Dea Anugrah: Formula dalam Menulis (bagian 3)


Dea Anugrah: Formula dalam Menulis (bagian 3)

Catatan dari workshop penulisan prosa dengan Dea Anugrah di Jual Buku Sastra
Senin, 31 Desember 2018


Menjaga Ritme Tulisan
Ritme bagi sebagian penulis tidak penting. Akan tetapi, bila memposisikan cerita sebagai kerja kamera, ritme menjadi penting. Ritme berkaitan dengan bagaimana mengatur satu gambar ke gambar yang lain.
Untuk menggambarkan satu adegan dengan tempo yang cepat, cara terbaik adalah dengan menggunakan kalimat pendek. Kalimat yang panjang akan memperlambat tempo cerita. Efek yang ingin dicapai bisa jadi tidak tertangkap. Ketika menggambarkan adegan kejar-kejaran, misalnya, keterdesakan, ketegangan, dan ketergesaan akan sulit ditangkap pembaca jika kalimatnya panjang-panjang. Selain itu, penggunaan kata yang terlalu banyak kosakata akhir yang terbuka, misal akhiran huruf vokal, akan membuat hilangnya keterdesakan. Untuk mencapai efek tersebut, bisa dilakukan dengan penggunaan awalan bunyi yang sama, agar terkesan rapat. Hal tersebut berkaitan dengan bunyi yang akan tergambar dalam kepala pembaca ketika membaca cerita yang ditulis penulis.
Ritme juga berguna untuk menjaga mood pembaca. Ketika tulisan diawali dengan kalimat-kalimat yang panjang, jangan diikuti dengan kalimat yang panjang juga. Hal itu hanya akan  membuat pembaca lelah dalam membaca. Oleh karenanya, penggunaan one liner sangat berguna pada titik ini.

Humor yang Cerdas
Humor pada dasar adalah seni menunda, suspense. Penulis memberikan gambaran A, B, dan C, tapi diakhiri dengan hal yang mengejutkan. Hal tersebut mengacu kepada gambaran awal. Datar, datar, datar, dan mengejutkan. Sebenarnya yang membuat cerita menjadi lucu adalah karena pembaca menunggu sesuatu, tapi dikejutkan di akhir. Jika sesuatu tersebut tidak mengejutkan, hasilnya akan tetap datar dan membuat pembaca bingung sendiri.
Di dalam kasus lain, ada seorang komedian bernama Andy Kaufman, yang membongkar konsep humor tersebut. Baginya, humor tidak harus diakhiri dengan hal yang mengejutkan. Dia memanfaatkan suspense untuk membuat hal lucu. Ketika Kaufman naik ke atas panggung untuk stand up comedy, dia membacakan novel The Great Gatsby dari halaman pertama sampai selesai. Semua penonton menunggu kelucuan Kaufman. Akan tetapi, sialnya sampai Kaufman selesai membacakan novel tersebut, tidak ada hal yang lucu. Pertunjukkan Kaufman menjadi lucu karena semua orang menunggu kelucuan seorang komedian yang ternyata tidak lucu. Kejutannya ada di situ.
Contoh yang lain, bisa dijumpai dalam novelnya Martin Suryadjaya, Kiat Sukses Hancur Lebur. Yang menjadikannya novel jenaka, salah satunya adalah prinsip yang dipakai Andy Kaufman di atas. Sebagai pembaca yang mengharapkan humor, pembaca menunggu terus gongnya ada di mana. Narasi yang terkesan racauan di dalam novel tersebut, membuat pembaca menunggu, pada titik mana novel ini akan membicrakan hal lain selain racauan. Sialnya lagi, sampai akhir novel ini hanya berisi racauan, tidak ada sesuatu yang dahsyat. Akhirnya, novel ini benar-benar menjadi novel jenaka.

Penulis Afrika
Salah satu penulis Afrika yang menarik adalah Chinua Achebe, penulis novel Things Fall Apart. Novel ini menceritakan akhir kolonialisme di Nigeria Barat. Menariknya, Achebe menuliskan kasus sepenting ini dengan cara yang menyenangkan, tidak sloganistik. Achebe berhasil keluar dari kebiasaan penulis lain yang menuliskan kisah-kisah pascakolonialisme yang penuh bentakan dan hardikan.
Ketika menggambarkan perlawanan orang-orang Nigeria terhadap Misionaris, Achebe menceritakan seorang Misionaris yang selalu bersepeda, suatu ketika kehilangan sepedanya. Sepeda tersebut ditemukan sang Misionaris di atas pohon dan tidak bisa mengambilnya. Sudah barang tentu ini dilakukan oleh warga setempat, tapi tidak ada yang mengaku. Warga hanya mengatakan, “Kan Bapak ini percaya sama Tuhan, ya mintalah pertolongan sama Tuhan.”
Cara penceritaan yang seperti Achebe kan menarik. Nah, itu yang sering luput dari penulis-penulis di Indonesia.


Membaca Adalah Hal Biasa
Yang menjadi pertanyaan, “Mengapa di luar Indonesia selalu ada penulis bagus setiap zamannya?” Korea, Jepang, China, Amerika, Afrika, ada terus penulis bagusnya. Di Indonesia jika ada yang bagus, itu hanya kebetulan bagus.
Semua karena tradisi menulis yang bagus. Sementara tradisi menulis ini bisa terjaga apabila tradisi sastranya sehat, industry bukunya sehat. Kemunculan penulis bagus adalah bagian dari sistem. Memang sistem mendukung kemungkinan kemunculan penulis bagus.
Penerjemahan karya-karya bagus ke dalam bahasa Spanyol rajin dilakukan dalam tradisi sastra Spanyol. Bahkan, buku-buku yang baru terbit sebulan-dua bulan di luar Spanyol. Hasrat untuk membaca karya-karya dari seluruh dunia tumbuh subur dalam diri orang-orang Spanyol. Pengalaman membaca mereka jauh berbeda dengan orang Indonesia. Inilah salah satu penentu. Asupan yang banyak dan baik akan membuat seseorang berpikir cepat dan baik pula, itulah modal penulis.
Di Mexico, anak-anak sekolah dasar sudah diminta untuk mermbaca kisah Don Quixote. Mereka jauh lebih paham tentang kisah tersebut. Di lain tempat, seorang pembaca bisa lebih paham karya-karya Gabo, bahkan sampai pada pengetahuan tradisi asli orang-orang Colombia, sebagaimana yang digambarkan Gabo di Seratus Tahun Kesunyian. Membaca menjadi sangat biasa dalam tradisi mereka.
Di Indonesia sendiri, penerjemahan masih sulit. Selain itu, iklim yang kurang menyenangkan masih sering ditemui. Misalkan, ketika seseorang sedang membaca buku berbahasa Inggris, temannya dengan nada mengejek akan menimpali, “Cie… bukunya bahasa Inggris.” Ini katrok sekali. Hal itu terjadi karena tradisi membaca di Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu yang mewah, elit, tidak cocok untuk orang-orang yang makan mie instan setiap akhir bulan, susah membayar kost-kostan, dan sebagainya. Padahal, tradisi membaca seharusnya dianggap biasa saja. Membaca harus dijadikan kegiatan yang menyenangkan.
Menjadikan membaca menyenangkan ini penting, terlebih bagi anak-anak. Pola membaca anak di sekolah dengan paksaan dan ancaman guru serta pilihan bacaan yang wagu, harus dihentikan. Guru seharusnya memahami bacaan yang bagus dan menyenangkan bagi anak-anak agar mempunyai ketertarikan dan menjadikannya sebuah sistem.

Cerita vs Khotbah
Khotbah berisi perintah. Perintah ini bisa disikapi dengan dua hal mematuhi atau tidak mematuhi. Keduanya mempunyai risiko. Jika mematuhi akan diberi surga dan jika tidak akan diancam siksa neraka. Di sini terjadi keterbelahan. Berbeda dengan cerita. Di dalam cerita, tidak ada perintah. Cerita hadir dengan cara yang lebih halus, sehingga pembaca tidak merasa diintimidasi, walaupun pesannya ke arah yang sama dengan khotbah.
Bagaimana seorang penulis mampu mengikat pembaca? Tentu ini semua dipahami oleh sales asuransi dan MLM. Seorang sales harus pandai dalam bercakap agar pendengar tidak bosan dan tertarik dengan tawaran-tawaran mereka. Kegigihan seorang sales asuransi dalam menawarkan ketakutan kepada pelanggannya bisa dijadikan satu patokan dalam usaha mengikat pembaca kepada apa yang akan disampaikan penulis.

Kekecewaan yang Salah Alamat
Ketika seseorang mengharapkan cerita novel dalam bentuk visual, seperti film, secara utuh, maka hanya akan kecewa. Akan tetapi, kekecewaan itu sebenarnya adalah kekecewaan yang salah alamat. Dua medium tersebut—novel dan film—mempunyai kapasitas yang berbeda. Novel yang ratusan halaman dan baru bisa selesai dibaca setelah beberapa hari, sudah tentu berbeda dengan film yang hanya dua jam. Mustahil untuk bisa memasukkan semua adegan dalam novel ke dalam bentuk film.
Setiap kreator film, mempunyai pertimbangan tertentu ketika memilih adegan mana yang akan dimasukkan ke dalam frame. Menyuguhkan, mengurang, atau bahkan menambah adegan adalah hal yang wajar, itu semua merupakan hasil pertimbangan kreator film. Dalam kasus ini, tidak ada yang bisa disalahkan.
Novel Haruki Murakami, Norwegian Wood, difilmkan oleh Tran Anh Hung. Ada beberapa adegan penting yang tidak dimasukkan Anh Hung ke dalam film tersebut. Akan tetapi, Anh Hung ternyata melakukan interprestasi ulang dan hanya mengambil satu aspek saja. Anh Hung lebih menyuguhkan bahwa komunikasi manusia tidak seratus persen berhasil, selalu ada jarak, selalu ada yang jatuh di tengah jalan. Ketika dua orang saling bertatapan dan berdialog, sesungguhnya tidak semua tersampaikan, ada yang jatuh di antaranya dan tidak masuk ke telinga yang lain. Ada kesulitan memahami satu sama lain. Anh Hung menggambarkan dengan lanskap-lanskap yang lebar, menunjukkan kecilnya manusia, kompleksitas hidup manusia itu sendiri, kerumitan, dan kesulitan memahami hidup. Bagaimana pun, harus disadari bahwa novel dan film adalah karya yang berbeda.
Meskipun sulit ditemui, film yang setia terhadap novelnya tetap ada, misalnya film Godfather. Novel ini digarap sampai menjadi 3 film, yang meskipun tetap ada penyesuaian, tetapi terhitung setia. Godfather bisa dibilang menjadi film adaptasi terbaik.

Tidak Seperti Teh Botol Sosro
Bentuk tulisan harus disesuaikan dengan isi tulisan, termasuk dalam jurnalisme. Cara kerja penulisan sastra bisa digunakan dalam penulisan jurnalisme, asalkan mempertimbangkan kesesuaian bentuk. Gaya penulisan dengan sudut pandang orang kedua, tidak akan cocok untuk menggambarkan kisah Hotman Paris. Akan tetapi, akan cocok dengan tulisan yang mengangkat tema-tema cinta dan patah hati. Penggunaan point of view 2 (PoV 2) membuat tulisan lebih related dengan pembaca. Secara tidak sadar, pembaca akan merasa membaca kisahnya sendiri dan mengamininya. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah tulisan tidak seperti Teh Botol Sosro yang apa pun makanannya, minumnya itu. Oleh karenanya, pemilihan bentuk harus dipertimbangkan agar gagasan yang ingin disampaikan kepada pembaca bisa dipahami dengan  baik.

Catatan Akhir
Tulisan ini hanya sebentuk dokumentasi pribadi dari hasil transkrip remakan suara seadanya ketika Workshop Penulisan Prosa bersama Dea Anugrah di Kedai JBS, 31 Desember 2018. Tentu tidak akan sama persis dengan apa yang disampaikan Dea Anugrah, karena gaya ungkap (lisan), saya ubah ke gaya tulis. Ada beberapa hal yang mungkin terkesan kaku. Hal itu saya lakukan untuk dalam upaya menuliskannya secara “benar”. Gaya lisan dan tulis itu berbeda, semoga maklum.
Selain itu, ada beberapa hal yang saya tambahkan, seperti nama-nama penulis atau judul-judul buku yang disebut Dea Anugrah, “Apa, ya?”, “Siapa, ya?”, atau “Teman-teman kalau sempat nanti bisa dicari.” Semoga bisa bermanfaat bagi saya pribadi dan siapa pun yang kelak membacanya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama