada persoalan dalam kasus ini. Jika semuanya dipaksakan bentuk
aktif, akan bermasalah. Semisal kalimat Ibrahim
menyembelih kambing yang dikirimkan Tuhan untuk menggantikan
anaknya, jika dipaksakan aktif semua, Ibrahim
menyembelih kambing yang Tuhan mengirimkannya kepada dia. Kalimat
kedua hasil gubahan dari pasif ke aktif menjadi lebih sulit dibaca. Jadi
sebenarnya banyak tips menulis yang tidak harus diterapkan. Inilah kesulitannya
kalau mengharuskan satu jawaban final tentang panduan baku dalam menulis.
Ernest Hemingway pernah
mengatakan, menulislah dengan kata benda
dan kata kerja, hindari keterangan/adverb dan kata sifat/adjective. Akan
tetapi, Hemingway sendiri pada bagian tertentu menggunakan kata sifat dan
keterangan. Tidak bisa menulis hanya dengan kata benda dan kata kerja. Ada saat
di mana Hemingway butuh mengatakan, lampunya
terang sekali atau lantainya putih sekali. Kata sekali
di dalam kalimat tersebut, mempunyai efek yang tidak tergantikan. Jadi ada
tarik-ulur antara mematuhi atau tidak mematuhi aturan dari sebuah panduan
menulis yang diberikan seseorang. Sekali lagi, tidak ada formula baku dalam
menulis.
Cara
Kerja Dea Anugrah
Dea Anugrah, ketika
membuat deskripsi selalu membayangkan kalimat-kalimat yang dituliskan bekerja
sebagaimana mata kamera, menangkap satu gambar, kemudian bergeser ke gambar
lain, seperti seseorang yang sedang menonton film. Misalnya, ada gambar
seseorang lari ke arah kamera, cut,
berganti ke gambar harimau lari ke arah kamera, maka dalam pikiran semua orang
akan tergambar seseorang yang sedang dikejar harimau. Semisal sebaliknya, maka
hasilnya adalah seseorang yang sedang mengejar harimau. Cara kerja kamera yang
seperti itu bisa diterapkan dalam menulis, terutama untuk menciptakan citraan
visual di kepala penulis saat menggambarkan sesuatu. Cara kerja kamera yang
bisa diatur, membuatnya lebih leluasa untuk bergerak, seperti menyamping atau
potong-potong. Ada beberapa penulis yang deskripsinya antara satu kalimat ke
kalimat lain sering lompat-lompat. Ada macam-macam cara.
Kalimat pasif, yang
sempat disinggung di awal, dibutuhkan ketika kamera yang bekerja itu diam.
Ketika penulis hendak mendeskripsikan objek, bukan pelakunya. Dari contoh
kalimat, Ibrahim menyembelih kambing yang
dikirimkan Tuhan untuk menggantikan anaknya, terdapat dua gambar. Pertama,
gambar aktif, Ibrahim yang menyembelih. Kemudian bergeser ke gambar diam/pasif,
kambing yang dikirimkan Tuhan.
Pentingnya
Deskripsi
Di dalam menulis, hal
dasar yang harus dikuasai adalah kalimat, sedangkan fungsi kalimat yang
mendasar adalah deskripsi. Deskripsi tidak hanya berlaku untuk setting, tapi bisa untuk menggambarkan
tindakan dan pikiran tokoh. Ketika deskripsi sudah dikuasai, maka fungsi-fungsi
kalimat yang lain akan menyusul dengan sendirinya. Itulah mengapa deskripsi
menjadi penting.
Hemingway
Memakai Cara Kerja Kamera
Melalui salah satu
cerpennya, “Hills Like White Elephats”, bisa dilihat bagaimana Hemingway
memanfaatkan cara kerja kamera dalam ceritanya. Cerpen tersebut menceritakan
dua orang, laki-laki dan perempuan, yang duduk di kafe stasiun dan sedang
bertengkar. Tidak bahasan yang spesifik tentang pertengkaran tersebut. Hingga
di akhir, baru terbaca jika keduanya mempermasalahkan perihal aborsi.
Menariknya, Hemingway tidak menggunakan dialog-dialog yang mengarah kepada
aborsi. Tokoh laki-laki dalam cerpen tersebut, lebih kepada mengatakan, “Apa
pun yang terjadi, aku tetap mencintaimu. Semua ini perlu kamu lakukan demi
kebaikan kita bersama.” Sementara tokoh perempuannya terlihat ragu-ragu.
Kemudian tiba-tiba beranjak dari kursi, jalan ke peron, dan kembali duduk.
Ketika tensi cerita naik, Hemingway memasukkan deskripsi setting. Kalau dibayangkan sebagai adegan film, Hemingway seperti
menggeser gambar dari shot dua orang
tersebut ke arah tirai bamboo, kea rah perbukitan di kejauhan. Oleh karenanya,
dengan memahami cerita sebagai cara kerja kamera, akan lebih mudah untuk
menganalisis sebuah cerita yang dituliskan oleh seorang penulis.
Percaya
kepada Pembaca yang Cerdas
Pembaca itu cerdas.
Itulah yang perlu ditanamkan di dalam diri semua penulis, sehingga ketika
membuat deskripsi, seorang penulis yang baik tidak perlu bertele-tele
menjelaskan banyak hal.
Hemingway ketika menulis Farewell to Arms, membukanya dengan
konvoi tentara yang panjang sekali, dengan kalimat-kalimat yang panjang. Akan
tetapi, Hemingway tahu kapan harus menggunakan one liner, satu kalimat pendek saja. Yang mana kalimat pendek itu mempunyai
efek yang besar sekali.
Dalam karya lain, “Cat in
The Rain”, Hemingway hanya menceritakan sepasang suami istri di kamar hotel.
Suami yang sibuk sendiri dan istri yang berdiri di pinggir jendela. Sang istri
melihat kucing kehujanan di bawah dan membuatnya gelisah. Ia terus
mondar-mandir. Sang suami tetap sibuk membaca majalah. Kemudian sang istri
turun ke bawah, meminjam payung ke pengurus hotel dan ingin mengambil kucing
itu. Dari dalam kamar sampai di bawah, sang istri terus mengatakan, “Kasihan sekali
kucingnya kehujanan”, “Kasihan sekali kucingnya kecil lemah, tidak berdaya,
tidak ada yang merawat, dan kehujanan.” Namun, suaminya tetap diam saja, tidak
memberi tanggapan. Ketika sampai di bawah, kucing tersebut sudah tidak ada.
Kemudian sang istri kembali ke kamar dan mengatakan hal yang sama.
Sepintas, cerita tersebut
tidak menggambar apa pun. Akan tetapi, jika diteliti sebenarnya cerpen itu
menceritakan hubungan suami-istri yang sudah tidak bekerja. Kucing kehujanan
yang dibicarakan oleh sang istri adalah dirinya sendiri.
Hemingway memang
menyembunyikan cerita asli di dalam cerita yang ditulisnya. Akan tetapi pembaca
bisa mengetahuinya dengan membaca baris-baris yang dituliskan Hemingway
tersebut. Di titik ini seorang penulis yang baik adalah penulis yang percaya
bahwa pembacanya tidak lebih bodoh dari dirinya. Di samping itu, seorang
penulis yang baik harus percaya dengan kemampuannya sendiri, tidak ragu-ragu
dalam menuliskan gagasannya.
Hemingway dikenal sebagai
penulis dengan teknik menghilangkan bagian-bagian tertentu dalam cerita atau omisi. Hemingway mengibaratkan cerita
sebagai gunung es. Cerita yang ditampilkan hanyalah permukaan gunung es,
padahal cerita aslinya adalah apa yang ada di dalamnya, yang begitu besar.
Untuk mencapai titik ini, seorang penulis harus benar-benar memahami apa yang
hendak disampaikannya, sehingga dengan mudah dapat melakukan teknik omisi tersebut.
(bersambung ke postingan selanjutnya)
Posting Komentar