Cara Joko Pinurbo Mengasuh Puisi


Cara Joko Pinurbo Mengasuh Puisi
(disarikan dari “Millennials Talk” bersama Joko Pinurbo di JEC tanggal 10 April 2019)

Saya tidak menemukan penyair yang tertarik menuliskan tentang kegiatan-kegiatan domestik, misalnya kegiatan di dapur, celana, sarung, dan  kamar mandi. Akhirnya saya menemukan dan memutuskan untuk menuliskan celana, karena memang belum ada yang menuliskan. Akhirnya di tahun 90-an, saya merevolusi proses kreatif, menuliskan objek-objek yang kekinian dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Di tahun 90-an, saya dan sebagian besar masyarakat Indonesia sedang keranjingan memakai produk celana jeans. Ada satu stigma yang mengatakan, jika tidak memakai celana jeans, itu tidak keren atau ketinggalan zaman dan tidak eksis. Sejak saya menulis puisi “Celana”, saya mulai gemar memakai celana jeans, bahkan sampai sekarang. Saya seolah mengikuti karya saya sendiri.
Di dalam hal ini, sebenarnya saya ingin mengatakan, untuk menjadi pengarang yang awet itu berat. Dibutuhkan mentalitas yang kuat, ketekunan, dan ketelitian. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah kemampuan membaca tanda-tanda atau situasi zaman. Sejak menemukan “celana”, saya seperti sudah menemukan rahasia bagaimana agar bisa produktif dalam waktu yang panjang. Rahasianya, ya itu, kemampuan membaca perkembangan zaman.
Pada waktu saya menulis puisi “Celana” mungkin puisi saya terasa aneh dan ganjil, karena umumnya orang terbiasa menulis tentang senja, hujan, dan kopi. Sebenarnya tema kehidupan manusia itu tidak ada yang baru. Yang bisa kita perbarui hanyalah cara penyampaiannya. Selain itu, saya juga menemukan gaya penulisan yang membuat saya nyaman ketika berpuisi. Sebelumnya, saya mencoba meniru-niru menjadi Sapardi yang lain, Chairil yang lain, ternyata susah. Saya tidak menemukan karakter saya sendiri. dengan puisi “Celana” ini, saya merasa telah menemukan gaya sendiri. saya menggunakan gaya naratif yang dipadukan dengan humor, karena yang ingin saya serap adalah gaya komunikasi orang Jogja, tempat saya hidup.
Jika kita ingin menjadi penyair dan hanya menuliskan tentang senja, hujan, rindu, dan kopi, itu tidak akan menarik, karena pernah ditulis oleh banyak penyair lainnya. Kita harus cermat menangkap objek-objek yang menarik untuk generasi kekinian ini, apa? Pada tahun 90-an, saya menemukan fenomena itu, bagaimana orang Indonesia keranjingan celana jeans, misalnya. Meskipun saya termasuk penyair yang dilahirkan di zaman old, saya terus mencoba beradaptasi dengan perkembangan zaman. Puisi “Celana” saya sebenarnya kan bertema klise, tentang pencarian jati diri manusia. Sudah pasti ditulis oleh semua penyair. Akan tetapi, saya menggunakan peralatan yang beda.
Pada tahun 2000, masyarakat Indonesia dikenalkan dengan produk teknologi komunikasi, yaitu hape, ponsel, telepon genggam. Pada tahun 2000-an, ponsel yang dulu sederhana semakin canggih dengan hadirnya telepon pintar. Pada saat itulah, saya juga menulis kumpulan puisi yang berjudul “Telepon Genggam”.
Dulu, telepon genggam ini diciptakan manusia agar bisa mengatasi kesepiannya. Akan tetapi, saya justru menemukan, premis saya tentang telepon genggam, semakin manusia memiliki fasilitas komunikasi yang canggih, ternyata semakin mudah kesepian. Akan tetapi, bentuk kesepiannya itu bermetamorfosis, berubah. Oleh karena itu, ada puisi saya yang berbunyi, sepi semakin modern. Sepi itu tidak lenyap, tidak dilenyapkan oleh telepon genggam kita, tapi diubah bentuknya menjadi sangat bervariasi.
Pada zaman sekarang, kita tidak perlu tergantung dengan penerbit besar, karena kita sendiri bisa membuat penerbitan. Meskipun pernah ada kritik keras terhadap karya sastra di media sosial, yang dianggap sampah. Akan tetapi, saya pernah membuktikan. Saya pernah membuat satu kumpulan puisi melalui akun Twitter.
Menulis di media sosial, akan memberikan dua keuntungan sekaligus kepada kita. Pertama, kita akan tertantang berdisiplin, karena karya kita selalu ditunggu oleh pembaca. Kedua, kita sekaligus telah melakukan promosi karya kita. Oleh karena itu, di tahun 2012-2014, saya rajin memposting puisi pendek di Twitter. Setelah saya bukukan, anehnya mendapat penghargaan. Padahal, stigma tentang karya di media sosial adalah sampah, masih melekat di benak sastrawan serius. Nyatanya, puisi-puisi saya, yang kemudian saya sunting dan bukukan dengan  judul “Surat Kopi” mendapat penghargaan. Selain itu, ternyata cukup diminati. Kita harus kreatif menggunakan media sosial untuk mengembangkan kekaryaan kita.
Dulu, saya mencari-cari penerbit, tapi sekarang penerbit yang mencari saya. Sekarang, dengan sedikit “sombong”, saya bisa pilih-pilih penerbit. Dulu, pengarang itu seperti pengemis yang meminta-minta, sekarang sudah terbalik posisinya. Kalau kita kreatif, pasti akan dicari oleh penerbit.
Permasalahan penyair muda hari ini mungkin karena kurang bisa beradabtasi dengan zaman, kurang bisa menangkap zaman. Padahal, saya yang lahir di zaman old saja berusaha menangkapnya dan mempunyai energi semangat yang mungkin jauh lebih muda dari penyair muda-muda. Seharusnya penyair muda hari ini lebih peka terhadap perkembangan zaman dan berani untuk bereksplorasi dengan objek-objek yang ada.

Sastra di Era Millenial
Saya justru melihat, industri sastra hari ini, industri kata-kata, mendapatkan momennya yang sangat bagus. Saya melihat industri sastra semakin berkembang dan banyak peluang yang bisa dimanfaatkan. Bukan hanya menjadikan sastra sebagai hobi, tapi juga sebagai sumber ekonomi. Mau tidak mau, memang zamannya seperti itu. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan, kita bukan hanya kreatif dalam menulis, tapi juga kreatif mengemas dan menampilkan karya kita. Sebagai contoh adalah saat ini banyak anak muda yang mempunyai komunitas atau akun media sosial untuk menampilkan karya sastra dari berbagai pengarang Indonesia, tapi dengan kemasan yang sangat menarik, dengan penambahan unsur visual atau audio-visual. Mereka mendapat penghasilan dari situ, karena ditentukan oleh rating.
Ada satu akun media sosial yang mengemas kutipan puisi dari berbagai penyair secara menarik dan rajin mengunggah setiap hari. Ditambah lagi, ternyata banyak yang suka dan banyak yang “klik”, sehingga bisa mendatangkan iklan. Apalagi kalau dikemas dalam bentuk audio-visual, itu lebih menarik lagi. Jadi ada pencipta karya, dan ada penjaja karya. Penjaja ini tidak menciptakan, tapi memang menjajakan karya orang-orang dengan cara demikian tadi. Puisi saya sering dipakai, dikutip dan dijajakan, baik dalam bentuk visual atau audio-visual.
Saya sering mendapati video pembacaan puisi saya, dan bahkan percakapan saya dengan Sapardi yang dimoderatori oleh Najwa Shihab, begitu laris dan diminati. Yang mendapat uang, bukan saya atau Sapardi, tapi yang punya akun. Saya tidak terlalu masalah, karena sudah terlampau sering menemuinya. Lebih sering lagi, saya tahunya belakangan. Misalnya, saya sering menemukan orang memakai kaos yang bertuliskan kutipan puisi saya. Alih-alih diberi hak ekonomi, saya diberi tahu saja tidak, tapi tidak masalah selama masih menyantumkan nama. Saya menganggapnya sebagai ibadah saya. Syukurlah kalau karya saya bisa membantu orang-orang. Di samping itu, saya juga punya rasa senang, karena dengan begitu, karya saya semakin dikenal. Di kemudian hari, ketika saya menerbitkan buku, orang-orang sudah tahu nama dan karya saya, sehingga tertarik untuk membeli.
Ingat, usia tua dan muda bukan masalah angka, tapi masalah sikap kita. Saya sejak dulu, selalu mencoba menangkap sesuatu yang baru dan menampilkannya dengan cara yang berbeda. Belakangan ini, saya tertarik menuliskan puisi-puisi tentang bahasa Indonesia, karena saat ini orang Indonesia inferior dengan bahasanya sendiri. Di dalam buku kumpulan puisi “Latihan Tidur”, saya menuliskan satu bab khusus yang berisi puisi-puisi tentang bahasa Indonesia. Saya berharap, ketika orang-orang Indonesia membaca buku itu, mereka tercengang kalau ternyata bahasa Indonesia sangat indah dan kaya.

Membincangkan Hak Cipta
Hak cipta bagi seseorang seperti saya, yang menggantungkan hidup hanya dari menulis, sebenarnya sangat penting. Di luar negeri, pengutipan yang bertujuan untuk komersil, sekecil apa pun, pengarang akan mendapatkan haknya. Sayangnya, negara kita belum terbiasa seperti itu. Di satu sisi, saya kecewa karena terus-menerus dicomot untuk komersil karya-karya yang saya tulis, tanpa izin. Meskipun masih menyantumkan nama, terkadang saya menghibur diri sajalah. Saya anggap itu sebagai ibadah. Akan tetapi, saya kira, ke depannya, kalau pemerintah mau serius mengembangkan ekonomi kreatif pengarang, budaya seperti comot-mencomot itu tidak bisa dipertahankan.
Novel pertama saya, yang hari ini beredar, Srimenanti, memuat beberapa kutipan puisi penyair Indonesia. Saya dan penerbit meminta izin resmi kepada penyair-penyair tersebut dan memberikan nomor bukti terbitnya. Saya sendiri sering mengalami dicomot tanpa izin, jadi saya ingin konsekuen menghargai hak cipta orang lain dengan cara yang seharusnya. Saya tahu, untuk membuat karya itu pengorbanannya besar. Misalnya, saya saja, untuk menulis satu bait puisi, memerlukan beberapa cangkir kopi dan batang rokok.
Saya tidak bermasalah ketika tidak bertujuan untuk komersil atau tujuannya malah untuk sosial. Tidak apa-apa. Misalnya, ada yang mengutip puisi saya tentang agama untuk mewartakan kedamaian. Atau mahasiswa-mahasiswa yang memusikalisasi puisi saya, itu kan bukan untuk komersil. Jika untuk komersil, seharusnya ada penghargaan kepada penyairnya. Penyair kan juga punya keluarga yang mesti dihidupi.
Yang mesti dikembangkan di Indonesia adalah tradisi menghargai kekayaan intelektual supaya ketika orang berkarya tidak ada ketakutan untuk disalahgunakan. Untuk sementara ini, sekali lagi, kita anggap saja sebagai ibadah.

Tantangan Pengarang Hari Ini
Manusia hari ini sudah diperbudak oleh teknologi informasi dan komunikasi. Setiap saat selalu ada kebutuhan untuk berkomunikasi. Misalnya, ketika kita chat seseorang dan tidak langsung dijawab, bisa jadi kita marah. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengarang, yang tidak mungkin diatasi. Bagaimana pun, pengarang membutuhkan saat-saat hening untuk merenung dan berkontemplasi. Saya melihat problem para pengarang zaman sekarang, yaitu tidak bisa menyisihkan waktu, menyediakan waktu untuk bersunyi-sunyi sendiri. karena tanpa pengendapan, tanpa kontemplasi, kita tidak mungkin menghasilkan karya yang bagus, yang mendalam. Saya melihat, sejauh pengamatan saya, para pengarang generasi millennial tidak mudah menemukan saat-saat hening di dalam hidup kesehariannya, karena telah didikte oleh gawai. Benda ini di satu pihak menjadi berkah, tapi di pihak lain membubuh daya kreatif kita. Untuk bisa kreatif kan seseorang butuh relaksasi batin.
Saya melihat semakin banyak pengarang yang tidak bertahan dalam proses yang lama, yang memerlukan pengendapan, karena ada kebutuhan untuk selalu berkomunikasi. Oleh karena, begitu sulit untuk mengenali dirinya sendiri, mengenali identitasnya sendiri. sekarang ini, sangat jarang anak muda yang berminat untuk kembali ke akar tradisi, untuk mengenali identitasnya, karena gawai memang telah membawa mereka ke dunia antah berantah. Padahal, menurut saya, pengarang yang hidup di zaman millennial, tetap perlu menggali asal mula, kembali ke rahim budaya melalui pengenalan terhadap unsur-unsur lokal, dan itu sampai sekarang masih saya lakukan. Akhirnya, saya tidak kehilangan keseimbangan.

Cara Jokpin Menulis
Bagi saya, menulis puisi itu 25% draft dan 75% penyuntingan. Draft itu sifatnya masih sangat sementara, hanya seperempat. Tiga perempat sisanya itu adalah penyuntingan. Salah satu hal penting yang harus disunting adalah koherensi. Cara saya menciptakan koherensi adalah dengan menulis draft serampungnya. Kemudian, saya bongkar pasang dan saya tulis ulang. Proses penyuntingannya bisa terjadi puluhan kali, tapi yang pertama kali memang koherensi, kepaduan. Biasanya, saya mencoret kata-kata yang membuat puisi itu terbaca tidak fokus pada satu gagasan. Akan tetapi, jangan memaksakan diri menulis puisi yang koheren sejak awal. Itu begitu sulit. Jadi tuliskan saja draftnya dan suntinglah.
Setelah koherensi selesai, langkah selanjutnya yang biasa saya lakukan adalah mengganti diksi. Baru setelah itu, saya perhatikan harmonisasinya. Misalnya, typografi yang perlu dirapikan dan bunyi yang perlu diperhatikan.
Selamat berkarya!


NB: Selain beberapa kata, frasa, atau susunan kalimat yang disesuaikan, judul dan subjudul juga ditulis sendiri oleh Andrian Eksa.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama